Falsafah Pendidikan Praktis Perspektif Ibnu Sina
Yang kita maksudkan dengan pelaksanaan pendidikan di sini tidak hanya terhingga kepada apa yang sekarang ini disebutkan sebagai perencanaan (planning) dan pelaksanaan (implementation), tetapi jauh lebih luas dari itu. Pelaksanaan berkaitan rapat dengan takrif ilmu yang telah kita uraikan pada bagian yang lalu dan juga pembahagiannya kepada ilmu teoretis dan ilmu praktis.
Takrif ilmu praktis, menurut Ibn Sina, adalah pengetahuan terhadap hal-hal yang wujudnya bergantung pada perbuatan dan kemauan kita, seperti akhlak, politik, keluarga, syari'ah (namus); dan tujuan ilmu ini adalah untuk kebaikan, sedangkan tujuan ilmu teoritis adalah kebenaran.
Dengan demikian ilmu yang dikaitkan dengan amalan dan kemauan kita disebut ilmu prak tis, dan itulah yang kita maksudkan dengan pelaksanaan. Ia juga (memang) melibatkan perancangan, administrasi, pengajaran, metode dan aspek-aspek lain lagi.
Falsafah praktis ini terbagi, menurut Ibn Sina, kepada empat ilmu, yaitu akhlak, pengurusan kota, pengurusan keluarga, dan ilmu Nabi. Mengenai akhlak ada satu buku khas ditulis dan dibe- ri nama Al-Akhlaq (Al-Ardh, 1967: 337). Mengenai pengurusan kota (politik) dan pengurusan rumahtangga diuraikannya dalam buku Al-Siyasah (Ibn Sina, 1911: 303).
Sedangkan ilmu Nabi diuraikan dalam buku Ithbat AI Nubuwah (Ibn Sina 1908 : 394), dan juga dalam Kitab Al Najat (The Book of Deliverance) yang sebenarny a merupakan ringkasan dari kitab Shifa (Ibn Sina, 1938). Kalau kita teliti karya-karyanya yang termasuk dalam falsafah praktis, akhlak, pengurusan rumah, pengurusan kota (politik), dan ilmu Nabi, akan jelas sekali bahwa ia sebenarnya dapat disimpulkan dalam kata-kata siyasah, yaitu cara-cara mengatur dan membimbing manusia dalam berbagai tahap susunan atau sistem.
Bermula dengan sistem diri seseorang, yaitu bagaimana seseorang mengendalikan dirinya sendiri yang dibincangkan dalam ilmu akhlak, kepada sistem keluarga, yaitu bagaimana seseorang mengatur anggota-anggota keluarganya, kepada sistem kota dan negara, yaitu bagaimana cara mengatur negara untuk kebahagiaan anggota-anggotanya, dan akhimya sistem kenabian; yaitu bagaimana umat manusia seluruhnya memerlukan seseorang yang dapat menegakkan peraturan-peraturn Allah untuk mengatur umat manusia dan menegakkan keadilan di antara mereka demi menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Ini persis yang kita lihat pada teori sistem sosial menurut Talcott Parsons, walaupun ke- dudukan Nabi dalam teori terakhir ini tidak wujud.
Dalam akhlak, Ibn Sina berpendapat bahwa siapa yang akan membimbing orang lain haruslah lebih dahulu ia dapat membim- bing diri sendiri, sebab dirinya itulah benda yang terdekat kepa- danya, paling mulia dan paling perlu mendapat perhatian. Malah mengendalikan diri itu lebih susah dari mana-mana bimbingan, Sehingga siapa yang sanggup mengendalikan dirinya sebaik-baiknya, tidaklah akan susah mengatur suatu kota, malah suatu negara (Al-Ardh, 1967: 337), Mengenai keluhuran (fadhilah) dan keburukan (razilah) memang banyak tetapi semuanya dapat dibagi menurut kekuatan jiwa yang tiga, yaitu syahwat, ghadhab (ma- rah), dan akal. Dengan itu ada tiga macam kumpulan kehinaan (razilah).Dalam pada itu terdapat pula tiga macam keluhuran yang disebut keadilan yaitu yang menghimpunkan segala macam kelu- huran itu, ketika ia melengkapi tiap kumpulan itu dengan cabang- cabangnya sebagai unsur-unsur yang membentuknya (Ibn Sina, 1908: 152). Misalnya suci-diri (iffah), pemurah (sakha) dan berpuas-diri (qanaah), adalah termasuk dalam keluhuran syahwat. Manakala keluhuran ghadhab adalah keberanian (syajaah), kesabaran (sabr), penyayang (hilm) dan lapang dada (rahb al-baa). Keluhuran akal (Al-Quwah Al-Natiqah) pula adalah bijaksana (hikmah), cerdik (fathanah), keaslian (asalah Al-Ray), tegas (hazm), kebenaran (sidq), setia (wafa'), pengasih (rahmah), malu (haya'), keras kemauan (izamul himmah), memelihara janji (husnul 'Ahd walmu hafazah) merendah diri (tawadu).
Induk segala keluhuran ini semua adalah keadilan (Al-'Adalah) yang menurut Ibn Sina adalah keseimbangan semua keluhuran-keluhuran itu sehingga yang satu tidak melebihi yang lain. Dengan demikian keadilan sebenarnya tidak lain daripada mengetengahi (jiwa itu) berbagai akhlak yang bertentangan, syahwat yang berlebihan dan berkurangan, ghadhab dan tak ada ghadhab sama sekali, dan meng- urus hidup dan tidak mengurus sama sekali (Ibn Sina, 1908: 149).
Kebalikan dari itu semua disebut kehinaan (razilah) dan bentuknya bermacam-macam seperti busuk hati, rendah cita-cita, tidak menepati janji, kasar bicara, nenipu, dan takabbur (Ibn Sina, 1908: 145).
Berkenaan dengan pengurusan rumah tangga (tadbir Al-Manzil). Ibn Sina membincangkan tentang cara mengatur pendapatan keluarga dan cara membelanjakannya, cara mengendalikan isteri (oleh suami), cara-cara membimbing anak-anak, termasuk mendidik, mengajar, memasyarakatkannya dan lain-lain, seperti yang telah diterangkan di atas tadi tentang apa yang harus diajarkan kepada anak-anak, tentang pendidikan yang bertujuan keterampilan dan lain-lain (Ibn Sina, 1911: 13).Mengenai pengurusan kota (tadbir Al-Madinah) Ibn Sina berbincang tentang bagaimana cara mengatur negara. Menurutnya, pengatur-pengatur negara ini terdiri dari tiga kelompok manusia, yaitu perencana-perencana, pejabat-pejabat, dan tukang-tukang (sekarang .disebut professional).
Masing-masing diketuai oleh seorang pengurus, di bawahnya ada pengurus-pengurus yang lebih rendah dan begitulah seterusnya, sampai kepada masyarakat umum. Dengan demikian setiap orang mempunyai kerja yang tertentu, kedudukan tertentu (sekarang disebut "division of labour") sehingga ia dapat memberikan kepada negara itu manfaat yang diperlukannya (Ibn Sina, 1953: 447).
Begitu juga Ibn Sina berbincang mengenai cara menentukan pengurus-pengurus itu sampai kepada pengangkatan sebagai. pengganti pengurus lama atau pemilihan oleh orang awam. Ini membawa kepada perbincangan mengenai peranan khilafah dan khalifah, Negara tidaklah akan aman dan sentosa tanpa seorang khalifah yang baik di satu pihak dan di pihak lain pula harus ada peraturan-peraturan yang mengatur urusan manusia.
Ibn Sina berpendapat bahwa untuk mengatur suatu Kota atau negara ada empat hal yang hanrus wujud: pekerjaan, perkawinan, kerjasama dan hari-hari besar (raya). Semua topik ini banyak dibicarakan dalam sosiologi dan sains politik. Tentang ilmu Nabi, Ibn Sina menyatakan bahwa setiap ma- syarakat memerlukan peraturan dan keadilan. Peraturan itu adalah sejumlah cara-cara yang harus diikuti dalam muamalah, sedang Keadilan adalah keseimbangan antara cara-cara itu sehingga yang satu tidak melebihi yang lain.
Ini bermakna bahwa harus ada se- seorang yang membuat aturan dan menjalankannya dan harus ada pencipta keadilan yang menjalankan keadilan itu. Malah haruslah orang yang seperti ini sanggup memerintah manusia dan mewajibkan mereka mengikuti undang-undang yang dibawanya, Di samping itu ia haruslah seorang manusia seperti mereka, dan sa- lah seorang di antara mereka. Dan manusia itulah Nabi.
Wujudnya sebagai manusia yang sanggup membuat aturan dan mencipta keadilan, adalah mungkin. Pemeliharaan Tuhan hanya dapat menyiarkan kebaik an melalui Nabi yang akan menyiarkan aturan aturan yang dibuatnya dan keadilan yang diciptakannya.
Dengan itu terbukalah jalan untuk mendirikan sistem kebaikan. Pendeknya haruslah ada Nabi yang memimpin dan mengajar manusia. Nabi ini haruslah manusia biasa. Tetapi ia memiliki ke- istimewaan yang tidak ada pada orang lain, supaya mereka mera- sakan sesuatu yang tidak ada pada mereka. Dia memiliki mukjizat mengenai risalah yang disampaikannya, dan orang lain tidak dapat membuatnya (Ibn Sina, 1938: 304).
Sesudah itu Ibn Sina membicangkan tentang tugas-tugas Na- bi yang dibaginya kepada dua jenis.
- tugas-tugas yang berkaitan dengan perkara-perkara agama yang bersifat teoretis.
- tugas-tugas yang berkaitan dengan perkara-perkara aga- ma yang bersifat praktis.
Dalam usahanya mengajar manusia mengerjakan ibadat itu haruslah Nabi meng ingatkan mereka bahwa amalan-amalan seperti ini akan mendekatkan mereka kepada Allah dan membawa kepada mereka kebaikan dan keuntungan (Ibn Sina, 1938: 306).
Selain daripada dakwah yang bertujuan memberi petunjuk dan kefahaman, haruslah ia membuat dakwah, yang bertujuan mengajar manusia mendirikan amal 'ibadat, seperti sembahyang, puasa, jihad, haji dan seterusnya.
Di antara tugas-tugas Nabi juga adalah menyampaikan kepada manusia tentang sesudah mati (ma'ad). Yang disebut ma'ad di sini adalah kembalinya roh kepda alamnya yang pertama dari ma- na ia berasal, dan ia meninggalkannya ketika ia memasuki badan- badan manusia.
Pendapat Ibn Sina tentang ma'ad ialah ia hany al ah untuk jiwa, bukan untuk badan. Ketika jiwa berpisah dengan badan haruslah ia menuju kepada kesempumaan, yaitu ia berubah menjadi alam intelek (alam aqli). Padanya tergambarlah lukisan keseluruhan dan sistem akal dalam keseluruhan, dan kebaikan yang mengalir pada keselunuhan. Alam akal ini bermula dari keseluruhan, berubah menjadi jauhar-jauhar yang mulia, kemudian menjadi rohani mutlak, kemudian menjadi rohani bergantung (contingent) pada badan, kemudian menjadi jisim-jisim tinggi dengan bentuk dan kekuatannya.
Jiwa dalam kejadiannya menja- di alam akal berterusan demikian sehingga ia memenuhi bentuk wujud seluruhnya, maka iapun berubah menjadi alam intelek yang sesuai dengan wujud keseluruhannya menyaksikan apa dia indera yang mutlak, kebaikan yang mutlak, dan keindahan yang hak, sehingga ia bersatu dengannya, terukir pada gambar dan bentuknya, satu jauharmya (Ibn Sina, 1938: 293).
Begitulah gambaran roh, menurut Ibn Sina, setelah berpisah dari badan. Salah satu tugas Nabi adalah menyampaikan kepada manusia bahwa dengan mengikut dakwahnya, rohnya yang suci, bersih dan sempurna itu akan menerima kebahagiaan abadi di akhirat kelak.
Dari uraian di atas dapatlah kita fahami bahwa falsafah praktis Ibn Sina betul-betul menjawab persoalan bagaimana melaksanakan konsep yang terkandung dalam falsafah teoritisnya, bermula dengan diri manusia (akhlak), terus kepada keluarga (tadbir Al-Manzil) terus ke masyarakat (tadbir Al-Madinah), dan akhirnya kepada umat manusia seluruhnya (ilmu Nabi). Dilihat dari segi ini ia adalah sistem yang lebih menyeluruh (comprehensive) dari semua sistem pendidikan yang wujud di dunia modern sekarang ini.
Penilaian Pendidikan
Mari kita lihat pula tentang penilaian. Kata "penilaian" sendiri tidak pernah digunakan oleh Ibn Sina. Tetapi apakah sebenamya penilaian itu? Ada dua fungsi yang kentara dalam penilaian ini, yaitu sebagai suatu peneguhan terhadap suatu tingkah-laku yang ingin dikekalkan.
Misalnya, kalau seorang kanak-kanak belajar bahasa, maka bila jawabannya betul haruslah diberi gan- jaran; misalnya dengan memberikan angka yang tinggi, atau boleh juga sekadar puji-pujian saja. Pokoknya kanak-kanak itu akan me- rasa senang setelah memberi jawaban itu dan seterusnya akan berbuat demikian pada masa akan datang dalam suasana yang sama. Fungsi yang lain adalah sebagai alat menapis calon-calon yang ingin mendapat tempat tertentu dalam ujian, misalnya.
Dengan kata lain ia adalah digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Kalau kita gunakan ujian menyetir mobil, maka kita nilai perihal pengetahuan umum tentang aturan-aturan lalu lintas telah dihafal dan segala amalan menyetir mobil telah dapat dilaksanakan atau belum. Kalau ia lulus semuanya, teori dan praktek, maka iapun diberi izin menyetir mobil jenis tertentu, misalnya jenis D.
Dalam karangan-karangan Ibn Sina adakah kita jumpai kata-kata atau konsep-konsep yang beliau gunakan itu mengandung kedua maksud di atas itu? Jawabnya "ya" ada, walaupun tidak persis yang kita gambarkan itu. Berkenaan dengan penilaian sebagai peneguhan, beliau sela- lu berbincang mengenai dunia atau di akhirat dalam karangan-karangannya yang bersang kutan dengan falsafah praktis.
Kebahagiaan itu berlaku pada tahap diri (akhlak), pada tingkat keluarga (tadbir Al Manzil), pada tingkat masyarakat (tadbir Al Madinah), ataupun pada tingkat umat manusia seluruhnya (ilmu Nabi). Ada juga kebahagiaan (sa'adah) pada masa sesudah jiwa berpisah dengan badan pada hari maad.
Dengan kata lain ada beberapa tingkat kebahagiaan itu, yang bermula pada jenjang pertama mendorong kepada jenjang kedua, selan- jutnya ke jenjang ketiga dan begitulah seterusnya sampai kepada puncak kebahagiaan abadi yang ditujunya (Ibn Sina, 1908: 150).
Sudah tentu tingkat-tingkat kebahagiaan yang digambarkan ini merupakan peneguhan untuk mendorong seseorang mengejar tingkat selanjutnya. Dalam pendidikan modern pun penilaian sebagai peneguhan berfungsi serupa itu. Misalnya, kelulusan pada sekolah rendah mendorong untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah, dan lulus dari sekolah menengah mendorong untuk melani kan pelajaran ke Universitas.
Ibn Sina menggunakan kriteria ini untuk membagi ilmu-ilmu kepada ilmu-ilmu yang terbuka (masyhur) untuk orang banyak. Di samping itu juga ada ilmu yang tertutup (mastur) untuk orang khusus saja. Sebahagian dari karangan-karangannya yang terakhir berkenaan falsafah Isyraqiy ah (illuminative philosophy).
Penggunaan penilaian menurut pengertian ini banyak didapati dalam bukunya "As- siyasah" terutama berkenaan dengan cara-cara membimbing ka- nak-kanak. Mengenai cara-cara memilih pekerjaan Ibn. Sina berkata bahwa bukanlah sekedar melalui kemauan anak, tetapi haruslah sesuai dengan bakat dan tabiatnya (Ibn. Sina, 1911).
Sebab perbedaan manusia dalam memilih pekerjaan "ada sebab-sebab yang kabur, dan faktor yang tersembunyi yang sukar difa- hami oleh manusia dan susah diukur dan di mengerti (Ibn. Sina, 1911:14).
Barangkali yang disebut oleh Ibn Sina sebab-sebab yang kabur dan faktor-faktor yang tersembunyi boleh dikembalikan kepada faktor-faktor psikologi, yang sekarang terkenal dengan nama bakat-bakat (aptitude) dan kebolehan (abilities) dengan istilah yang digunakan oleh psikologi modern.
Penutup
Tulisan ini telah berusaha meninjau karya-karya Ibn Sina. Khususnya karya Ibny Sina yang berhubungan dengan pendidikan, yang difahami orang hari ini. Karya Ibnu Sina secara keseluruhan berkisar lebih dari 250 buku. Buku tersebut dapat dikatagorikan kedalam dua kategori besar yaitu falsafah teoritis dan falsafah praktis.Karya-karyanya dalam falsafah teoritis menempatkan beliau se- bagai ahli falsafah pendidikan yang tak ada taranya dalam sejarah pendidikan, terutama teorinya mengenai pengetahuan yang ter- kandung dalam Al-Shifa, yaitu sebuah ensiklopedia pengetahuan terpanjang yang pernah dibuat oleh seseorang manusia.
Sebagai pelaksana (practitioner), selain dari menghasilkan karya-karya dalam bidang kedokteran (Cannon), ilmu jiwa, matematik, falak dan lain-lain, beliau bekerja sebagai doktor, keluar masuk istana mengobati raja-raja dan sekali gus meletakkan pe- ngaruhnya dalam bidang politik.
Dalam pada itu karyanya dalam bidang politik dan pendidikan yang terkandung dalam kitab Siyasah, meletakkan beliau sebagai seorang negarawan (statesman) dan sebagai seorang pendidik (educationist). Karangan-karangannya yang termasuk dalam falsafah praktis meletakkan beliau di kalangan pencipta-pencipta konsep yang agung dalam bidang administrasi, sains politik, ekonomi, bidang moral, dan perancangan pendidikan dalam pengertiannya yang luas.
Konsep penilaian yang digunakannya adalah luas dan menyeluruh, meliputi dunia dan akhirat, sebab kriteria y ang di- gunakan adalah kebahagiaan dan ia hanya berarti kalau ia dikait- kan dengan kebahagiaan akhirat sebagai tujuan terakhir.
Sebagai kriteria pemilihan penilaian memegang peranan yang penting, bukan hanya dari seginya yang bersifat kuantitatif, tetapi terutama yang bersifat kualitatif dan di sini ia berkait rapat dengan fung si pertama, yaitu penilaian sebagai peneguhan.
Dari Buku Hasan langgulung yang berjudul Manusia Dan Pendidikan