Najis Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah
Najis menurut istilah bahasa, ialah sesuatu yang dipandang jijik oleh perasaan manusia normal, yang akan menjauhinya baik itu dilakukan dengan membersih kan dirinya, badannya, kainnya, tempatnya dan perkakas-perkakasnya. Makna ini, dipakai terus oleh syara'. Syara' telah menentukan beberapa najis, mewajibkan kita membersihkan diri darinya, khususnya ketika kita akan mengerjakan shalat.
Oleh karena para ulama tidak memperoleh nash-nash yang gath'i dalam hal najasah dan benda-benda yang menyucikannya, selain dari hadits-hadits yang telah diterangkan dan hadits tersebut diriwayatkan bukan dengan jalan mutawatir, maka para ulama berselisih pendapat.
Baca juga:
Perselisihan pendapat Ulama Tentang Najis
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menerangkan para ulama bersepakat menerapkan bahwa yang dihukum najis, hanya empat:
- Bangkai binatang yang berdarah, yang selain dari bangkai binatang air.
- Daging babi.
- Darah binatang yang selain dari binatang laut, yakni darah yang keluar daripadanya, dan banyak tertumpah ( masfuh ).
- Air kencing dan tahi manusia.
Asy-Syaukany dalam Ar-Raudhatun Nadiyah menjelaskan bahwa Sesuatu benda dianggap yang bersifat najis itu berupa kotoran, air kencing manusia. Juga dipandang sebagai najis adalah selain air kencing anak laki-laki yang masih minum air susu ibunya. Juga dianggap najis berdasarkan hadits adalah air liur anjing, tahi binatang, darah haid dan daging babi."
Selain dari hal tersebut, diperselisihkan. Asal hukum segala benda itu suci, hing ga ada keterangan yang menyatakan kenajisannya. Asy-Syaukany tidak menyetujui kenajisan bangkai dan darah tertumpah ( masfuh ). Air liur anjing yang menurut Asy-Syaukany najis, tidak dinajiskan oleh Ikrimah dan Malik.Para mujtahid telah berselisihan paham tentang benda-benda yang menyuci kan. Ada yang menetapkan bahwa yang dapat menyucikan itu, hanyalah air mut lak, yaitu golongan Syafi'iyah dan Hanabilah dengan mengecualikan istinja' dengan batu, menyucikan kulit bangkai dengan penyamakan, arak yang telah menjadi cuka dianggap suci. Air muqayyad ( yang tidak mutlak ), seperti: air mawar, menurut paham golongan ini tidak dapat menghilangkan najis.
Menghilangkan najis ialah dengan menghilangkan 'ain najasah ( substansi / zat nya ), sifatnya kecuali yang sukar dihilangkan, warna dan baunya. Caranya dengan cara menuangkan air ke atas najis, bukan benda yang kena najis itu di masukkan ke dalam air, jika air itu kurang dua qulah, maka air tersebut menjadi air najis. Pendapat golongan inilah yang sangat bertele-tele dalam masalah najasah ini.
Dari golongan ini ada yang berpendapat, bahwa apabila darah keluar dari gigi, jika tidak dibersihkan dengan air mutlak, mulut itu tetap najis; puasa dan shalat batal karenanya, walaupun diyakini bekasannya telah hilang. Sekiranya dalam soal ini, para sahabat berpendapat seperti golongan ini tentulah ada riwayat yang me nerangkannya.
Segolongan mereka memaafkan najasah yang tidak dapat dilihat mata. Go longan Hanabilah mewajibkan kita membasuh tempat yang kena najis, walaupun tidak kelihatan bekasannya.
Ada pandangan dari sebagian para ulama bahwa segala benda yang bersifat cair yang dapat menghilangkan najasah itu dapat menyucikannya.
Demikian pula najis dapat disucikan dengan menajam kannya, seperti orang yang menajamkan mata pedang dan cermin. Juga matahari, udara dan api, dapat membersihkan.
Juga pandangan para ulama bahwa benda najis yang sudah berubah bentuknnya ( 'ain-nya ) dapat menjadi suci, seperti minyak yang bernajis setelah menjadi sabun itu menjadi suci menurut golongan Hanafiyah. Golongan ini melihat kepada maksud syara' terhadap thaharah, maka setiap yang dapat membersihkan, boleh dipakai untuk alat thaharah.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid berkata: "Seluruh ulama Islam bermufa kat menetapkan, bahwa air itu suci menyucikan, dapat menghilangkan najasah, dan mereka mufakat pula menetapkan kebolehan ber-istinja' dengan batu." Selain dari soal ini, mereka berselisih. Ada golongan yang menetapkan, bahwa segala benda yang suci, dapat menghilangkan najasah, cair ataupun beku, di sembarang tempat. Inilah pendapat golongan Hanafiyah.
Ibnu Rusyd menegaskan pula: "Sesungguhnya golongan Syafi'iyah dalam soal ini, jauh dari yang dimaksudkan, tidak berjalan di atas garis yang sudah ditentukan."
Suatu hal yang ganjil dari pendirian Syafi'iyah, ialah mereka mengatakan, bahwa membasuh najasah itu, ta'abbudi ( suatu kepatuhan ). Tetapi jika benar ta'abbudi, beradasarkan kepatuhan, mengapakah mereka meng-qiyas-kan babi kepada anjing dalam arti sama-sama dibasuh tujuh kali yang diantaranya sekali dengan tanah ? Sesungguhnya yang mendorong mereka kepada ketegasan ini, ialah paham mereka yang memastikan hilang 'ain najasah itu dan menjadikannya syarat sah shalat. Padahal ini soal yang diperselisihkan juga.Ibnu Rusyd mengatakan: "Perihal bersuci dari najasah ini, ada yang mengatakan sunnat." Menurut penjelasan Abdul Wahhab, bahwa Malik menjadi kan suci dari najasah, sebagai syarat sah shalat, apabila teringat dan sanggup meng hilangkannya. Diriwayatkan juga oleh Malik, bahwa beliau tidak menjadikan suci dari najasah, sebagai syarat sah shalat.
Asy-Syaukany telah memeriksa dengan seksama keterangan yang dipegang untuk mensyaratkan sah shalat dengan suci dari najasah. Maka kesimpulannya, tidak ada suatu pun dalil yang menunjuk kepada persyaratannya. Kebanyakan dalil menunjuk kepada wajib menghilangkan najis. Asy-Syaukany mengatakan: "Pendapat yang mengatakan, bahwa apabila disuruh mengerjakan sesuatu, berarti menger jakan sesuatu yang berlawanan, dilarang, adalah dha'if."
Juga pengertian ini wajib, ini syarat, sangat berbeda. Abdul Asybal Ahmad Muhammad Syakir mengatakan: "Ayat dan hadits me nekankan kepada wajib bersuci dari najasah. Akan tetapi apakah suci dari najasah syarat sah shalat ? Tidak ada keterangan yang menyatakan, bahwa suci dari najasah, syarat sah shalat. Dalil-dalil yang diperoleh, semuanya menunjuk kepada sah shalat orang yang pada badannya ada najasah."
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa sesuatu yang sepakat para ulama dan tidak dapat diperselisihkan dalam soal thaharah ini ialah thaharah itu merupakan sesuatu yang dituntut agama. Thaharah yang diwajibkan itu, hanyalah wudhu, mandi dari janabah, haid dan nifas dengan air dan tayammum dengan tanah ketika tidak ada air atau tidak dapat menggunakannya.
Syara' menghendaki kebersihan dengan cara memudahkan dan tidak mem persulit. Karena itu urusan menghilangkan najasah, syara ' menyerahkan kepada ij tihad umat sendiri. Karena itu pula timbullah paham yang teliti benar, seperti paham Syafi'iyah dan Hanbaliyah; juga timbul paham yang sederhana seperti pa ham Hanafiyah dan paham yang sangat memudahkan bagi umat secara umum, yaitu golongan Malikiyah.
Kemudian itu harus dimaklumi, bahwa imam-imam mujtahid itu tidaklah men jadikan hasil ijtihadnya ( inisiatifnya ) sebagai suatu tasyri' 'am ( undang-undang umum ) yang wajib bagi umat seluruhnya, sebagai dibebankan kepada para umat dengan mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menentukan ( qath'iyah ).
Dan yang lebih ganjil pula, ialah paham menajiskan segala benda yang di dalamnya ada alkohol, atau spiritus. Karena itu mereka menajiskan minyak wangi, minyak rambut dan obat-obat. Padahal benda-benda itu lebih dapat menghilang kan najasah daripada air sendiri.Koleksi Hadits-hadits Hukum Oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy