Hadits Hukum Berpuasa Terhadap Musafir
Di bulan Ramadhan Allah memberikan rukhsah bagi orang tertentu yang kesulitan berpuasa untuk menggantikan puasanya di bulan lainnya. Di antara rukhsah yang diberikan bagi orang yang berpuasa adalah bagi orang yang dalam perjalanan atau Musafir. Rasulullah menjelaskan tentang hukum tersendiri bagi orang yang berpuasa sebagaimana sabda Rasulullah melalui hadits riwayat Ibnu Abbas ra. beliau menerangkan:
أن رسول الله ﷺ ؟ خرج إلى مكة في رمضان ، فصام حتى بلغ الكديد أفطر ، فافطر الناس
"Bahwasanya Rasulullah saw. pergi ke Mekkah, dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa. Setelah beliau tiba di Kadid, beliau pun berbuka. Karena itu semua sahabat pun berbuka. " ( Al Bukdhary 30; 34; Muslim 1,13: 15; Al Lulu- u toal Marjan 12: 114 )
Hadits lainnya dari Jabir ibn Abdillah ra, berkata:
كان رسول اللہ ﷺ في سفر فرأى زحاما ورجلا قد ظلل عليه فقال : ماهذا ؟ فقالواصائم فقال: ليس من البر الصوم في السفر
" Rasulullah saw. berada dalam salah satu perjalanan, maka beliau melihat orang berkerumunan dan beliau melihat seorang laki-laki tengah dinaungi. Karena itu beliau bertanya: Mengapa orang ini ? Para sahabat menjawab: Dia berpuasa. Mendengar itu Nabi bersabda: Bukanlah kebaikan, berpuasa dalam safar ( perjalanan ). " ( Al Bukhary 30:36; Muslim 13:15; Al Lu'lu- u wal Marjan 2:14 ).
Juga hadits dari Anas ibn Malik ra. berkata:
كنانسافر مع النبي ﷺ فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر الصائم
" Kami para sahabat bersafar bersama- sama dengan Nabi. Maka orang yang berpuasa di antara kami tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka di antara kami tidak mencela orang yang berpuasa. " ( Al Bukhary 30: 37; Muslim 13: 15; Al Lulu- u wal Marjan 2:14 )
Artikel Terkait:
- Syarah Hadits Memasuki Fajar Dalam Keadaan Junub Bagi Orang Yang Shaim
- Syarah Hadits Berkenaan Dengan Mencium Istri Bagi Orang Yang Shaim
- Syarah Hadits Berhubungan Waktu Yang Tepat Untuk Berbuka Bagi Orang Yang Shaim
- Syarah Hadits Tentang Hukum Jima' Di Siang Hari Bulan Ramadhan
Penjelasan Hadits
Pada tahun 8 H, Nabi saw pergi bersama para sahabat ke Mekkah untuk mengalahkan kota itu. Nabi berangkat dari Madinah sesudah shalat Ashar pada hari Rabu 10 Ramadhan dengan 10.000 orang laskar. Beliau dan para sahabat berpuasa.
Sesudah sampai di Kadid, yaitu sebuah mata air yang terletak pada jarak 7 marhalah dari Madinah, atau dua marhalah lagi dari Mekkah, ( dalam lafal lain disebut Qura'ul Ghamim, sedang dalam satu lafal lagi disebut Asfan ) barulah beliau tidak berpuasa lagi.
Menurut riwayat Muslim, beliau berbuka ini adalah sesudah Ashar. Pada ketika itu banyak di antara sahabat yang tidak sanggup meneruskan puasanya. Perbuatan Nabi ini memberi pengertian bahwa si musafir boleh berpuasa dan boleh berbuka. Juga dia boleh berpuasa di sebagian Ramadhan dan berbuka di sebagian yang lain.
Dan tidaklah wajib dia menyempurnakan hari yang dia berpuasa itu. Juga memberi pengertian bahwa si musafir yang sudah berniat bersafar pada malam hari, dibolehkan dia berpuasa pada esoknya sebagaimana dia dibolehkan berbuka, sekiranya dia seorang mukim berniat pada malam hari, kemudian dia bersafar sebelum fajar.
Golongan Hanbaliyah berkata: "Jika orang yang bermukim berniat puasa, kemudian dia berangkat di pertengahan hari, maka dia boleh berbuka. Dalam kitab Al Inshaf disebutkan boleh dilakukan untuk puasa wajib dan untuk puasa sunnat. Cuma jangan dia berbuka sebelum dia keluar dari rumahnya.
Dalam pada itu ada ulama yang membolehkan berbuka sebelum dia berangkat dari rumahnya. Begitu pula boleh dia berbuka di dalam safar walaupun pada malamnya, dia berniat berpuasa.
Hadits ini memberi pengertian pula bahwa orang yang telah sampai ke tempat yang dekat dengan musuh, maka lebih utama dia berbuka puasa. Tetapi apabila telah menghadapi saat pertempuran, wajiblah dia berbuka.
Hadits ini salah sebuah hadits mursal shahabi, karena Ibnu Abbas di ketika Nabi bersafar ke Mekkah itu masih bermukim di Mekkah bersama orang tuanya. Tentunya beliau menerangkan berita ini dari sahabat lain.
Dalam sebuah safar Nabi, yaitu safar untuk mengalahkan Mekkah yang dilakukan di dalam bulan Ramadhan, di perjalanan beliau melihat sekumpulan orang- orang sedang berkerumun dan melihat seorang laki- laki sedang dipayungi dari terik matahari.
Di dalam riwayat An Nasa- y kalimat "ma balu shahibikum hadza= apa keadaan temanmu ini ? Nabi bertanya: " Apakah yang menyebabkan orang itu ( Abu Israil Qais Al Amiry ) dipayungi dari terik matahari ? " Orang itu merasa sangat letih lantaran dia berpuasa. Tidaklah menjadi perbuatan taat dan ibadah berpuasa di dalam safar apabila puasa itu menimbulkan kesukaran.
Sebagian ulama mengambil hujjah dengan hadits ini, bahwa puasa di dalam safar tidak sah. Kata segolongan ulama: "Kita tidak dapat berhujjah dengan hadits ini untuk tidak mensahkan puasa di dalam safar, karena Nabi menyabdakan sabdanya ini berhubung dengan sesuatu sebab."
Nabi bersafar di dalam bulan Ramadhan untuk berperang. Di antara para sahabat ada yang berpuasa, ada yang tidak. Mereka saling menghormati Para sahabat berpendapat: "Bahwa orang yang kuat berpuasa, baiklah dia berpuasa. Dan yang merasa tidak kuat, dia boleh berbuka." Hadits ini menolak pendapat orang yang tidak mensahkan puasa di dalam safar.
Dalam bab ini, kita memperoleh beberapa hadits. Sebagiannya menunjukkan kepada keutamaan berpuasa di dalam safar, daripada berbuka. Yang lainnya menunjukkan kepada keutamaan berbuka daripada berpuasa. Dan ada sebagian yang mempersamakan. Maka karena itu beragam pendapat ulama dalam masalah ini.
Hadits-hadits yang mengenai bab ini menunjukkan pula bahwa si musafir boleh berbuka di pertengahan siang, walaupun di pagi hari dia masih berada di kampungnya. Dan si musafir boleh berbuka walaupun pada malam hari dia berniat untuk berpuasa. Maka tentang bolehkah dia berbuka pada keesokan harinya para ulama berlainan pendapat.
Jumhur tidak membolehkan. Ahmad, Ishak dan Al Muzany membolehkan. Bila seseorang berangkat dari rumahnya di pertengahan perjalanan siang. maka bolehkah dia berbuka ?
Golongan Hanbaliyah mempunyai dua pendapat: Pertama, boleh. Inilah pendapat Amr ibn Syurahbil, Asy Sya'by, Ishak, Daud dan Ibnul Mundzir. Kedua, tidak boleh. Pendapat yang kedua ini sesuai dengan pendapat Makhul, Az Zuhry, Yahya Al Anshary, Malik, Al Auza- y, Asy Syafi'y dan Ashhabur Ra'yi.
Dalam pada itu ada yang mengatakan bahwa kebolehan berbuka itu, adalah sesudah keluar dari kampungnya. Al Hasan membolehkan berbuka walaupun masih di rumah. Atha ' juga berpendapat demikian.
Pendapat Ahmad dikuatkan dengan hadits Anas yang berbuka setelah menyiapkan perbekalan-perbekalan safar sebelum berangkat. Ibnul Araby dalam Al Aridhah menguatkan pendapat ini. Kebanyakan hadits- hadits yang mengenai masalah ini, membolehkan berbuka apabila safar itu sejarak 3 mil.
Ibnu Hazm membolehkan berbuka walaupun perjalanan hanya sejarak 1 mil, berdasar kepada hadits Ibnu Umar. Hal yang disepakati oleh semua ulama, ialah tiap- tiap safar yang membolehkan qashar, membolehkan berbuka. Dan, si musafir boleh tidak berpuasa di tempat persinggahannya selama dia belum bermukim di situ.
Kesimpulan
Hadits pertama, memberi pengertian bahwasanya Nabi saw. membatalkan puasa setelah mendekati kota Mekkah untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran.
Hadits kedua, memberi pengertian bahwa berpuasa di dalam safar dengan menderita kesukaran adalah hal yang tidak disukai.
Hadits ketiga, menunjukkan bahwa di dalam safar kita boleh berbuka dengan mengqadhainya kelak dan boleh berpuasa jika tidak menimbulkan kesukaran.
Dalam Buku Mutiara Hadits Jilid 4 Ynag di Tulis Oleh Hasbi Ash-Shiddieqy