Hadits Menikahi gadis Dengan Kerelaannya
Pernikahan merupakan sesuatu yang agung di dalam Islam. Karena pernikahan itu menuju kepada keberlangsungan kehidupan insan dalam menggapai kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah memberikan keteladanan yang lengkap dalam berumah tangga. Salah satu keteladanan dari Nabi adalah adanya persetujuan calon mempelai untuk untuk menuju pernikahan. Ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra. menerangkan:
ان النبي ﷺ قال : لا تنكح الايم حتى تستأمر ولاتنكح البكر حتى تستأذن ، قالوا : يارسول الله ! وكيف إذنها ؟ قال : « ان تسكت
"Bahwasanya Nabi saw bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan tidak perawan lagi sehingga diminta kepadanya supaya dia menyuruh kita menikahkannya, dan tidak boleh dinikahkan seorang bikir ( perawan ) sehingga diminta kepadanya keizinannya. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana keizinannya ? Nabi menjawab: Dia berdiam diri." ( Al Bukhary 67: 41 ; Muslim 16: 6; Al Lu'lu - u wal Marjan 2 : 103 )Aisyah ra. berkata:
قلت يارسول الله يستأمر النساء في ابضاعهن ؟ قال: نعم , قلت فإن البكر تستأمر فتستحي فتسكت , قال:نعم ، سكوتها إذنها
"Saya bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, apakah perempuan diminta supaya mereka sendiri yang menyuruh kita mengawinkannya ( ditanya pendapat mereka untuk kita mengekalkan nikah mereka ), Nabi menjawab Benar. Saya berkata Gadis jika diminta supaya dia menyuruh kita mengawinkannya, tentu merasa malu, karena itu dia diam. Nabi berkata: Diamnya itu merupakan izinnya ( Al Bukhary 3, Muslim 16 8 Al Lu'l-u wal Marjan 2: )Penjelasan Hadits
Kita tidak boleh menikahkan seseorang perempuan yang tidak perawan lagi sebelum dia sendiri menyuruh kita menikahkannya, atau sebelum diminta persetujuannya. Kita tidak boleh menikahkan seorang gadis sebelum diminta izinnya.
Perbedaan meminta izin dengan meminta supaya dia mengizinkan itu bisa dengan ucapan, bisa bukan dengan ucapan, seperti diam, sedang perintah harus dengan perkataan yang tegas.
Kata "ayyim" pada asalnya bermakna perempuan yang tidak bersuami, baik masih perawan atau tidak lagi, baik yang ditalak suaminya atau yang ditinggal mati oleh suaminya.
Dan yang dimaksud dengan ”ayyim” dalam hadits ini ialah perempuan yang tidak perawan lagi, baik keperawanannya itu hilang dengan nikah yang sah, nikah syubhat, nikah fasid, zina atau karena kecelakaan umpamanya.
Para sahabat bertanya:”Ya Rasulullah, bagaimana kita mengetahui bahwa dia sudah mengizinkan ? Yakni, dia diam tidak menampik. Gadis-gadis menurut kebiasaan malu mengemukakan isi hatinya secara terus terang. Akan tetapi jika dia diam, tetapi nampak padanya tanda-tanda tidak suka seperti menangis, maka menurut mazhab Maliki tidak boleh kita menikahkannya.
Ulama Syafi'iyah membolehkan terkecuali kalau tangisan itu merupakan pekikan. Menurut suatu riwayat hadits ini berbunyi:
الأيم أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن ونفسها وإذنها صماتها
.”Perempuan yang tidak permoan lagi lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedang perempuan perawan diminta izin kepadanya dan izinnya itu ialah diamnya
Menurut suatu riwayat lagi berbunyi:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكريستاذن وإذنها سكوتها
.”Perempuan yang sudah sayyib lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dan perempuan bikir diminta perintahnya, sedang izinnya adalah diamnya. "
Menurut riwayat yang lain lagi berbunyi:والبكريستأذنها ابوها في نفسها وإذنها صماتها
Kemudian para fuqaha berbeda-beda pendapat dalam memaknakan ayyim, dalam hadits ini.
Ulama Hijaz dan lain-lain berpendapat bahwa dimaksud dengan perempuan yang sudah bersuami di sini, ialah perempuan yang sudah pernah kawin ( sayyib ).
Mereka menafsirkan ayyim dengan mempergunakan riwayat-riwayat yang lain yang tegas menyebut kata sayyib, dan karena ayyim di sini disebut sebagai imbangan dari bikir, dan karena dalam penggunaan lebih banyak menyebut kata ayyim dengan arti sayyib.
Ulama yang berasal dari Kufah dan Zufar menyampaikan bahwa kalimat "ayyim" dalam hadits tersebut itu meliputi seluruh perempuan yang tidak bersuami, walaupun masih bikir.”
Karena itu, tiap-tiap gadis yang telah baligh maka dia lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan akadnya sendiri sah.
Al Auza-y, Abu Yusuf dan Muhammad berkata: nikah itu sah dengan dibenarkan oleh Wali.
Al Qadhi Iyadh berkata: Para ulama juga berbeda pendapat tentang makna ”dia lebih berhak terhadap dirinya.” Apakah lebih berhak memberikan izin saja, atau lebih berhak memberi izin dan melakukan akad.
Menurut jumhur, izin saja. Abu Hanifah berpendapat, izin dan akad Perkataan ahaqqu bi nafsiha, lebih berhak terhadap dirinya, bermakna bahwa si perempuan itu lebih berhak terhadap dirinya, bermakna bahwa si perempuan itu lebih berhak terhadap dirinya dalam segala hal, akad dan lain-lain sebagai yang dikatakan oleh Abu Hanifahز
Ulama-ulama Syafi'iyah berkata:”Lebih berhak di sini, dimiliki oleh wali dan perempuan itu sendiri. Wali mempunyai hak, dan si perempuan pun mempunyai hak. Hak si perempuan lebih kuat. Karena itu, kalau dia dikawinkan dengan orang yang tidak sekufu, dia dapat menampik dan tidak dapat dipaksa. Sebaliknya, kalau dia bernikah dengan laki-laki yang tidak sekufu maka wali boleh menolak Tetapi kalau dia bernikah dengan yang sckufu lalu walinya menolak, maka wali itu boleh dipaksa untuk mengaku nikah tersebut.”
Kemudian para ulama berselisih tentang makna,”dan si bikr tidak bolch dinikahkan sebelum diminta izinnya."
Asy Syafi'y, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishak dan lain-lain berpendapat bahwa meminta izin itu suatu hal yang disuruh. Tetapi kalau yang meminta izin itu ayah atau kakek, maka meminta izin di sini, merupakan suatu sunnat belaka.
Ayah dan kakek sah mengawinkan si gadis tanpa meminta izinnya. Kalau yang mengawinkan itu bukan ayah dan bukan kakek, maka meminta izin itu adalah wajib dan tidak sah nikah tanpa meminta izin lebih dahulu.
Al Auza-y dan Abu Hanifah serta ulama-ulama Kufah yang lain mewajibkan ayah dan kakek apalagi wali-wali yang lain meminta izin untuk menikahkan si gadis. Diamnya si gadis merupakan izinnya untuk seluruh wali.
Dalam pada itu ada yang mengatakan, kalau yang meminta izin itu ayah atau kakek y yang sifatnya sunnat maka diamnya itu telah mencukupi. Tetapi kalau-orang lain yang meminta izin, maka haruslah izin itu diucapkan secara lisan. Demikian mengenai gadis perawan.
Adapun si sayyib, maka dia harus dengan tegas menyatakan keizinannya itu, baik si wali itu ayah atau kakek ataupun bukan. Baik keperawanannya itu hilang dengan nikah yang fasid, atau dengan berzina.
Tetapi kalau keperawanannya itu hilang karena akibat gerakan tubuh ( melompat ) atau karena memasukkan anak jari, atau sudah menjadi gadis tua, maka hukumnya sama dengan hukum sayyib yang sewajarnya. Sebagian ulama menyamakannya dengan perawan ( bikir ).
Jumhur ulama tidak mengharuskan kita memberi pengertian kepada si anak bahwa diamnya itu merupakan keizinannya. Sebagian ulama Malikiyah mengharuskan.
Mengenai wali, apakah menjadi syarat sah nikah ataukah tidak, dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Malik dan Asy Syafi'y berpendapat bahwa adanya wali adalah syarat sah nikah, tidak sah nikah tanpa waliز
Abu Hanifah berpendapat bahwa adanya wali itu bukan syarat sah nikah, baik terhadap si sayyib, maupun terhadap si bikir. Mereka boleh menikahkan dirinya, tanpa izin walinya. Abu Tsaur berpendapat, bahwa si perempuan boleh menikahkan dirinya asal scizin walinya.
Daud berkata: ”Disyaratkan adanya wali untuk menikahkan si bikir tidak untuk menikahkan si sayyib.”Masing-masing golongan ini memajukan hujjahnya. Saya condong kepada mazhab Abu Hanifah dalam masalah ini dengan ketentuan bahwa wali boleh menyanggah perkawinan itu kepada hakim, kalau perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang tidak sekufu.
Hadits ini menetapkan bahwa tidak ada hak memaksa bagi si ayah apabila si gadis menampik. Inilah pendapat jumhur ahli agama, sebagaimana yang telah diterangkan oleh At Turmudzyز
Para ulama berpendapat pula bahwa gadis yang diminta izinnya, ialah gadis yang telah baligh, karena tidak ada arti meminta izin kepada gadis yang masih kecil.
Kata Al Bukhary, tidak ada satupun hadits yang shahih dalam masalah nikah ini yang menunjuk kepada disyaratkannya wali untuk mensahkan nikahز Jika ada maka yang dimaksudkan ialah budak sahaya dan anak yang masih kecil.
Kesimpulan
Hadits ini memberi pengertian bahwa untuk menikahkan perempuan sayyib diperlukan keizinannya dengan tegas sedang gadis perawan cukup dengan dia berdiam diri, dan tidak memberi tanda dia berkeberatan ( seperti menangis ).
Kutipan dari Buku Karangan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy yang Berjudul Mutiara hadits jilid ke-5