Hadits Hukum Memanjangkan Bacaan Dalam Shalat Malam
Dalam melakukan Shalat malam rasululullah sering memanjangkan bacaan. samapai ada dalam satu rakaat shalat, Rasulullah membaca surat Al-Baqarah, kemudian dilanjutkan dengan surat Ali-Imran dan juga surat An-Nisa'. Ini Sebagaimana keterangan yang datang dari Abdullah ibn Mas'ud ra. berkata:
صليت مع النبي ليلة فلم يزل قائما حتى هممت بأمر سوء , قيل له: وما هممت ؟ قال: هممت أن أقعد وأذر النبي
" Pada suatu malam saya bershalat beserta Nabi saw. Nabi terus-menerus berdiri, sehingga aku ingin mengerjakan sesuatu perbuatan yang salah. Orang berkata kepada Abdullah ibn Mas'ud: Apakah yang engkau inginkan ? Ibnu Mas'ud menjawab: Saya ingin duduk dan membiarkan Nabi terus berdiri. " ( Al Lulu-u wal Marjan 1: 165 ).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyalahi perbuatan imam dalam shalat dipandang buruk. Hadits tersebut juga mengandung makna bahwa besarnya keutamaan yang kita peroleh ketika kita mengetahui keadaan di antara sesama kita. Lihatlah bahwa sahabat sahabat Ibnu Mas'ud, tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Ibnu Mas'ud, sehingga mereka bertanya kepadanya. Ibnu Mas'ud tidak menolak untuk menjawab pertanyaan itu.
Kata An Nawawy: “Para ulama berkata bahwa apabila kita sukar mengikuti imam baik dalam shalat fardhu, maupun dalam shalat sunnat yang terus berdiri, kita boleh duduk. " Ibnu Mas'ud tidak duduk, karena menjaga hati Nabi semata-mata. Juga hadits di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa sebuah kebolehan mengikuti imam pada shalat sunat. Dalam hadits di atas juga memberikan gambaran kepada kita bahwa sangat disukai memanjangkan bacaan dalam melaksanakan shalat malam."
Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Hudzaifah, ujarnya:
صليت مع النبي ليلة فقرأ البقرة والنساء وال عمران في ركعة وكان إذا مر بأية فيها تسبيح سبح , أو سؤال سأل أو تعوذ تعوذ ثم ركع نحوا مما قام, ثم قام نحوا مما ركع , ثم سجد نحوامما قام.
"Pada suatu malam aku bershalat beserta Nabi, lalu Nabi membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa' dalam satu rakaat. Dan apabila melalui ayat yang mengandung tasbih, Nabi bertasbih, atau permohonan, beliau pun bermohon atau ta'awudz beliau pun berta'audz, kemudian beliau rukuk kira-kira hampir sama dengan lama berdiri, Kemudian beliau berdiri lagi hampir-hampir sama dengan lama rukuk, kemudian beliau sujud, hampir-hampir sama dengan lama berdiri"
Hal sebagaimana di atas itu dapat kita lakukan dalam jangka waktu yang lama. Minimal bisa menghabiskan waktu dua jam dalam satu rakaat. Maka bolch jadi malam itu Nabi ingin menghidupkan seluruh malam. Kita sudah mengetahui bahwa Nabi tidak mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, maka keterangan Hudzaifah ini menunjukkan bahwa Nabi memanjangkan shalat.
Diterangkan oleh Al Qadhi Iyadh, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Muslim ini menunjukkan bahwa menertibkan surat-surat Al Qur-an adalah suatu ijtihad para muslimin di waktu mereka menulis mushaf, bukan berasal dari tertib Nabi. Hal tertib ini Nabi serahkan kepada umat sendiri.
Beginilah pendapat Malik, jumhur ulama dan inilah yang dipilih oleh Abu Bakar Al Baqillany.
Kata Ibnu Baqillany: “Pendapat kami menertibkan surat-surat itu tidak wajib, baik dalam menulisnya, maupun dalam shalat, dalam pelajaran dan sebagainya. Tidak diperoleh suatu nash yang mewajibkan tertib. Inilah sebabnya kita dapati perbedaan tertib-tertib mushaf sebelum dibuatnya mushaf Utsman. Nabi dan umat sesudahnya tidak menertibkan surat-surat dari Al-Qur'an baik itu yang dibacakan didalam shalat dan begitu juga dalam menjelaskan pelajaran dari Al-Qur'an."
Adapun golongan yang mengatakan bahwa tertib itu suatu petunjuk dari Nabi, sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Utsman, dan tertib yang berbeda-beda dari para sahabat karena tidak sampai kepada mereka keterangan Nabi. Mereka menakwilkan hadits yang Nabi membaca surat An-nisa' terlebih dahulu sebelum membaca surat Ali Imran dengan alasan mereka mengatakan bahwa yang demikian itu dilakukan Nabi sebelum ditentukan letak surat dalam Al-Qur'an. Akan tetapi Memang kita dapati dalam mushaf Ubay kita dapati bahwa surat An Nisa' lebih dahulu ditulis daripada surat Ali Imran sebagaimana hadits Nabi di atas.
Kesimpulan
Tidak ada perselisihan tentang boleh membaca di rakaat yang kedua surat yang terletak sebelum surat yang telah dibaca di rakaat yang pertama.
Dalam pada itu dimakruhkan kalau dilakukan dalam satu rakaat, yang membaca di luar shalat. Dan dalam pada itu ada pula yang membolehkan. Golongan ini menakwilkan larangan ulama salaf tentang membaca Al Qur an tidak menurut tertib dengan mengatakan bahwa yang dimaksudkan itu ialah membaca dari akhir surat ke awalnya.
Tidak ada perselisihan ulama tentang tertib ayat dalam satu-satu surat. Bahwa yang demikian itu dengan petunjuk Allah, dan demikianlah dinukilkan oleh para umat dari Nabi-Nya.
Referensi Dari Buku Mutiara hadits Jilid 3 Tulisan M. Hasbi Ash-Shiddieqy