Hukum Kesucian Air Yang Dijilat Kucing
ان الهرة ليست بنحس إنما هي من الطوافين عليكم
Hadits di atas menurut penetapan Al-Bukhary adalah shahih. At-Turmudzy me nyatakan hadits ini hasan shahih.
Artikel Terkait:Hal ini menyatakan kesucian kucing dan kesucian sisa minumnya, walaupun ia baru habis menyentuh najis; asal tidak terlihat bekasan najis, di mulutnya. Malik, Asy-Syafi'y dan Al-Hadi menetapkan, bahwa mulut kucing, suci; demikian pula sisa minumnya. Abu Hanifah menajiskan sisa minum kucing. Sebagian ulama mengatakan: “Kucing yang telah menjilati barang najis dan belum berlalu semalam lamanya, kemudian menjilat air, maka najislah air itu. Tetapi jika sesudah semalam berlalu baru ia menjilati air, maka air itu tidak najis."
Ahmad mengatakan: “Jika kucing, atau tikus jatuh ke dalam benda yang cair, kemudian keluar, maka air dan benda yang kejatuhan binatang itu, tidak najis; boleh diminum dan dipakai untuk berwudhu."
Tentang binatang-binatang yang lain
Abu Bakar Ibnu Mundzir mengatakan: “Para ahli telah ber-ijma' menetapkan bahwa sisa minum binatang yang dimakan dagingnya, boleh kita minum dan kita pakai untuk berwudhu."
Kebanyakan para sahabat dan tabi'in berpendapat bahwa sisa minuman kucing dan binatang-binatang kecil, seperti tikus, binturang ( sejenis musang ) dan lain-lain, suci, boleh diminum dan dipakai untuk berwudhu, tidak makruh.
Sebagian ahli ilmu mengatakan: “Hukum dalam urusan suci najisnya kulit binatang tersebut, rambutnya ( bulunya ), peluhnya, air matanya, air liurnya, adalah menurut hukum air sisanya."
An-Nawawy mengatakan: “Air sisa binatang-binatang seperti kucing, baghal ( sejenis keledai ), zebra, keledai, segala binatang buas, tikus dan segala binatang yang lain selain dari anjing dan babi, suci tidak makruh kita memakai sisa air binatang-binatang itu. Atha', Az-Zuhry, Yahya Al-Anshary, Bakir ibn Al-Asysyaj, Rabi'ah Abu Zinad, Malik, Asy-Syafi'y dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa air sisa binatang yang selain dari anjing dan babi, suci."
Ibnu Qudamah mengatakan: “Tidak boleh kita berwudhu dengan air sisa bina tang yang dagingnya tidak bisa dimakan, selain dari air sisa kucing dan binatang yang lebih kecil daripadanya, dan boleh berwudhu dengan air sisa binatang yang bisa dimakan dagingnya."
Ibnu Rusyd mengatakan: “Para ulama hanya mufakat dalam menetapkan, kesucian air sisa yang diminum orang Islam dan air sisa binatang an'am ( binatang ternak: unta, sapi dan kambing, biri-biri ). Mereka berselisih pada yang selainnya.
Al-Auza'y dan Dawud mengatakan: “Sisa air semua macam binatang adalah suci." Malik mengecualikan babi. Asy-Syafi'y mengecualikan anjing dan babi. Ibnu Qasim mengecualikan semua binatang buas, termasuk anjing, babi, dan lain-lain.Ats-Tsaury dan Abu Hanifah menetapkan bahwa air sisa binatang itu, meng ikuti hukum dagingnya. Kalau dagingnya halal dimakan, air sisanya suci. Kalau dagingnya makruh dimakan, maka air sisanya makruh dipakai. Kalau dagingnya haram dimakan, air sisanya najis. Ibnu Hazm menetapkan bahwa air sisa orang musyrik najis.
Ahmad dan Ibnul Qasim mengatakan, bahwa air sisa orang musyrik yang minum arak, demikian juga air sisa binatang yang suka makan najis, seperti ayam, makruh dipakai. Ada tiga sebab mereka berselisih:
- Berlawanan qiyas dengan zhahir maksud Al-Qur'an.
- Berlawanan qiyas dengan zhahir hadits.
- Berlawanan hadits sesama hadits.
Qiyas ini berlawanan dengan firman Allah swt. yang zhahir-nya menerangkan bahwa babi dan orang musyrik, najis. Lantaran ini, terdapatlah golongan yang hanya mengecualikan babi dan orang-orang musyrik saja. Mereka mengartikan " rijs " dengan " najis. "
Qiyas ini berlawanan dengan hadits-hadits yang zhahir-nya menyatakan kenajisan anjing, kucing dan binatang buas. ( Hadits yang menerangkan kenajisan anjing akan diterangkan kemudian ).
Hadits yang menegaskan kenajisan air sisa ialah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa bejana yang dijilati kucing, dibasuh sekali atau dua kali.
Hadits yang menegaskan kenajisan air sisa binatang buas, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ar-Turmudzy; bahwa kalau air cukup kadar dua qulah; tidaklah dapat dipengaruhi najis. Perkataan ini memberikan pengertian, bahwa kalau air itu kurang dua qulah dapat dipengaruhi najis yang jatuh ke dalamnya.
Atas dasar yang dikatakan berlawanan, maka menurut hadits yang diriwayat kan Malik dalam Al-Muwaththa' dari 'Umar, menegaskan, bahwa air sisa binatang buas, tidak najis dan menurut hadits air dua qulah menyatakan, bahwa kalau kurang dari dua qulah maka air yang dijilati binatang buas itu, najis.
Kemudian Ibnu Rusyd menerangkan, bahwa yang terkuat dari pendapat pendapat itu, ialah pendapat yang mengecualikan air sisa anjing, air sisa babi dan air sisa orang musyrik, jika kita berpegang kepada zhahir-nya dalil.
Dalam hadits itu, Abu Walid ibn Rusyd ( kakek Ibnu Rusyd ) mengatakan: “Hadits yang menyuruh kita membersihkan jilatan anjing dengan tujuh kali, bukan me nekankan kepada kenajisannya. Perintah ini didasarkan kepada kemungkinan anjing itu berpenyakit gila ( rabies )."
Menurut madzhab Malik, anjing adalah suci. Perintah membersihkan bejana dari jilatannya, suatu perintah kepatuhan ( ta'abbady ) dan mungkin karena dikhawatirkan anjing yang menjilat itu gila.
Hadits ini jelas menyatakan kesucian air sisa kucing. Keterangan-keterangan yang tegas selain dari mengecualikan anjing, tidak ada. Ini pun jika tidak di takwilkan. Dimaksud dengan air sisa adalah air liur dan basahan mulutnya.