Kesucian Air Yang Terkena Najis
Abu Said Al-Khudry menerangkan: Rasulullah saw. bersabda:
قال رسول اللہ ﷺ: الماء طهور لا ينجسه شيء
“Bahwasanya air itu tidaklah dinajiskan oleh sesuatu. " ( HR. Ahmad, An-Nasa'iy, Abu Dawud dan At-Turmudzy ; Al-Muntaqa 1: 14 )
Abu Umamah Al-Bahily ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
قال رسول اللہ ﷺ: ان الماء لا ينجسه شئ الا ما غلب على ريحه وطعمه ولونه
“Bahwasanya air itu tidaklah dinajiskan oleh sesuatu, kecuali yang dapat mengubah baunya, atau rasanya, atau warnanya." ( HR. Ibnu Majah ; Bulughul Maram: 3 )
Baca juga:
Hadits yang ke-3 di atas dishahihkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma'in, Al-Hakim dan Ibnu Hazm. Ar-Turmudzy menyatakan hadits ini hasan.
Asbabul wurud-nya adalah sebagai berikut: pada suatu hari, seorang laki-laki bertanya kepada Rasul tentang air sumur Badha'ah ( nama sebuah sumur yang menurut Abu Dawud hanyalah enam hasta lebarnya; dan dalamnya ketika musim kering hanya sebatas lutut, selalu dicampakkan orang ke dalamnya, perca haid, bangkai anjing dan benda-benda busuk ). Dia bertanya: “Bolehkah kami bersuci dengan air sumur Badha'ah, ya Rasulullah ? " Nabi saw. Menjawab dengan perkataannya: “Bahwasanya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu, yakni sesuatu yang tidak mengubah baunya, atau rasanya atau warnanya." Menyatakan bahwasanya air itu tetap suci menyucikan walaupun telah terkena najis, air itu sedikit ataupun banyak, tidak ada perbedaan, selama belum berubah salah satu dari tiga sifatnya: bau, rasa dan wama.
Hadits ( 4 ) menurut pentahqiqan Imam Abi Hatim, bahwa hadits yang di riwayatkan Ibnu Majah ini, dha'if ( lemah ), tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits ini dinyatakan dha'if karena kurang syaratnya untuk dapat dipandang shahih, atau hasan, yaitu salah seorang perawi yang menjadi pertalian sanad-nya, bernama Rasyidin ibn Sa'ad, sangat ceroboh, kurang hati-hati.
An-Nawawy mengatakan: “Para ulama hadits sepakat menetapkan, bahwa perkataan "melainkan oleh yang dapat mengubah bau atau rasanya atau warnanya," dha'if jalan yang menyampaikan perkataan itu kepada kita. Bagian pertama dari hadits ini, sesuai dengan hadits yang telah lalu ( lihat hadits ( 3 ) menyatakan, bahwasanya air menjadi najis jika najis yang jatuh ke dalamnya dapat mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu: bau, rasa dan warna.
Ibnu Mundzir: “Ulama menetapkan secara ijma', bahwa air menjadi najis, banyak apalagi sedikit, jika salah satu dari sifatnya ( baunya, rasanya dan warnanya ) telah berubah oleh karena kejatuhan najis." Ijma' ulama ini, dinukilkan oleh Al-Mahdy dalam kitab Al-Bahar dan oleh Ibnul Mulaqqin.
Ahli ijtihad berselisih paham tentang hukum air yang kena najis yang salah satu sifatnya tidak berubah. Malik, ulama Zhahiriyah dan Ahmad ( dalam salah satu riwayatnya ), segolongan pengikutnya, Al-Qasim ibn Ibrahim, Yahya ibn Hamzah dan segolongan dari Ahlul Bait ( dari keturunan Rasul ) berpendapat, bahwa air yang kejatuhan najis yang tidak berubah salah satu sifatnya, tetap suci, walaupun air itu hanya sedikit. Air menjadi najis apabila berubah salah satu dari sifatnya.
Ada tiga golongan pendapat dalam menetapkan air yang kejatuhan najis dan tidak berubah sifatnya adalah tetap suci, namun mereka berbeda dalam menetapkan "kadar banyak sedikitnya air." Ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa air yang dipandang banyak itu ialah air yang apabila digerak-gerakkan salah satu tepinya, tidaklah bergerak tepi yang lain.
Ulama-ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa air dipandang "banyak", ialah yang sampai dua qulah ( yaitu: apabila diukur ada sehasta seperempat, persegi empat ). Asy-Syafi'y dan pengikutnya berpegang kepada hadits air dua qulah ( akan diterang kan kemudian ). Mereka berlainan pendapat dalam menetapkan kadar air, banyak atau sedikit, adalah lantaran hadits yang berkenaan dengan urusan ini, berlawanan satu sama lain pada zhahir-nya.
Hadits yang menyuruh kita membasuh tangan di luar bejana lebih dahulu, jika kita hendak berwudhu sesudah bangun dari tidur, dan juga hadits yang mencegah kita buang air kecil / besar ke dalam air yang tidak bergerak; serta hadits yang me nyuruh kita membuang air sisa anjing memberi pengertian bahwa najis yang se dikit dapat menajiskan air yang sedikit.
Hadits yang menyuruh kita menyiram air ke bekas kencing di atas tanah, memberi pengertian, bahwa najis yang sedikit, tidak menajiskan air yang sedikit.
Golongan pertama mengumpulkan hadits-hadits yang berlawanan pada zhahir nya dengan menetapkan, bahwa air tidak najis, sebelum berubah salah satu sifat nya. Hadits yang menyuruh kita membasuh tangan di luar bejana, ketika hendak berwudhu dari bangun tidur, hadits yang menyuruh kita menumpahkan air jilatan anjing, tidak memberi pengertian bahwa air yang sedikit itu, dapat dinajiskan oleh najasah yang sedikit, yang tidak mengubah salah satu sifatnya.
Perintah-perintah hadits itu dihukum perintah ta'abbudi ( perintah kepatuhan yang tidak dapat dipahami maknanya ). Atau cegahan makruh, menurut kata sebagian ulama golongan pertama ini.
Golongan Syafi'iyah mengumpulkan hadits-hadits yang berlawanan, dengan dasar hadits yang menyatakan bahwa air tidak dinajiskan oleh sesuatu adalah jika air itu sampai dua qulah.
Hadits yang menyuruh kita membasuh tangan di luar bejana lebih dulu, apabila hendak berwudhu sesudah bangun dari tidur ; hadits yang melarang kita kencing ke dalam air tenang ( air yang tidak mengalir ) mereka hu bungkan kepada air sedikit yang kurang dari dua qulah.
Golongan Syafi'iyah membedakan antara air datang kepada najis dengan najis datang kepada air. Mereka mengatakan: “Jika yang datang itu najis, maka najis itu, dapat memudaratkan air yang sedikit. Jika yang datang itu, air, maka najis yang sedikit itu, tidak dapat memudaratkan air." Paham membedakan yang demikian telah dibantah oleh Al-Munir Ash-Shan'any, pengarang Subulus Salam dengan keterangan yang kuat.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Telah sepakat para ahli ijtihad menetapkan, bahwa air telah berubah salah satu sifatnya karena ada najis, tidak boleh lagi kita pakai untuk berwudhu dan mandi. Ketetapan ini disetujui oleh seluruh ulama madzhab, tidak ada perselisihan terhadapnya. "
Al-Ghazaly dalam Al-Ihya' 'Ulumuddin mengatakan: “Aku ingin sekali supaya madzhab Asy-Syafi'y dalam bab ini seperti madzhab Malik, yaitu air tidak najis, walaupun sedikit, kecuali jika berubah." Dengan panjang lebar Al-Ghazaly mem berikan ulasannya untuk menguatkan madzhab Malik.
Ibnu Daqiqil id dalam kitab Al-Iman mengatakan: “Pendapat Malik dalam soal ini, adalah salah satu dari pendapat Ahmad yang telah dikuatkan oleh sebagian rekannya dan diteguhkan oleh seorang ulama besar dalam madzhab Asy-Syafi'y yakni Al-Qadhi Abul Hasan Ar-Ruyany"
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla mengatakan: “Pendapat tidak menajiskan air yang tidak berubah, dengan tidak memandang kepada banyak sedikitnya, dinukilkan dari ulama-ulama sahabat, yakni dari ' Aisyah, 'Umar ibn Al-Kaththab, Abdullah ibn Mas'ud, Ibnu Abbas, Maimunah, Al-Hasan ibn Ali, Abu Hurairah dan Abu Huzaifah.
Juga dinukilkan dari Al-Aswad ibn Yazid, Ibnu Abi Laila, Said ibn Jubair, Said ibn Al-Musayyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad, Al-Hasan Al Bishry dan lain-lainnya dari golongan tabi'in. Karena jika taqlid dibolehkan, maka bertaqlid kepada ulama-ulama sahabat dan ulama-ulama tabi'in tersebut, lebih utama daripada taqlid k epada Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi'y."
Pendapat yang benar atau yang dekat kepada kebenaran, ialah pendapat Malik dan yang sependapat dengannya. Pendapat ini dikuatkan oleh segolongan ahli bait dan telah dipilih oleh Syarafuddin dari golongan muta'akhkhirin Ahlul Bait.
Dapat kita tegaskan bahwa biar pun hadits ini, dihukum dha'if karena telah terjadi ijma', namun ijma' para ahli ijtihad mewujudkan, bahwa makna hadits ini shahih. Maka yang menjadi pegangan kita untuk menetapkan bahwa air yang telah diubah oleh najis, tidak boleh dipakai lagi, ialah ijma', bukan hadits yang lemah sanad-nya ini.
Bahwasanya air yang bercampur dengan benda yang suci, jika percampuran itu menimbulkan nama lain dari nama mutlaknya maka air itu, tidak dapat lagi di pergunakan untuk bersuci ( wudhu, mandi menghilangkan najasah ), hanya suci saja.
Tetapi jika percampuran itu belum lagi mengubah nama air mutlak, yakni masih tetap dikatakan air, tetaplah hukumnya suci menyucikan.
Diberitakan oleh An-Nasa'y dan Ibnu Khuzaimah, bahwa Rasulullah pernah tepung yang besar. mandi beserta Maimunah dengan air yang diisi ke dalam sesuatu tempat adonan tepung yang besar.
Referensi dari Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits Hukum