Tafsir Surat Al-Falaq Berlindung dari Kejahatan Makhluk
SURAH AL-FALAQ
Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini Makkiyyah yakni turun sebelum Nabi saw. berhijrah ke Madinah. Surah ini dinamai Nabi saw. dengan nama surah Qul A'udzu bi Rabb al-Falaq. Ada juga yang mempersingkat dengan menamainya surah al-Falaq. Surah ini bersama dengan surah sesudahnya yaitu an Nas dinamai juga s surah al Mu'awwidzatain, Nama itu terambil dari kata kedua surah tersebut yang menggunakan kata Ada yang berarti Aku berlindung, sehingga dua surah yang menuntun pembacanya kepada sempat perlindungan. Dan nama tersebut sementara ulama menamai surah ini dengan surah al Mau'idhah al Ula ( yang pertama ) dan surah an-Når dengan surah al Mau'idhah ats-Tasniyah ( yang kedua ).
Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai surah yang ke-20 atau 21 dan segi tertib turunnya. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 5 ayat.
AYAT 1
Allah swt. memulai kitab-Nya dengan menyebut hidayah-Nya dan mengajarkan untuk memohonkannya pada surah al-Fatihah Ihdina ash Shirath al Mustaqim dan firman-Nya pada awal surah al-Baqarah Hudan Lil Mattaqin.
Dari sini Allah memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dan segala macam kejahatan dan keburukan lahir dan batin sebagaimana dinyatakan pada awal surah ini: Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada siapa pun yang dapat menangkap ucapan, katakanlah sebagai pengajaran dan perintah bahwa aku berlindung dengan Tuhan Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu yang terbelah dengan mewujudkannya dari kegelapan ketiadaan. Demikian lebih kurang al-Biqa'i menghubungkan ayat di atas dengan surah sebelumnya.
Al-Qur'an memperumpamakan orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah dengan firman-Nya: "Perumpamaan arang orang yang mengambil perlindungan selain Allah adalah hagaikan laba laba yang membuat rumah. Serunggubaya serapub rapuh rumah adalah rumah laba-laba" ( QS. al-Ankabût [ 29 ]: 41 ).
Sarang-laba-laba adalah tempat perlindungan yang paling rapuh. Betapa tidak, sedang setiap serangga yang masuk ke dalamnya terjerat dan dilinasakan oleh laba-laba pembuat sarang itu, bahkan jangankan serangga, jantan laba-laba begitu selesai melakukan hubungan sex dengan betinanya, sang betina berusaha membinasakannya dan telur laba-laba begitu menetas saling tindih menindih sehingga tidak sedikit yang binasa. Demikian Allah memberi perumpamaan.
Kata ( الفلق ) terambil dari akar kata ( فلق ) yang berarti membelah Kata ini dapat berarti subjek sehingga berarti pembelah dan dapat juga berarti objek yakni yang dibelah.Berbeda beda pendapat ulama tentang maksud kata tersebut dalam surah ini. Ada yang memahaminya dalam arti sempit dan mengartikannya dengan pagi. Malam dengan kegelapannya dibaratkan sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam, menjadikannya bagaikan terbelah.
Keadaan demikian, menjadikan pagi hari dinamai falaq atau sesuatu yang membelah atau terbelah Rabb al-Falaq adalah Allah swt. karena Dia yang menetapkan dan mengatur sebab-sebab ( hukum-hukum alam ) yang menjadikan pagi yang membawa terang itu muncul di tengah kegelapan.
Sementara ulama yang mendukung pendapat ini menjelaskan lebih jauh bahwa surah ini menyifati Allah dengan Rabb al Falaq / Tuhan Pembelah ( gelap dengan cahaya benderang ) karena biasanya kejahatan atau kesulitan muncul di malam hari dan atau direncanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan itu dari manusia, binatang dan sebagainya kesulitan maupun yang diakibatkan oleh kelamnya malam itu sendiri.
Nah, dengan meyakini bahwa Allah kuasa membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi, seseorang akan yakin pula bahwa Allah juga kuasa menyingkirkan kejahatan dan kesulitan kapan dan di mana pun dengan memunculkan pertolongan dan menyingkirkan kesulitan. Bukankah kejahatan muncul dari kegelapan sampai-sampai ada yang percaya bahwa malam ( kegelapan ) adalah Tuhan kejahatan ?
Ulama yang memahami kata al-falaq dalam pengertian luas, memahaminya dalam arti segala sesuatu yang terbelah; tanah dibelah oleh tumbuhan dan oleh mata air, biji-bijian juga terbelah dan masih amat banyak lainnya. Allah menyifati diri-Nya ( فالق الحب والنوى ) pembelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan ( QS. al-An'am 16:95 ) serta ( فالق الأصباح ) pembelah kegelapan malam dengan sahaya pagi ( QS. al-An'am [ 6 ]: 96 ).
Dengan merujuk kepada kedua ayat ini, maka agaknya tidak menyimpang jika Rabb al-Falaq dipahami bukan hanya dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertian luas, mencakup segala sesuatu yang dapat dicakup oleh kata falaq
AYAT 2
من شر ما خلق
" Dari kejahatan yang diciptakan."
Setelah ayat yang lalu mengajarkan agar memohon perlindungan kepada Allah Pembelah ( Pencipta segala sesuatu termasuk pagi yang kuasa membelah kegelapan malam ), ayat di atas menjelaskan tujuan permohonan perlindungan itu yakni dari kejahatan semua makhluk yang diciptakan-Nya.
Kata ( شر ) pada mulanya berarti buruk dan atau mudharat. Ia adalah lawan dari ( خير ) khair / baik. Ibn al-Qayyim dalam tafsirnya mengemukakan bahwa an-narr mencakup dua hal, yaitu sakit ( pedih ) dan yang mengantar kepada sakit ( pedih ). Penyakit, kebakaran, tenggelam, adalah sakit ( pedih ), sedang kekufuran, maksiat, dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepindahan siksa Ilahi. Nah, kedua hal itulah yang-dinamai syarr.
Selanjutnya ulama tersebut mengemukakan bahwa syarr yang dimohon kepada Allah untuk menghindarkannya dua macam pula, yaitu yang telah wujud secara aktual sehingga benar-benar telah dialami oleh si pemohon, dan yang berpotensi untuk wujud walaupun belum dialami oleh si pemohon.
Ayat di atas mengandung permohonan untuk mendapat perlindungan dari keburukan makhluk ciptaan Allah, baik itu datang dari diri si pemohon sendiri, maupun dari makhluk selainnya. Memang keburukan atau mudharat dapat terjadi akibat ulah manusia sendiri dan juga akibat ulah pihak lain. Salah satu doa Nabi saw. menyatakan: " Ya Allah kami memohon perlindungan-Mu dari keburukan diri kami dan kejelekan perbuatan kami. " Doa ini menggabungkan kedua macam keburukan. Pertama keburukan diri karena setiap manusia berpotensi untuk melakukan keburukan, dan kedua keburukan perbuatan yakni permohonan untuk tidak mendapat siksa akibat perbuatan itu melalui pengampunan Ilahi. Ini yang berkaitan dengan diri si pemohon.
Ayat di atas mencakup juga permohonan perlindungan dari kejahatan yang dapat menimpa si pemohon akibat perbuatan makhluk lain. Dengan pemahaman seperti ini, tidak ada lagi tempatnya pendapat pendapat yang membatasi makna ( ما خلق ) ma khalaq dengan makhluk tertentu, seperti iblis atau tan atau binatang tertentu. Yang dimohonkan adalah segala sesuatu yang mengakibatkan syarr atau berpotensi untuk mengakibatkannya.
Kats ( ما ) berarti apa, sedang ( خلق ) adalah bentuk kata kerja masa lampau ( madhi ) dalam arti yang telah diciptakan. Jika demikian ( ما خلق ) berarti makluk ciptan-Nya.
Di sini perlu digarishawahi pengamatan sementara ulama tafsir yang mengunakan bahwa syarr ( keburukan dan mudharat ) tidak dimisbahkan kepada Allah sang Pencipta, tetapi kepada makhluk. Memang al-Qur'an selalu menisbahkan kepada Allah sifat dan perbuatan-perbuatan baik dan sempurna dan tidak pernah menyandarkan keburukan atau kekurangan kepada-Nya. Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa Dia memiliki sifat-sifat terpuji. Kalau seseorang yakin akan kesempurnaan Allah dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik dan terpuji, maka pastilah ia percaya bahwa tidak sedikit keburukan atau kejahatan pun yang bersumber dari pada-Nya. Perhatikan ucapan Nabi Ibrahim as yang diabadikan al Qur'an:
وإذا مرضت فهو يشفين
apalila aku sakit maka Dia yang menyembuhkan " ( QS. asy-Syu'ara ' [ 26 ]: 80 ).
Karena penyakit adalah sesuatu yang buruk, maka Nabi Ibrahim as. sebagaimana direkam ayat di atas, tidak menyatakan " Apabila aku diberi penyakit oleh Tuhan, " namun demikian karena kesembuhan disandarkannya kepada Allah karena ia merupakan sesuatu yang terpuji. Baca juga QS. al Kahf [ 18 ]: 79-82 yang merekam ucapan hamba Allah yang menyertai Nabi Demikian prinsip dasar akhlak al-Qur'an terhadap Allah, dan ini pula ang dapat dipahami dari pemilihan kata ma khalaq.
Dari sisi lain Anda dapat bertanya "mengapa ada kejahatan, mengapa ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A aneka ragam kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam dalam bencana ?"
Tidak mudah memahami apalagi menjelaskan persoalan ini jika dikaitkan dengan Keadilan Ilahi. Hal ini merupakan salah satu yang amat musykil, khususnya bila kita ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata "Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai Lejahatan atau keburukan maupun sebaliknya." Tetapi jawaban semacam, jelas tidak memuaskan nalar.
Sementara pakar menyelesaikan persoalan ini, dengan menyatakan bahwa apa yang dinamai kejahatan ( keburukan ) sebenarnya "tidak ada" atau paling tidak hanya pada pandangan nalar manusia yang memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan bahwa: Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya " ( QS. as-Sajdah ( 32 ): 7 ).
Kalau demikian, segalanya diciptakan Allah, dan segalanya baik. Keburukan adalah akibat keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian.
AYAT 3
ومن شر غاسق إذا وقب
"Dan kejahatan kegelapan malam pada saat ia gulita."
Setelah pada ayat yang lalu dimohonkan perlindungan Allah swt. dari segala macam kejahatan yang sedang dan boleh jadi lahir dari ulah diri sendiri dan makhluk-Nya, kini ayat di atas dan sesudahnya mengajarkan untuk memohon perlindungan menyangkut tiga hal khusus.
Yang pertama: Dari kejahatan dan keburukan yang terjadi pada kegelapan malam pada saat ia gulita Kata ( غاسق ) biasa diartikan malam. Ia terambil dari kata ( غسق ) yang pada mulanya berarti penah. Malam dinamai ghasiq karena kegelapannya memenuhi angkasa. Begitu pula air yang sangat panas dan dingin, yang panas dan dinginnya terasa menyengat seluruh badan. Nanah juga dinamai ghasiq karena ia memenuhi lokasi luka.
Banyak ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti malam. Memang, boleh saja malam yang dimaksud karena kegelapannya memenuhi angkasa, atau karena dinginnya malam dapat menyengat dan memasak masuk haruh tubuh.
Pendapat lain tentang arti ghasiq, bersumber dari satu hadits yang menyatakan bahwa Rasul saw menunjuk kepada bulan seraya bersabda kepada Aisyah ra " Wahai Aisyah, mohonlah perlindungan Allah, dari keburukan ini sambil menunjuk ke bulan ) Inilah ghisiq idza waqab (HR Tirmidzi ).
Pendapat dan hadits itu tidak harus dipertentangkan, karena bulan tentunya nampak di waktu malam, dan dapat merupakan salah satu yang menimbulkan kejahatan atau keburukan, yakni pada saat pesonanya mengantar kepada kedurhakaan.
Kata ( وقب ) terambil dari kata (الوقب ) yaitu lubang yang terdapat pada batu, sehingga air masuk ke dalam lubang itu. Dan sini kata tersebut diartikan masuk. Jika Anda berkata, wagabal ay-yam, maka ia bermakna matahari telah masuk atau terbenam.
Dengan demikian makna ayat di atas, malam yang telah masuk ke dalam kegelapan sehingga dia menjadi sangat kelam. Secara keseluruhan ayat ketiga ini memohon perlindungan Allah dan kejahatan yang terjadi pada malam yang gelap.
Memang, biasanya malam menakutkan, karena sering kali kejahatan dirancang dan terjadi di celah kegelapannya, baik dari para pencuri, perampok atau pembunuh, maupun dan binatang buas, berbisa atau serangga. Anda dapat memperluas makna malam, sehingga mencakup juga kerahasiaan. Karena malam tidak selalu melahirkan kejahatan, bahkan ia dipuji sebagai saat yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah ( baca QS. al-Muzzammil [ 73 ]: 6 ), maka ayat di atas tidak mengajarkan memohon perlindungan dari malam, tetapi dari kejahatan ( keburukan ) yang terjadi ketika itu, bukan malam secara keseluruhan.
AYAT 4
ومن شر النفثت في العقد
" Dan dari kejahatan peniup peniup pada bubul buhul."
Ayat yang lalu merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan ( keburukan ) yang terjadi pada waktu tertentu, dan kini melalui ayat di atas yang dimohonkan adalah perlindungan dari ulah sementara orang yang dapat menjerumuskan kepada kesulitan, mudharat dan penyakit. Yakni dari kejahatan dan keburukan peniup-peniup pada bubul-buhul.
Kata ( النفاثات ) adalah bentuk jamak dari kata ( النفاثة ) yang terambil dari akar kata ( نفث ) yang pada mulanya berarti meniup sambil menggerakkan lidah namun tidak mengeluarkan ludah. Ulama berbeda pendapat tentang fungsi ( ة ) tha marbithah pada kata ini. Sebagian besar memahaminya sebagai ta ta'nits dalam arti ia menunjuk kepada pelaku perempuan, sehingga ( النفاثات ) adalah perempuan perempuan yang meniup. Syeikh Muhammad Abduh menjadikan fungsi sebagai menunjuk kepada mubalagbah sehingga ia memahami kata tersebut dalam arti orang-orang ( baik lelaki maupun perempuan ) yang memiliki kumampuan tinggi dan atau sering kali meniup-niiup.
Sementara ulama berpendapat bahwa bentuk ma'rifah ( definif ) atau dengan kata lain huruf alim dan lam pada kata an-naffätsät dimaksudkan untuk mengisyaratkan bahwa kejahatan tersebut bukannya lahir dari tiupan itu, tetapi lahir dari pelaku-pelakunya, dan bahwa an nafftsat adalah profesi orang-orang yang telah dikenal oleh mitra bicara pada masa turunnya ayat ini.
Kata ( العقد ) adalah bentuk jamak dari ( عقدة ) yang terambil dari kata ( عقد ) yang berarti mengikat. Kata ini dapat dipahami dalam arti harfiah, dan ketika itu 'uqad berarti tali yang mengikat dan dapat juga dalam arti majdzi, yakni kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan isi kesepakatan.
Dalam al-Qur'an bentuk jamak dari kata 'uqdab, yakni 'uqad hanya ditemukan sekali, yaitu pada ayat 4 al-Falaq ini, sedang bentuk tunggalnya ditemukan pada tiga ayat masing-masing pada QS. al-Baqarah [ 2 ]: 235 dan 237, keduanya dengan redaksi 'uqdat an-Nikah dan pada QS. Thahi [ 20 ]: 27 yaitu: "Berkata ( Musa ), Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untuk urusanku dan lepaskanlah ikatan dari lidahku" ( QS. Thaha [ 20 ] 25-27 ).
Al-Qur'an tidak menggunakan kata tersebut dalam arti hakiki, tetapi banyak ulama tafsir memahami kata 'ugad pada ayat ini dalam arti hakiki, sehingga mereka berpendapat bahwa ( النفثت في العقد ) adalah perempuan tukang sihir yang meniup niup pada bubul-buhul dalam rangka menyihir.
Ayat ini dijadikan dasar oleh mereka di samping ayat-ayat lain untuk membuktikan bahwa al-Qur'an mengakui adanya sihir. Mayoritas ulama memahami demikian, berdasarkan mwayat tentang Sabab Nagilnya ain, yaitu bahwa Nalu saw pernah dhahar dan merasa terganggu dengan mebut, sehingga Allah swt mengajarkan beliau untuk menampaknya dengan murah ini dan surah an Nas.
Syeikh Muhammad Abduh memahami kata al-'Uqad dalam arti majazi. Pendapat ini dapat dikuatkan dengan memperhatikan penggunaan al-Qur'an hadap kata tersebut sebagaimana penulis kemukakan di atas. Menurut Abduh, n-ngatif adalah mereka yang sering kali membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan persahabatan dan kasih sayang antara sesama.
Redaksi ini menurutnya dipilih al-Qur'an karena Allah bermaksud mempersamakan mereka dengan para penyihir yang apabila ingin memutuskan ikatan kasih sayang antara suami istri, mereka mengelabui masyarakat awam dengan jalan mengikat satu ikatan kemudian meniup niupnya lalu melepaskan ikatan itu, sebagai tanda terlepasnya ikatan kasih wayang yang terjalin antara suami istri.
Memang-tulis 'Abduh lebih jauh membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan baik, mirip dengan shir karena yang demikian itu menjadikan kasih sayang yang tadinya terjalin berubah menjadi permusuhan, melalui cara licik tersembunyi. 'Abduh dengan tegas menolak pendapat ulama yang mengaitkan Sabab Nuzul-nya surah ini dengan disihirnya Nabi Muhammad saw.
Bagimana mungkin dinyatakan demikian, sedang surah ini turun di Mekah dan apa yang mereka katakan tentang disihirnya Nabi terjadi di Madinah ?
Pendapat 'Abduh di atas benar jika dipahami pengertian Sabab Nuzul dalam arti peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu ayat. Tetapi ulama-ulama al-Qur'an memperkenalkan makna kedua dari Sabab Nuzul, yaitu peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannya oleh ayat al-Qur'an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya.
Walaupun 'Abduh menolak hadits tentang disihirnya Nabi saw. namun dengan hati-hati ulama ini menekankan bahwa yang menolak riwayat itu tidak otomatis dapat dikatakan menolak pengaruh sihir terhadap orang, walaupun tulisnya lebih jauh: "Orang yang tidak mempercayai adanya shir tidak dapat dinilai keluar dari agama, karena Allah swt. telah menyebutkan dalam sekian banyak ayat hal-hal yang harus dipercayai oleh orang-orang mukmin dan tidak ada ayat yang menyebutkan sihir sebagai yang harus dipercayai sebagaimana kepercayaan penyembah berhala."
Sementara ulama yang memahami al-'Uqad dalam pengertian majazi berpendapat bahwa An-naffatsat adalah istri istri atau perempuan-perempuan yang berusaha mempengaruhi pendapat-pendapat lelaki atau suami mereka yang telah kukuh dan benar. Pendapat ini, tidak mempunyai dasar kebahasaan apalagi argumen keagamaan, walaupun harus diakui bahwa memang ada saja istri atau perempuan yang melakukan hal demikian.
AYAT 5
ومن شر حاسد إذا حسد
" Dan dari kejahatan Pengiri jika ia iri."
Salah satu sebab utama dari lahirnya kejahatan dan upaya memisahkan antara seseorang dengan teman atau pasangannya adalah ini hati, karena itu permohonan ayat yang lalu dilanjutkan oleh ayat di atas dengan menyatakan: Dar di samping itu aku juga bermohon perlindungan Allah dari kejahatan pengiri dan pendengki jika ia iri hati dan mendengki.
Kata ( حسد ) hasad adalah ini hati atas nikmat yang dimiliki orang lain disertai dengan harapan kiranya nikmat itu hilang darinya, baik diperoleh oleh yang i maupun tidak. Iri hati ini dapat juga tertuju kepada orang yang sebenarnya tidak memiliki nikmat, namun diduga oleh yang ini memilikinya.
Bahkan sementara ulama memperluas arti basad / iri hati sehingga tidak hanya mencakup kedengkian terhadap pihak lain yang memiliki atau diduga memiliki nikmat, tetapi juga yang tidak memiliki nikmat apa-apa, namun kedengkian kepadanya mengantar yang dengki untuk menginginkan agar yang bersangkutan terus-menerus berada dalam kekurangan dan kepedihannya.
Kata hasad digunakan juga dalam arti keinginan memperoleh nikmat serupa dengan yang e dimiliki orang lain, tanpa mengharap hilangnya nikmat yang diperoleh orang lain itu. Ini biasa juga dinamai ghubhah.
Dalam konteks ini Nabi saw bersabda: " Tidak dibenarkan hasud ( menginginkan ) perolehan apa yang diperoleh orang lain, kecuali dalam dua hal. Terhadap yang dianugerahi harta oleh Allah kemudian dia menafkahkannya dengan baq dan terhadap yang dianugerahi hikmah ( ilmu ) kemudian dia amalkan dan ajarkan" ( HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn Mas'ud ).
Nabi saw bersabda: " Tiga hal yang merupakan sumber segala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah terhadap ketiganya. Han hatilah terhadap keangkuhan, karena keangkuhan menjadikan iblis enggan sujud kepada Adam, dan hati-hatilah terhadap loba ( tamak ), karena ketamakan mengantar Adam memakan ( buah ) pohon terlarang, dan hati-hatilah terhadap ini hati, karena kedua anak Adam ( Qabil dan Häbil ) salah seorang à antaranya membunuh saudaranya akibat dorongan iri hari " ( HR. Ibn sikir melalui Ibn Mas'id ).
Sementara pakar menyatakan bahwa penyebab dengki atau ini hati lain adalah:
- Keangkuhan, sehingga merasa bahwa apa yang dimiliki seseorang tidak wajar untuk yang bersangkutan tetapi itu hanya wajar untuk dirinya sendiri.
- Persaingan, khususnya dalam bidang materi. Di sini ini hati muncul akibat ketidakmampuan menyamai atau melebihi orang lain yang disaingi itu.
- Rasa takut.
- Cinta kekuasaan,
- Watak buruk yang telah menjadi sifat seseorang, karena watak ini mengantar yang bersangkutan ini terhadap orang lain tanpa suatu sebab. Inilah jenis penyeba b iri hati yang terburuk.
Namun apabila baru sampai pada tingkat ini, maka kejahatannya belum menimpa orang lan Mudharat baru dapat menimpa orang lain apabila apa yang terdapat dalam hatinya itu dicetuskan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Nah, milah yang digambarkan oleh penggalan ayat di atas: " dari kejahatan pengiri ka is in han " dalam arti ketika apa yang tersirat di dalam hatinya tercetus keluar dalam bentuk ucapan atau perbuatan.
Sebelum tercetusnya ia hati itu keluat, yang bersangkutan pada hakikatnya memprotes kebijaksanaan Allah dalam memberi anugerah dan pada saat tercetus, maka di samping protes itu, dia telah melakukan kejahatan terhadap orang yang didengkinya.
Sementara ulama menegaskan bahwa apabila in hati dan kedengkian baru sampai pada tingkat ist hati dan belum tercetus keluar, maka sebagian di antaranya dapat ditoleransi dan sebagian lainnya tidak. Yang ditoleransi adalah apabila in hati tersebut telah diusahakan untuk mengikisnya, namun masih juga selalu muncul. Di sini ia ditoleransi karena amat sulit bagi seseorang untuk dapat menguasai bisikan hatinya. Dalam konteks ini, Nabi saw bersabda: " Seseorang tidak dapat menghindar dari tiga hal. Ath-thiyarah ( pesimisme karena melihat sesuatu ), prasangka buruk dan iri hati. Karena itu, jika engkau pesimis jangan perturutkan, jika bersangka buruk jangan mencari tahu dan jika iri hati jangan menganiaya ( yakni jangan cetuskan isi hatimu dalam bentuk ucapan atau perbuatan ) " ( HR. Abú Razzak melalui Ismail Ibn Umayyah ).
Tidak dapat disangkal dampak negatif iri hati terhadap pelakunya, bukan saja di hari Kemudian nanti yang digambarkan Nabi saw. sebagai " Membakar ( membinasakan ) kebaikan sebagaimana api membakar kayu, " tetapi juga berpengaruh negatif terhadap jiwanya, sehingga potensi yang dimilikinya tidak terarah kepada hal-hal positif dan waktunya terbuang untuk memikirkan cara yang dapat menjerumuskan siapa yang didengkinya.
Bahkan sementara pakar kejiwaan menegaskan bahwa iri hati mempunyai dampak negatif terhadap fisik pelakunya. Dalam hal ini 'Âmir an-Najjar dalam bukunya at-Taibawwwf an Nafsiyy mengutip pendapat sekian banyak pakar antara lain bersumber dari hasil sebuah statistik yang menjelaskan kaitan antara penyakit fisik orang tua terhadap sikap kejiwaan anak ( keturunan ) nya.
Ditemukan bahwa setiap 100 orang yang ditimpa penyakit iri hati, terdapat 57 orang yang berasal dari keturunan orang tua yang berpenyakit gila, 6 orang dari keturunan berpenyakit saraf, 8 orang dari keturunan yang kecanduan alkohol. Tentunya tulis an-Najjar-yang diwariskan bukan emosi tetapi ketidakseimbangan jiwa, yang melahirkan penyakit-penyakit kejiwaan seperti dengki dan ini hati.
Di sisi lain dikemukakan pula oleh para pakar bahwa seseorang yang in bani ( dengki ) kepada seseorang dapat memben dampak negatif terhadap orang yang didengkinya, seperti halnya sementara binatang-melalui pandangan matanya dapat melumpuhkan mangsanya. Singa atau ular melalui pandangan matanya dapat menjadikan mangsa lumpuh dan terpaku ditempat, akibat pandangan matanya itu.
Sayyid Quthubs dalam tafsirnya mengemukakan bahwa iri hati / dengki merupakan emosi yang dapat melahirkan dampak negatif terhadap pihak yang tertuju kepadanya iri hati ( kedengkian ) ini.
Menurut ulama ini: " Kita ndak sepenuhnya mengetahui rahasia-rahasia wujud ini serta rahasia wa manusia dan " alat-alat " yang dimilikinya. Terdapat sekian banyak peristiwa yang bersumber dari rahasia-rahasia itu yang tidak dapat kita tafsirkan hingga kini, misalnya telepati di mana dapat terjadi komunikasi jarak jauh antar pribadi-pribadi, komunikasi yang tidak ada alasan untuk meragukan kejadiannya setelah disampaikan oleh orang banyak yang menurut adat atau kebiasaan sehari-hari mustahil mereka berbohong dan terbukti pula kebenarannya melalui sekian banyak percobaan, namun pengetahuan yang kita miliki belum dapat memberikan penafsiran yang memuaskan. Selain telepati dan hipnotisme, masih banyak lagi rahasia-rahasia manusia dan yang dimilikinya tetapi belum terungkap hingga dewasa ini.
Karena itu, tidak wajar menolak pandangan yang menyatakan bahwa boleh jadi ada mudharat yang ditimbulkan oleh orang yang ini hati baik ketika dia mencetuskan kedengkiannya dalam be ntuk ucapan atau perbuatan, maupun dalam bentuk pandangan matanya. Ada bahaya yang mungkin muncul dari ulah mereka, sehingga wajar memohon perlindungan Allah swt., karena itu pula Rasul saw. apabila hendak tidur, membuka kedua telapak tangan beliau membaca surah-surah Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Nas" lalu meniup kemudian mengusap seluruh badan beliau dimulai dari kepala dan wajah beliau. Itu beliau lakukan tiga kali, sebagaimana diriwayatkan oleh sekian banyak slama hadits, antara lain at-Tirmidzi dan an-Nasa'i ".
Mutawalli asy-Sya'rawi mengingatkan orang-orang yang menolak sekian banyak informasi al-Qur'an tentang hal-hal yang berada di luar alam finika, bahwa hendaknya kita tidak menuntut agar segala persoalan masuk dalam wilayah kenyataan fisik, karena jika demikian tidak ada lagi tempatnya agama atau kepercayaan.
Tuhan menciptakan sekian banyak makhluk yang kita tidak ketahui. Akal kita pun dapat menerima hal ini. Bukankah dahulu sekian banyak persoalan yang tidak termasuk dalam wilayah fisik atau percobaan, namun kini telah dapat kita ketahui dan memasukkannya dalam wilayah tersebut ?
Ambillah sebagai contoh bakteri dan virus. Kalau sekian abad yang lalu ada yang berkata ada bakteri atau virus, bentuk dan kerjanya seperti ini dan itu, maka ketika itu tidak ada yang akan percaya, tetapi kini siapa yang tidak mempercayainya. Karena in-tulisnys-kita harus bersikap logis dengan diri dan akal kita, dan tidak serta merta kita menolak sesuatu yang tidak termasuk dalam dunia nyata kita dewasa ini. Demikian lebih kurang dan secara singkat penjelasan Sebenamya ketiga hal khusus tersebut oleh ayat 3-5 sudah dicakup oleh kandungan permohonan ayat 2, namun ketiganya disebutkan secara khusus, karena ia sering terjadi dan bahayanya pun cukup serius.
Diamati dari redaksi ayat-ayat yang menggambarkan hal-hal di atas, terulangnya kata par pada masing-masing ayar, agaknya antara lain karena kandungan ayat-ayat ini merupakan doa, sedang doa biasanya dikemukakan dengan rinci, di mana rincian merupakan gambaran dari harapan pendoa sekaligus menjadi kepuasan batin baginya. Bukankah semakin besar harapan dan kesungguhan Anda meminta, semakin banyak lahir rincian dan pengulangan permintaan ?
Boleh jadi juga kata syarr ( keburukan ) itu dikemukakan untuk mengisyaratkan bahwa ketiga hal yang disebutkan di atas tidak selalu melahirkan keburukan. Bukankah malam, peniup peniup pada bubul, serta in hati tidak selalu melahirkan keburukan ?
Di sisi lain, seharusnya seseorang tidak memandang sesuatu hanya pada sisi buruknya, karena tidak mustahil dari yang buruk ada juga sisi baiknya. Allah swt. dalam surah ini demikian juga surah an-Näs mengajarkan Nabi Muhammad saw dan juga kita untuk memohon perlindungan kepada Nya dari sekian banyak hal. Permohonan kepada-Nya melahirkan kesan bagi Mutawalli asy-Sya'rawi bahwa persoalan yang dimohonkan perlindungan-Nya itu merupakan sesuatu yang sangat rahasia dan tersembunyi serta berada di luar kemampuan manusia. Karena itu Dia memerintahkan kita untuk memohon perlindungan-Nya.
Perintah ini mengisyaratkan bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang darinya kecuali Allah semata. Seandainya hal-hal tersebut berada dalam wilayah kemampuan manusia untuk menangkalnya maka Allah tidak akan memerintahkan kita memohon perlindungan-Nya.
Demikian asy-Sya'rawi. Ini agaknya karena seorang muslim mestinya tidak mengenal sihir, tidak mengenal in hati dan dengki dan karena itu pula dia tidak tahu bagaimana menangkalnya. Demikian la Allah Alam,
Referensi Berdasarkan Tafsir Al-Mishbah Jilid ke-15