Tafsir Surat Al-Fajr Ayat 15 Sampai 30 Bahaya Cinta Harta Berlebihan
Perlu digarisbawahi bahwa siksaan yang dijatuhkan Allah itu, bukan karena mereka berhasil membangun dunia dengan aneka peradaban itu, tetapi karena mereka sewenang-wenang dalam negeri, maka mereka berbuat banyak kerusakan di dalamnya.
Kata ( المرصد ) terambil dari kata ( رصد ) yang pada mulanya berarti mengintai. Pengawasan Allah terhadap makhluk diibaratkan dengan keadaan seseorang yang sedang duduk di jalan dalam keadaan mengawasi para pejalan, dan memperhatikan keadaan mereka, sehingga yang melanggar akan dihadang dan dijatuhi hukuman, baik segera maupun kemudian.
Pada ayat ke 15 dan 16 Firman Allah:
Terjemahannya:
"Adapun manusia apabila ia diuji oleh Tubannya lalu dimuliakan-Nya dan diberi Nya nikmat, maka ia berkata: “Tubanku telah memuliakanku." Adapun bila mengujinya lalu membatasi rezekinya maka ia berkata: “Tubanku telah menghinakanku."
Ayat di atas bagaikan menyatakan: Demikianlah adat kebiasaan dan peradaban yang dibangun oleh ketiga masyarakat itu, dan demikian juga kebiasaan Allah dalam perlakuan-Nya kepada para pendurhaka.
Sebenarnya Allah tidak menghendaki dari manusia kecuali ketaatan yang bermanfaat buat mereka dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, adapan manusia yang durhaka maka apabila ia diuji oleh Tuhan Pemelihara-Nya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya nikmat seperti harta, kehormatan dan kekuatan guna menampakkan dalam kenyataan kadar syukurnya, maka ia senantiasa berkata dengan bangga tanpa sadar bahwa itu ujian-bahwa: “Tuhanku telah memuliakanku karena aku memang wajar dimuliakan sebab Tuhan mencintaiku."
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya atau menimpakan kepadanya aneka kekurangan seperti penyakit atau hilangnya yang dikasihi, dengan tujuan menampakkan dalam kenyataan kadar kesabarannya maka ia berkata dengan kesal menggerutu sambil melalaikan tuntunan agama bahwa "Tuhanku telah menghinakanku."
Kata ( أكرمه ) terambil dari kata ( كرم ) yang digunakan untuk menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( إكرام ) menurut sementara ulama adalah terhantarkannya kepada manusia apa yang bermanfaat baginya tanpa kekeruhan dan kerendahan dan juga dalam arti menjadikan seseorang terhormat.
Menurur Thahir Ibn 'Asyur, ayat-ayat yang lalu menjelaskan aneka kenikmatan yang dialami oleh generasi yang lalu, tetapi mereka lengah dan tidak menghiraukan ajakan para rasul serta mengabaikan upaya-upaya meraih nidha Allah. Mereka angkuh dan membanggakan kekuatan mereka, maka setelah ayat-ayat di atas menguraikan sanksi duniawi yang dijatuhkan Allah, disebutlah pelajaran yang dapat diambil darinya yaitu bahwa keadaan kaum musyrikin Mekah serupa dengan keadaan kaum yang durhaka itu, sambil mengingatkan kekeliruan mereka yang menduga bahwa kenikmatan yang mereka peroleh adalah pertanda kemuliaan mereka di sisi-Nya.
Mereka tidak percaya bahwa ada keh idupan sesudah kehidupan dunia ini, dan inilah yang menjadikan mereka mendustakan peringatan yang disampaikan kepada mereka. Demikian Ibn 'Asyur.
Ayat di atas tidak memperhadapkan kata ( فأكرمه ) lalu dimuliakannya-yang berbicara tentang kelapangan rezeki- dengan lawannya yakni ( فأهانه ) lalu dihinakannya. Ini karena keterbatasan reak bukanlah penghinaan. Bukankah sekian banyak dari hamba-hamba-Nya yang saleh justru hidup dalam kesempitan atau kesederhanaan ?
Yang dimaksud dengan kata ( الإنسان ) pada ayat di atas, adalah jenis manusia, khususnya yang durhaka. Sementara ulama menunjuk nama-nama tertentu, seperti 'Uthah Ibn Rabi'ah, atau Abu Hudzaifah Ibn al-Maghirah, atau Umayyah Ibn Khalaf.
Nama-nama tersebut memang merupakan tokoh kaum musyrikin, dan wajar untuk dijadikan contoh kesesatan dan penyesatan, namun demikian, kita tidak harus membatasi ayat di atas hanya ditujukan kepada mereka.
AYAT 17-20
Artinya:
"Sekali-kali tidak, Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajarkan memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara menghimpun dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang banyak."
Ucapan para pendurhaka sebagaimana terbaca pada kedua ayat yang lalu, dikecam dan disanggah oleh ayat di atas bahwa: Sekali-kali tidak demikian !.
Atau berhentilah berucap demikian, karena kemuliaan berpangkal dan kebajikan dan ketaatan, demikian juga kehinaan adalah karena kedurhakaan kepada Allah !.
Sebenarnya kamu wahai yang diluaskan rezekinya oleh Allah tidak memuliakan anak yatim padahal Allah-menurut pendapatmu Dia telah memuliakan kamu- sebagaimana pengakuanmu sendiri, dan lebih dan itu kamu bahkan tidak saling menganjurkan memberi makan orang mukin-apalagi memberi mereka pangan, padahal kamu memiliki kelebihan yang melimpah, dan kamu senantiasa memakan yakni mengambil dan menggunakan untuk kepentingan diri kamu harta pusaka dengan cara menghimpun yakni menghimpun yang halal bersama yang haram.
Kamu mengambil seluruh hak kamu dan mengambil juga warisan anak-anak yatim serta warisan wanita-wanita dan kamu terus-menerus mencintai harta benda dengan kecintaan yang banyak yakni berlebihan disertai dengan ketamakan, hal mana mendorong kamu untuk selalu mengumpulkannya lalu kikir menginfakkannya.
Itu semua akibat perhatian yang berlebih terhadap gemerlap duniawi, padahal mestinya manusia menggunakannya untuk meraih kenikmatan ukhrawi.
Kata ( لمّا ) terambil dari kata ( لمّ ) yang berarti menghimpun. Pada masa jahiliah kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan istri yang ditinggal, bahkan istri yang suaminya mati ataupun tidak jarang mereka warisi ( baca QS. an-Nasi' [ 4 ] ayat 19.
Dalih mereka adalah bahwa warisan hanya diperuntukkan bagi siapa yang terlibat dalam peperangan atau membela suku, dalam hal ini adalah para lelaki yang dewasa.
Kata ( جمّا ) terambil dari kata ( الجمّ ) al jamm yakni banyak. Yang dimaksud adalah berlebihan. Mencintai harta secara berlebihan itulah yang dikecam, karena cinta yang demikian dapat mengantar kepada pengabaian selainnya, bila yang bersangkutan dihadapkan pada dua hal yang berbeda-walau nilai-nilai agama. Kecintaan berlebihan itu jugalah yang mengakibatkan seseorang bersedia melanggar ketentuan hukum atau berlaku aniaya demi memperoleh kecintaannya itu.
AYAT 21-23
Artinya:
"Apabila bumi dihantamkan dengan hantaman yang besar dan datanglah Tubanmu sedang malaikat berbaris-baris; dan pada hari itu didatangkanlah neraka Jahannam; dan hari itu ingatlah manusia. Tetapi untuk apa lagi baginya mengingat."
Sikap manusia durhaka terhadap dunia secara umum dan harta benda wcara khusus seperti yang digambarkan oleh ayat-ayat yang lalu, dikecam oleh ayat ayat di atas. Mereka menduga itulah jalan kebahagiaan.
Ayat 21 di atas menafikan dugaan tersebut dengan menyatakan: Hai manusia, tidak demikian ! Atau ayat itu memperingatkan mereka bahwa: Jangan berbuat demikian, karena yang demikian dapat mencelakakan kamu. Apabila bumi dengan mudah dihantamkan berturut-turut dengan hantaman yang besar sehingga meluluhkan segala sesuatu, dan datanglah Tuhanmu-wahai Nabi Muhammad atau wahai manusia dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Nya atau hadirlah ketetapan-Nya, serta nampaklah dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya; sedang malaikat berbaris-baris sesuai dengan kedudukan dan tugas-tugasnya, dan pada hari itu didatangkanlah yakni diperlihatkan neraka Jahannam dengan aneka kengerian dan siksanya; dan pada hari yakni setiap terjadinya peristiwa peristiwa itu, ingatlah manusia, yakni sadarlah ia tentang apa yang telah dilalaikannya. Tetapi untuk apa, yakni tidak berguna lagi baginya mengingat, yakni kesadaran itu, karena saat itu adalah saat menuai, sedang saat menanam telah berlalu.
Kata ( دكّت ) dukkat terambil dari kata ( دكّ ) dakka yang berarti menghantam sesuatu sehingga menghancurkannya. Pengulangan kata ( دكّ ) dakkan untuk mengisyaratkan bahwa penghancuran itu benar-benar akan terjadi, atau untuk menunjukkan berulangnya penghancuran itu, masing masing wilayah atau gunung dihancurkan sehingga benar-benar hancur lebur, dan bumi menjadi ( rقاعا صفصف ) datar sama sekali ( QS. Tháhá (20) ayat 106 ). Sedang pengulangan kata ( صفّا ) shaffan / barisan mengisyaratkan banyaknya shaf malaikat, yang berbaris di tempat penghimpuan seluruh makhluk di Padang Mahsyar itu.
AYAT 24-26
Artinya:"Ia mengatakan: “Seandainya aku dahulu mengedepankan untuk hidupku." Maka pada hari itu tiada satu pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada satu pun yang mengikat seperti ikatan-Nya."
Ayat yang lalu melukiskan penyesalan manusia, ayat di atas menginformasikan ucapannya ketika ia melihat betapa bahagianya orang beriman dan betapa sengsaranya yang durhaka yaitu bahwa: layakni manusia yang menyesal itu dari saat ke saat selalu mengatakan dengan penuh penyesalan: “Seandainya aku dahulu mengedepankan yakni melakukan kegiatan yang berguna untuk hidupku yang kekal ini, atau pada masa hidupku di dunia dahulu."
Maka pada hari terjadinya peristiwa-peristiwa itu tiada satu pun yakni tidak terbayang dalam benak seseorang pun adanya yang menyiksa seperti ka Nya, dan tiada satu pun yang mengikat seperti ikatan Nya.
Firman-Nya tiada satu pun yang menyiksa seperti siksa Nya dapat juga berarti pada hari itu manusia sangat takut kepada Allah, rasa takut yang tiada bandingannya. Siksa Allah itu, dilukiskan oleh banyak ayat al-Qur'an. Anda dapat menemukannya dengan mudah. Anda jangan berkata bahwa siksa itu sedemikian besar dan parah, tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Bukankah kesalahan hanya dilakukan sekian waktu dan terlihat remeh, tetapi mengapa siksa dapat terjadi sepanjang masa dan amat keras Jangan berkata demikian, karena siksa itu adalah hasil atau buah perbuatan yang bersangkutan.
Dalam kehidupan dunia ini, bila Anda menanam satu butir dari sebuah tomat, maka Anda akan memanen tomat yang tidak sebanding dengan apa yang Anda tanam. Jika seseorang meminum segelas air bersih, ia akan merasa segar dan kehilangan dahaga, tetapi mengapa jika ia meminum setetes racun, ia akan mati. Adilkah itu ? Bukankah ini hanya setetes ?
Pertanyaan ini tidak pada tempatnya. Yang bertanya lupa bahwa itu adalah hasil dari tindakannya. Pohon tomat yang menghasilkan ratusan tomat atau bahkan ribuan padahal yang ditanam hanya bagian yang sangat kecil dan sebuah tomat, merupakan hal yang wajar, karena itulah ketentuan hukum Allah bagi tomat. Kematian yang meminum racun-walau hanya setetes- begitu juga.
Demikian pula halnya dengan kedurhakaan yang dilakukan seseorang. Itu adalah buah yang ditanamnya dalam kehidupan dunia yang akan mereka petik hasilnya di hari Kemudian nanti.
AYAT 27-30
Artinya:"Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati rela lagi diridhai, maka maklah ke dalam hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."
Ayat yang lalu menguraikan penyesalan manusia durhaka, serta siksa atau rasa takutnya. Ayat di atas menggambarkan keadaan manusia yang tar. Kalau ayat yang lalu melukiskan ucapan yang menyesal, ayat di atas melukiskan sambutan Allah kepada yang taat.
Allah berfirman menyerunya ketika ruhnya akan meninggalkan badannya atau ketika ia bangkit dari kuburnya: Hai jiwa yang tenang lagi merasa aman dan tentram karena banyak berdzikir dan mengingat Allah kembalilah yakni wafat dan bangkitlah di hari Kemudian kepada Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-mu dengan hati rela yakni puas dengan ganjaran Ilahi lagi diridhai oleh Allah bahkan seluruh makhluk, maka karena itu masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku yang taat lagi memperoleh kehormatan dari-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku yang telah ku persiapkan bagi mereka yang ta'at.
Sementara ulama memahami ( النفس المطمئنّة ) dalam arti jiwa yang tenang, yakin akan wujud Allah atau janji-Nya disertai dengan keikhlasan beramal.Awal surah ini dimulai dengan sumpah Allah untuk membuktikan keniscayaan Kebangkitan, akhirnya pun berbicara tentang Kebangkitan Manusia durhaka bangkit menyesali hidupnya dan yang taat bangkit dalam keadaan ridha dan diridhai serta dipersilahkan masuk ke dalam surga.
Demikian bertemu awal surah ini dan akhirnya. Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Referensi Berdasarkan Buku Tafsir Al-Misbah yang Ditulis Oleh Quraish Shihab