Hadits Wajib Puasa Ramadhan Dengan Melihat Hilal
Ataupun dibenarkan dengan melakukan hitungan yang benar tentang peredaran bulan (ilmu Hisab) ?
Hadits Riwayat Imam Al-bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah ibn Umar ra. Beliau menerangkan hadits dari Rasulullah:
Abdullah ibn Umar ra. berkata:
Pada suatu hari Nabi menerangkan tentang hal memulai puasa bulan Ramadhan atau tentang hukum mengerjakan puasa Ramadhan yang telah diperintahkan. Janganlah berpuasa apabila Sya'ban belum sempurna 30 hari sehingga bulan baru ( hilal Ramadhan ) terlihat.
Melihat bulan ini tidak difardhukan atas setiap orang dan tidak setiap orang harus menunggu penglihatan matanya sendiri, tetapi cukup dengan penglihatan beberapa orang saja, yaitu sekurang-kurangnya seorang yang adil yang dibenarkan kesaksiannya oleh Hakim.
Segolongan ulama diantaranya Al Baghawy berkata:”Puasa itu wajib atas orang yang mendapat kabar dari seorang yang kepercayaan bahwa hilal Ramadhan telah telihat, walaupun tidak dikemukakan kesaksiannya kepada hakim Mencukupkan dengan seorang saksi dalam melihat bulan, adalah mengingat hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan, Ibnu Abbas berkata:
جاء أعرابي إلى النبي ﷺ فقال: إني رأيت الهلال فقال: أتشهد أن لا إله إلا الله وان محمدا رسول الله قال نعم ، قال: يابلال أذن في الناس ان يصوموا غدا
”Seorang Arab pedesaan datang kepada Nabi dan arab Badui itu berkata: Saya telah melihat bulan, Kemudian Nabi bertanya: Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ? Dan apakah engkau bersaksi Muhammad itu rasul Allah ? Orang itu menjawab: benar. Kemudun Nabi berkata: Hai Bilal, beritahukan kepada seluruh manusia supaya mereka berpuasa besok."
Dan mengingat hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Hibban:Mencukupkan dengan seorang saksi saja, itulah pendapat yang masyhur dari pendapat-pendapat Asy-Syafi'y. Dalam pada itu menurut pendapat Asy Syafi 'y yang lain, harus dua orang saksi. Dalam "Al Umm" beliau mengatakan bahwa untuk menetapkan awal bulan (hilal) Ramadhan tidak dibenarkan dengan hanya seorang saksi.”
Ash Shaimary berkata:”Jika kabar yang menerangkan bahwa Nabi menerangkan kesaksian Baduwi seorang diri, dan jika kabar kesaksian Ibnu Umar sendirian, shahih, tentulah kita harus menerima kesaksian orang seorang. Kalau tidak haruslah dua orang.”
Kedua-dua atsar ini shahih. Asy Syafi'y dalam salah sebuah pendapatnya menetapkan dua orang adalah berdasar qiyas, kepada kesaksian yang lain.
Al Muzany dalam Al Mukhtashar berpendapat: ”Jika seorang saja melihat bulan, maka menurut pendapatku harus diterima, mengingat yang atsar ini. Pandangan ini bermakna bahwa puasa itu dimulai sejak kita melihat awal bulan, baik pada waktu malam ataupun siang. Akan tetapi hal ini dikaitkan kepada puasa hari yang berikutnya.”
Sebagian ulama membedakan antara melihat bulan sebelum tergelincir matahari dengan melihatnya sesudah tergelincir matahari. Golongan Hanafiyah mencukupkan kesaksian orang seorang jika langit pada malam itu dalam keadaan mendung. Jika langit cerah, haruslah dengan kesaksian orang banyak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penduduk negeri manakah yang harus berpuasa dengan adanya ru'yah sebagian penduduknya.
Ada yang mengatakan, hanyalah penduduk negeri di mana bulan itu terlihat, yang harus berpuasa. Masing-masing negeri ( daerah ) berpegang kepada ru'yahnya.
Ada yang berpendapat, apabila bulan itu dilihat oleh sebagian dari penduduk sesuatu negeri, hendaklah seluruh negeri yang lain ikut berpuasa Inilah pendapat yang masyhur dalam kalangan Malikiyah.
Menurut penjelasan Al Qurthuby: ”Apabila ru'yah bulan terang dan tidak diragukan di sesuatu tempat, kemudian berita ru'yah itu dinukilkan oleh dua orang adil, wajiblah seluruh umat berpuasa.
Menurut pandangan Imam Syafi'y bahwa daerah yang berdekatan saja yang disamakan hukumnya. Kalau yang berjauhan maka tidak sama hukumnya. Dalam menentukan jarak, mereka mempunyai beberapa pendapat. Ada yang mengatakan ihktilaful mathali perbedaaan waktu terbit bulan.
Inilah yang disahkan oleh An Nawawy dalam Syarah Al Muhadzdzab. Ada yang mengatakan masafah qasher. Pendapat ini dikuatkan oleh Al Baghawy, Ar Rafi'y dan An Nawa wy dalam Syarah Muslim. Ada yang mengatakan, hal itu terserah kepada perbedaan iklim.
Hadits Abdurrahman ibn Yazid ibn Al Khaththab yang diriwayatkan oleh An Nasa'y dan hadits amir Mekkah yang diriwayatkan oleh Ad Daraquthny yang dipergunakan untuk mensyaratkan dua orang saksi, tidak dapat membantah hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang mencukupkan dengan seorang saksi, karena mafhum yang diperoleh dari hadits Abdurrahman dan amir Mekkah, tidak dapat melawan manthuq hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Ada yang mengatakan, ru'yah sesuatu tempat hanya mengenai daerah yang menurut adat dapat melihat bulan. Mengenai orang yang melihat sendiri, maka seluruh mazhab mewajibkan dia berpuasa.
Dan dalam hal berhari raya, menurut Asy Syafi'y jangan diperlihatkannya kepada umum Jangan berhari raya sebelum kamu melihat hilal Syawal.
Kata An Nawawy:”Mengenai berhari raya ini disyaratkan ru'yah dua orang saksi yang adil, tidak boleh orang seorang.
Dalam pada itu Abu Tsaur membolehkan kesaksian orang seorang Asy Syaukany dalam Nailul Authar menguatkan pendapat Abu Tsaur, karena tidak ada dalil yang shahih yang mengharuskan dua orang saksi untuk menetapkan hilal Syawal.
Jika bulan tidak dapat dilihat karena mendung, maka kadarkanlah bulan. Bermacam pendapat para ulama dalam menetapkan makna kadarkanlah bulan itu.”
Ada yang berpendapat”Maknanya, takdirkanlah menurut hisab manazil yakm, pergunakanlah ilmu hisab.
Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi'y, jumhur salaf khalaf, memaknakan dengan makna pertama Mereka menguatkan makna ini karena pada riwayat yang lain terdapat perkataan fa akmilu, maka sempurnakanlah, yaitu dalam hadits Abu Hurairah yang semakna dengan hadits ini. Ahmad memaknakan dengan makna yang kedua. Karenanya, dia membolehkan kita berpuasa pada hari yang diiringi oleh malam tiga puluh jika malam tiga puluh itu mendung.
Ibnu Qutaibah dan segolongan ulama memaknakan dengan makna ketiga. Ibnu Jauzy dalam kitab At Tahqiq berkata: ”Dalam menghadapi masalah tidak dapat melihat bulan karena mendung. Ahmad mempunyai tiga pendapat:
- Wajib kita berpuasa pada hari esoknya sebagai hari pertama Ramadhan.
- Tidak sah kita berpuasa pada hari itu, baik fardhu maupun sunnat muthlaq, yang boleh adalah puasa qadha, kaffarat, nazar dan sunnat yang bertepatan dengan kebiasaan kita. Pendapat yang kedua ini sesuai dengan pendapat Asy Syafi'y. Sedangkan Abu Hurairah dan Malik berpendapat, tidak boleh berpuasa Ramadhan ( fardhu ), boleh puasa yang lain.
- Dalam keadaan seperti ini, maka diperlukan keputusan Pemerintah
Pendapat yang kedua didasarkan kepada kaidah:”Bulan mana saja yang mendung pada malam tiga puluhnya, hendaklah disempurnakan 30 hari Sya'ban maupun Ramadhan.
Dalam menghadapi hisab ada beberapa pendapat ulama:
- Ahli hisab bolch berpegang kepada hisabaya Pendapat inilah yang dipegang oleh Al Qaffal dan Abo Thaif
- Tidak sah ahli hisab berpegang kepada hisabaya dan tidak bolch orang lain mengikutinya.
- Ahli hisab bolch berpegang kepada hisabaya dan boleh orang lain mengikutinya.
Para ulama berkata”Terkadang-kadang dua bulan berturut-turut terdiri dan 29 han.”Bulan itu adakala 30 hari, adakala 29 hari, tidak selamanya tetap 30 hari atau 29 hari.
Kata An Nawawy:”Hadits ini memberi pengertian bahwa kita boleh berpegang kepada isyarat yang memberi pengertian yang tegas.”
Nabi mengatakan kami adalah umat yang tidak mengetahui perhitungan bintang, tidak pandai menulis dan tidak mengetahui ilmu hitungan. Dimaksudkan dengan”kami”di sini, ialah orang Arab atau jamaah Quraisy, atau umat Ummul Qura penduduk Mekkah, atau umat yang disamakan dengan para ibu pada masa itu yang pada umumnya tidak pandai menulis Tegasnya, umat yang masih tetap dalam keadaan baru dilahirkan oleh ibunya.
Kami jamaah Quraisy atau kami orang Arab yang masih dalam keadaan baru dilahirkan ibu, bukanlah orang yang pandai menulis dan pandai menghisab perjalanan bulan.
Karena itu tidak diberatkan harus mengetahui waktu-waktu itu dengan jalan hisab. Ibadah-ibadah itu dipautkan dengan tanda-tanda yang nyata yang dapat diketahui oleh orang yang pandai hisab dan tidak.
Nabi menafsirkan perkataan”kami umat yang ummi”dengan”kami tidak pandai menulis dan tidak mengetahui ilmu menghitung ”atau” tidak mengetahui hisab perjalanan bulan.”
Oleh karena kebanyakan orang Arab tidak mengetahui tulis baca, maka mereka dikatakan ummiyyuna. Allah swt berfirman:
هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم.
“Dialah Allah yang telah membangkitkan dalam kalangan orang yang ummi seorang Ramal dari mereka”( QS. 62. Al Jum'ah: 2 ).
Pada masa itu sedikit sekali pengetahuan orang Arab tentang perjalanan bulan. Lantaran itu Nabi memautkan hukum wajib puasa dengan ru'yah ( penglihatan mata kepala ) untuk menghindari kesulitan dalam menghadapi hisab perjalanan matahari dan bintang.
Kata Al Hafizh:”Hukum ini terus berjalan dalam menghadapi puasa, walaupun pada masa-masa sesudah masa-masa pertama, banyak orang yang menguasai ilmu hisab.”Bahkan zhahir susunan sabda ini memberi pengertian bahwa kita tidak boleh menyangkutkan permulaan puasa kepada hisab mengingat sabda Nabi:
فإن غم عليكم فاقدروا له
”Maka jika mendung tidak dapat kamu melihat bulan, sempurnakanlah bilangan bulan 30 hari.
Nabi tidak mengatakan:
فاسئلوا أهل الحساب
”Maka tanyalah kepada ahli-ahli hisab.”
Kesimpulan
Hadits pertama, menandaskan bahwa sebab kita wajib mulai berpuasa Ramadhan, ialah nampak hilal Ramadhan, baik dengan melihat sendiri atau dikabarkan oleh orang yang menyaksikannya. Dan kita wajib berhari raya apabila nampak hilal Syawal atau dikabarkan oleh orang yang menyaksikannya. Jika tidak nampak bulan karena mendung, hendaklah kita menyempurnakan bilangan Sya'ban 30 hari, menurut paham jumhur, atau hendaklah kita anggap bulan telah ada di bawah awan, sebagaimana yang dipahamkan oleh Ahmad atau kita berpegang kepada ketetapan ahli hisab, sebagaimana yang dipahamkan oleh setengah ulama.
Apabila kita menafsirkan hadits dengan hadits sendiri, maka makna yang harus kita berikan kepada uqduru- kadarlanlah ialah akmilu sempurnakanlah, atau udah hitunglah karena lafal itulah yang terdapat sebagai ganti uqduru dalam riwayat atau lafal-lafal yang lain.
Hadits kedua, menerangkan bahwa bulan itu adakalanya 30 hari, adakalanya 29 hari.Hadits ketiga, menerangkan bahwa Nabi tidak menetapkan permulaan puasa dengan hisab Nabi tidak memberatkan kita dalam mengetahui masuk waktu shalat dan waktu puasa dengan mengetahui ilmu hisab tetapi Nabi membuat tanda-tanda waktu ibadah, tanda-tanda yang nyata yang mudah diketahui oleh yang mengetahui hisab dan yang tidak mengetahuinya.
Hadits yang keempat menerangkan bahwa puasa itu kita mulai sesudah nampak bulan baru, demikian pula berhari raya. Jika mendung, maka hendaklah kita sempurnakan Sya'ban 30 hari
Referensi Berdasarkan Buku Mutiara Hadits Jilid 1, Yang ditulis Oleh Teungku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy