Falsafah Pendidikan Perspektif Ibnu Sina
- falsafah pendidikan yang berkaitan dengan tujuan dan matlamat pendidikan,
- teori-teori pengetahuan (epistemology),
- pelak- sanaan yang mengandungi metodologi, institusi, administrasi dan lain-lain, dan
- penilaian.
Teorinya tentang pengetahuan dicatat dalam al-Shifa, yaitu ensiklopedia ilmu penge tahuan yang terpanjang pernah dibuat oleh seseorang manusia. Tulisan-tulisan- nya yang melebihi 250 buah, dapat dikategorikan kepada dua ka- tegori besar: falsafah teoritis dan falsafah praktis.
Karya-karyanya yang menyeluruh dalam falsafah teoritis menempatkan beliau se bagai ahli falsafah pendidikan yang setanding dengan Aristotle dan sukar dikalahkan oleh ahli-ahli falsafah yang muncul kemu- dian.
Tulisan-tulisannya dalam falsafah praktis, dalam pengertiannya yang luas, telah menempatkan beliau setanding dengan pembuat-pembuat konsep dalam bidang administrasi, sains politik, ekonomi, akhlak, dan perencan aan pendidikan.
Konsep penilaian yang dikemukakannya bersifat menyeluruh, berkaitan dengan dunia dan akhirat, Kriteria yang digunakan ada lah kebahagiaan sebagai peneguhan, dan kebah agiaan itu hanya bermakna apabila dikaitkan dengan tujuan akhir kebahagiaan yang akan didapati pada hari akhirat.
Apabila kita membincangkan sumbangan Ibn Sina dalam bidang pendidikan maka tidak dapat tidak kita akan membincangkan juga sumbangannya dalam bidang ilmu kedokteran, sains, matematik, syair, dan falsafah. Karya-karyanya melebihi dua ratus lima puluh buah (Anawati, 1950: 23).
Dua buah karyanya yaitu Qanun fil-Tibb (Undang-undang dalam ilmu kedokteran) dan al-Shifa' (Sembuh dari kesalahan) sangat terkenal dan dianggap sebagai sebuah ensiklopedia pengetahuan terpanjang yang pernah ditulis oleh seseorang manusia (Nasr, 1969: 23).
Dengan menyesuaikan pemikiran Yunani kepada agama Is- lam, yang berdasar pada tauhid, beliau dengan kecerdasan yang luar biasa dapat membina suatu sistem falsafah yang betul-betul mewakili cara pemikiran zaman pertengahan.
Seperti kata Yar Shater "So far reaching was the effects of his thought, that should one attempts to find a fault with his genius, it would only be perhaps that he made it too difficult for later philosophers to surpass him" (Morewedge, 1973: xv).
Oleh sebab itu, dalam konteks ilmu pendidikan yang dipelajari orang sekarang, Ibn Sira harus kita golongkan dalam kategori ahli falsafah pendidikan. Dengan kata lain beliau adalah salah seorang di antara ahli falsafah pendidikan yang banyak meninggalkan pengaruh pada pemikiran pendidikan dari dahulu sampai sekarang, seperti juga pengaruh Plato, Aristotle, Thomas Aquinas dan lain-lain.
Ini tidak menafikan bahwa beliau pun memberi sumbangan besar dalam pendidikan, seperti kita lihat pada karya- karyanya dalam ilmu kedokteran, sains, matematik, ilmu bahasa, dan sya'ir. Malah, sepanjang hidupnya, beliau adalah seorang dokter di bidang penyakit yang senantiasa keluar masuk istana untuk mengobati raja-raja dan penguasa-penguasa berbagai kerajaan pada zamannya.
Oleh sebab itu, mempunyai kecerdasan dan kemahirannya sebagai dokter, beliau juga telah mempengaruhi perkembangan politik pada zamannya. Malah beliau sendiri menulis sebuah buku yang bernama Kitab Assiyas ah (kitab tentang politik) yang menguraikan tentang cara mengurus kota Tadbir Al-Madinah dan mengurus rumah tangga (Tadbir Al Manzil), Kedua aspek ini sangat erat hubungannya dengan pendidikan, seperti yang difahami sekarang ini, terutama mengenai aspek yang bersangkut paut dengan pelaksanaan.
Adapun penilaian para pakar tentang pendidikan dengan kategori-kategori berikut:
- Tujuan-tujuan (aims) dalam pendidikan
- Pengetahuan (knowledge) dalam pendidikan
- Pelaksanaan pendidikan (practices) dan metode dalam pengajaran (methodology).
- Penilaian dalam mencapai atau tidak tujuan-tujuan pendidikan.
Dalam bahagian ini yang menjadi tumpuan utama adalah tujuan-tujuan yang akan menentukan haluan pendidikan. Dalam bahagian yang berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan kita akan bincangkan tujuan sebagai perangsang terhadap proses pendidikan.
Adapun tujuan pelajaran kimia kimia dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
- Murid-murid akan menguasai prinsip-prinsip ilmu kimia (tujuan khusus)
- Murid-murid akan sanggup berfikir secara kritis (tujuan umum)
- Murid-murid akan mencapai perwujudan diri (tujuan akhir).
Apakah ada bukti-bukti yang menunjukkan, berdasarkan pada karya beliau, bahwa beliau telah membicarakan tentang tujuan-tujuan pendidikan seperti kategori yang disebutkan itu?
Sebagai ahli falsafah dalam karyanya lebih banyak menjelaskan tentang metafisika yang berpusat pada wujud (antology). Sedangkan dalam kajian Ibn Sina tentang wujud (existence).
Ciri-ciri ini adalah bersangkutpaut dengan zat (essence) sesuatu dan wujud (existence) nya di satu pihak, dan sifat wajib, mungkin, mustahilnya di pihak lain (Gardet, 1951:56).
Apabila seseorang memikirkan sesuatu, maka dengan sertamerta tergambar dalam fikirannya dua aspek dari sesuatu itu: yang pertama zat dan yang kedua adalah wujudnya. Misalnya, bila seseorang memikirkan seekor kuda, maka la dapat membedakan dalam fikirannya antara idee mengenai kuda itu, termasuklah bentuk, warna dan lain-lain lagi yang membentuk zat kuda itu, dan wujud kuda itu di alam luar.
Berkaitan rapat dengan pembedaan antara zat dan wujud ini adalah pembagian yang dibuat oleh Ibn Sina tentang wujud ini kepada: mustahil (mumtani), mungkin (mumkin), dan wajib (wajib). Jika zat sesuatu objek itu dapat menerima wujud atau tidak wujud dalam taraf yang sama, yakni jika wujud atau tidak wujudnya tidak akan menyebabkan kemustahilan, maka objek itu disebut mungkin, seperti halnya dengan alam semesta (universe) yang zatnya dapat wujud atau tak wujud.
Akhirnya jika zat itu tidak dapat dipis ahkan dari wujud, dan ketidakwujudannya bisa melibatkan kemustahilan dan pertentangan, maka ia adalah wajib. Dalam hal ini zat dan wujud itu serupa, dan wujud ini adalah wu- jud yang wajib, atau Tuhan, yang tidak dapat tidak wujud, sebab zatnya dan wujudnya itu, itu juga.
Wujud adalah zat dan zat adalah wujudnya (Schuon, 1953 : 53). Oleh karena yang demikian alam semesta (universe) dan segala isinya adalah wujud yang mungkin dan dari segi metafi- sika bergantung pada Wujud Yang Wajib. Wujud yang mungkin ini terdiri dari dua macam:
- Objek yang walaupun ia mungkin, menjadi wajib sebab dibuat demikian oleh Wujud Yang Wajib, ini adalah substansi akal yang murni dan sederhana atau malaikat-malaikat yang merupakan akibat-akibat berkekalan dari Tuhan.
- Objek-objek yang hanya sekedar mungkin tanpa apa-apa sifat wajib yang dipunyainya. Ini terdiri dari makhluk-makhluk yang mengandungi sifat-sifat "tidak kekal" pada dirinya, dan dengan itu ia lahir untuk mati dan hilang.
- Akal (intellect) yang sama sekali tidak ada hubungahnya dengan materi dan potensi.
- Jiwa (nafs) yang walaupun tidak kena mengena dengan materi ia memerlukan badan agar dapat bertindak
- Badan (jism) yang menerima sifat berbagi dan mempunyai panjang, lebar dan dalam.
Berkenaan dengan proses kejadian (creation) pula, atau pem- berian wujud, maka ia serupa dengan berfikir (intellection) sebab melalui tafakkur daripada hakikat (reality) tingkat atas maka tingkat yang lebih bawah muncul ke alam wujud (Goichon, 1944).
Dari Satu Wujud Yang Wajib yang menjadi sumber segala sesuatu maka suatu wujud tunggal diciptakan menurut prinsip- prinsip yang tersebut itu, yaitu wujud yang disebut Ibn Sina Akal Pertama dan dibuat sejajar dengan malaikat agung. Akal ini bertafakkur kepada Wujud Yang Wajib sebagai wajib, disebabkan oleh Wujud Yang Wajib zatnya sendiri sebagai wujud yang mungkin.
Dengan itu ia memiliki tiga dimensi pengetahuan yang menyebabkan timbulnya Akal Kedua, jiwa dari langit pertama dan badan dari langit pertama berturut-turut. Dari sini "substansi" alam jagat tidak lagi memiliki kemurnian yang cu- kup untuk menciptakan langit yang lain. Oleh sebab itu, dari cakrawala-cakrawala yang mungkin lainnya muncullah dunia generasi dan korupsi ke alam wujud.
Oleh sebab demikian, bagi Ibn Sina, akal (intellect) adalah sumber dari kejadian ini. Walaupun ahli-ahli pendidikan yang lahir kemudian memberi definisi yang berbeda dengan definisi Ibn Sina ini, tetapi sebagian besar mereka setuju bahwa akal adalah satu- satunya keistimewaan manusia berbanding dengan makhluk-makhluk yang lain.
Inilah antara pandangan Ibn Sina, sebagai ahli falsafah pendidikan, yang menganggap akal itu sebagai sumber kejadian. Oleh sebab itu pengembangannya adalah wajib dan itulah sebenarnya tujuan akhir pendidikan.
Sekarang mari kita lihat Ibn Sina sebagai seorang pelaksana (practitioner) dalam bidang pendidikan. Yang saya maksudkan pelaksana di sini adalah pandangannya kepada pendidikan dan bagaimana sepatutnya kanak-kanak dididik agar ia dapat memenuhi tujuan hidupnya seperti yang tergambar dalam falsafahnya.
Pendapat-pendapat mengenai pendidikan tercatat dalam kitab- nya Kitab Assiyasah. Katanya: Patutlah kanak-kanak memulai belajar Al-Quran, sebaik saja sedia dari segi jasmani dan akal. Di waktu yang sama ia mempelajari huruf-huruf ejaan, kemudian ia disuruh menghafal syair mulai dari pepatah lalu qasidah (sya'ir). Sebab meriwayatkan dan menghafal pepatah itu lebih mudah, oleh karena baitnya pendek, nadanya ringan.
Haruslah dipilih sya'ir yang memuji kesopanan, menyanjung ilmu pengetahuan, mencela kejahilan, mengajak berbuat baik kepada ibu-bapak, berbuat kebajikan, dan menghormati tetamu. Kalau kanak-kanak telah menghafal Al-Quran dan telah menguasai bahasa, barulah ia dijuruskan ke arah yang sesuai de- ngan sifat-sifat dan bakatnya. (Ibn Sina, 1911).
Oleh karena itu perkara yang paling perlu diajarkan kepada kanak-kanak, menurut Ibn Sina, adalah menghafal Al-Qur'an, diikuti dengan cerita agama, kisah Nabi-Nabi dan kemudian meng- hafal sya'ir-sya'ir, Ibn Sina menaruh perhatian khusus kepada sya'ir-sya'ir sebab ia merupakan salah satu cara untuk mendidik akhlak, tetapi sya'ir-sya'ir itu hendaklah menguraikan tentang adab, ilmu dan akhlak.
Berkenaan dengan pendidikan untuk mencari hidup, yang sekarang terkenal dengan vakasional, kita dengarkan pula katanya: Setelah kanak-kanak diajar membaca Al-Quran, menghafal dasar-dasar bahasa, barulah dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya dan ia dibimbing ke arah itu, se telah gurunya tahu bahwa bukan semua pekerjaan yang diingininya boleh dibuat, tetapi adalah yang sesuai dengan tabiatnya.
Jika ia ingin menjadi juru-tulis (barangkali sekarang boleh disebut kerani atau administratur) maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan perdebatan dan lain-lain lagi. Begitu juga ia perlu belajar matemati- ka dan mempelajari tulisan indah. Kalau dikehendaki yang lain maka ia disalurkan ke situ (Ibn Sina, 1911).
Ini menunjukkan bahwa menurut Ibn Sina, pendidikan juga mempunyai tujuan mencari kerja untuk hidup. Bagaimana pun ini bukanlah tujuan akhir, dan dengan itu lebih tepat disebut sebagai tujuan vokasional yang dijalani oleh seseorang kanak-kanak untuk mencapai tujuannya.
Dari Buku Hasan langgulung yang berjudul Manusia Dan Pendidikan