Hadits Hukum Menikahkan Anak di Bawah Umur
تزوجن النبي ﷺ وانا بنت ست سنين ، فقدمنا المدينة فنزلنا في بني الحارث بن خزرج ، فوعكت شعري, فوفى جميمة ، فأتتني أمي ، ام رومان ، وإني لفي أرجوحة ، ومعى صواحب لي ، فصرخت بى فاتيتها لا أدرى ماترید بی : فاخذت بيدى حتى اوقفتني على باب الدار ، وإني لأنهج حتى سكن بعض نفسى ثم اخذت شيئا من ماء فمسحت به وجهی و رأسی ، ثم ادخلتني الدارفاذا نسوة من الأنصار في البيت ، فقلن: على الخير والبركة ، وعلى خير طائر, فأسلمتني إليهن فأصلحن من شأنى فلم يرعنى إلا ؤسول اللہ ضحی ، فأسلمتني إليه وانا يومئذ بنت تسع سنين
"Nabi saw mengawini saya, di kala saya baru berumur 6 tahun. Kemudian kami pergi ke Madinah, dan bertempat di kampung Bani Harits ibn Khazraj. Saya terserang demam, yang mengakibatkan rambut saya rontok. Kemudian rambut itu tumbuh menjadi banyak lagi. Setelah itu ibuku Ummu Ruman datang kepada saya saat saya bermain ayunan dengan ditemani beberap orang kanan Ibu memanggil dengan raya yang keras Saya datang kepalanya tanpa mengetahui apa yang hendak dilakukan terhadap diri saya Ibu memegang tangan saya sehingga menghentikan saya di pintu rumah. Saya menarik nafas panjang, karena lelah. Kemudian nafas saya pulih kembali, kemudian ibu mengambil air membersihkan muka dan kepala saya Setelah itu saya dibawa masuk ke dalam rumah. Di dalamnya saya dapati beberapa orang perempuan dari golongan Anshar Mereka semua berkata: dalam kebajikan dan keberkahan dan dalam keberuntungan ibu menyerahkan saya kepada perempuan-perempuan itu. Maka mereka memperbaiki keadaan saya kemudian pada waktu dhuha secara tiba-tiba Rasul datang kepada saya ibu saya menyerahkan saya kepada Rasul, di kala itu saya berumur 9 tahun. " ( Al Bukhary 63: 44, Muslim 16: 9 ; Al Lu'l-u wal Marjan 2: 104 ).
Baca juga:
Rasulullah menikahi saya di kala saya berumur 6 tahun. Peristiwa ini menjadi dalil bahwa ayah boleh mengawinkan anaknya yang masih kecil tanpa izinnya. Kakek disamakan dengan ayah oleh golongan Syafi'iyah.
An Nawawy berkata: "Para ulama sepakat mensahkan si ayah menikahkan anaknya yang masih bikir dan kecil tanpa izin si anak. Dan apabila si anak telah baligh, dia tidak mempunyai hak khiyar ( memilih ) untuk memasakhkan nikah itu, menurut Asy Syafi'y, Malik dan lain-lain.
Sedang menurut ulama Irak si anak mempunyai hak memasakhkan diri apabila dia telah dewasa." Mengenai wali yang lain dari ayah dan kakek, tidak sah menikahkan perempuan yang masih kecil.
Demikian menurut Asy Syafi'y, Ats Tsaury, Malik, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Abu Tsaur, Abu Ubaid dan jumhur. Menurut Al Auza-y dan Abu Hanifah, juga boleh dinikahkan oleh wali-wali yang lain dan nikah itu sah tetapi si gadis boleh membatalkannya sesudah dia baligh.
Jumhur ulama tidak mensahkan wali menikahkan gadis kecil. Dalam pada itu, Asy Syafi'y tidak menyukai si ayah mengawinkan anaknya yang masih kecil sebelum sampai umur karena khawatir akan terjadi sanggahan dan penampikan dari si anak setelah dia sampai umur.
Para ulama berkata: "Walaupun akad nikah dilakukan di waktu si gadis masih kecil, tetapi hendaklah persandingan dan percampuran dilakukan sesudah si gadis berusia 9 tahun, ataupun telah berusia matang kawin ( maturity )"
Ad Daudy berkata: " Dalam hal ini tidak boleh diteladani Aisyah, karena beliau mempunyai keadaan luar biasa, hingga beliau telah dapat dicampuri di kala beliau berusia 9 tahun."
Setelah Nabi berhijrah ke Madinah, Aisyah menyusul Nabi dan tinggal di rumah Bani Harits. Setelah beberapa lama Aisyah berada di Madinah, beliau pun diserang demam, sehingga banyak rambutnya yang rontok.
Pada suatu hari, sesudah beliau sembuh dari demamnya, dan rambut-rambutnya telah tumbuh kembali dan turun sampai ke pundaknya, Ummi Ruman, ibu Aisyah mengunjunginya: Aisyah menerangkan bahwa setelah dia didandani, maka dengan tidak diduga-duga Rasulullah masuk ke tempat itu, waktu menjelang siang.
Ini memberi pengertian bahwa kita boleh menyerahkan pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki di siang hari. Bahkan Al Bukhary berhujjah dengan hadits ini untuk membolehkan dukhul pertama pada siang hari.
Peraturan yang berlaku di Mesir sekarang, tidak membenarkan nikah sebelum si gadis berumur 16 tahun, dan si jejaka berumur 18 tahun. Peraturan ini didasarkan kepada mazhab Ibnu Syubrumah. Menurut beliau tidak sah nikah yang dilakukan oleh seseorang wali, baik dia ayah ataupun kakek, sebelum si gadis mencapai umur 16 tahun. Bahkan pemerintah Mesir memenjarakan orang yang kawin sebelum usia tersebut.
Mengenai nikah Nabi dengan Aisyah, Al Khudhary seorang ahli sejarah meragukan tentang benarkah umur Aisyah di waktu kawin itu 6 tahun, dan di waktu dukhul 9 tahun.
Kesimpulan
Hadits ini memberi pengertian bahwa ayah dapat mengawinkan anaknya yang masih bikir dan kecil, tanpa meminta izin kepada anaknya itu.