Cara Memenuhi Kebutuhan Suami Istri
a. Pada Masa Haid
Syariat Islah telah mengharamkan suami untuk mencampuri istri pada kemaluannya pada saat sedang haid, dimana Allah Subhanahu auna Ta'ala telah benfirman:
ويسئلونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوالين ويحب المتطهرين [ البقرة: ٢٢٢ ]
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."
Di dalam hadits tersebut di atas terkandung larangan mencampuri istri melalui duburnya. Karena, apabila mencampuri istri melalui kemaluan-yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang dihalalkan diharamkan disebabkan adanya penyakit ringan yang bersifat temporer, yaitu haid, maka tentunya pengharaman mencampurinya melalui dubur lebih tepat, karena dubur merupakan tempat penyakit yang permanen. Ditambah lagi bahwa kemaluan merupakan tempat berladang yang alami sedangkan dubur merupakan tempat yang tidak layak.
Dubur itu tidak lain merupakan jalan yang mengarah ke tempat penyimpanan kotoran ( rektum ), sebagaimana kantong kemih sebag ai tempat penyimpanan air kencing. Tidak diragukan lagi, seorang suami yang melakukannya, sesungguhnya ia tengah menuju pada kegagalan dalam menjalin hubungan dengan istrinya yang dapat mengakibatkan perceraian, dan bukan menuju pada kesuksesan yang akan mengekalkan kebersamaan hidup sebagai suami istri.
Selain dari yang tersebut di atas, pada saat haid diperbolehkan untuk mencumbui istri atau melakukan apa saja selain berhubungan badan. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Lakukanlah apa saja, kecuali jima ' ( hubungan badan ). "
Demikian itulah sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama istri-istrinya, di mana Aisyah Radhiyallahu Anha pernah berkata, " Jika salah seorang di antara kami haid, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak mencumbuinya, maka beliau menyuruhnya untuk mengikatkan kain pada bagian haidnya, baru kemudian beliau mencumbuinya. "
b. Pada Masa KehamilanTidak ada larangan yang menghalangi hubungan badan selama masa kehamilan, selama kehamilannya berjalan dengan normal, meski ada yang menyarankan untuk tidak melakukan hubungan badan pada bulan-bulan terakhir kehamilan, karena ditakutkan terjadinya infeksi atau menyebabkan lahir dini ( prematur ).
Bagaimanapun seorang suami yang ingin menggauli istrinya yang sedang hamil, maka hendaknya ia mendekati istrinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang la harus menghindari tekanan pada bagian perutnya, khususnya pada bulan-bulan terakhir.
Dan dianjurkan untuk memilih posisi yang nyaman serta menghindari posisi yang akan mengakibatkan istri kesakitan atau kelelahan. Meskipun istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk campur, namun demikian, suami juga harus melihat kondisi yuang dialami istrinya yang sedang hamil.
Terkadang, suatu saat istrinya berada dalam keadaan fisik atau mental yang buruk, karena memang secara umum kehamilan memperkecil nafsu seks pada wanita sehingga seringkali dia akan bersikap pasif. Jika bisa memelihara keadaan ini, maka hendaklah sang suami menunda kehendak seksualnya, karena yang demikian itu jelas lebih baik.
Selain itu, seorang suami juga harus bijak dalam semua tindakannya, dan hendaklah dia sedikit berkurban berkenaan dengan penyaluran keinginan dan nafsu syahwatnya.
c. Pada Masa Nifas
Bersenang-senang dengan istri pada masa nifas yang berlangsung setelah persalinan memiliki status hukum yang sama dengan bersenang senang pada masa haid. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masa nifas itu terkadang lebih panjang daripada masa haid, di mana ia bisa sampai empat puluh hari, sebagai batas maksimal.
Darah yang keluar setelah empat puluh hari, menurut para ulama adalah darah istihadhah bukan darah nifas. Adapun batasan minimal masa nifas tidak ada. Sebagian wanita ada yang hanya sebentar melihat keluarnya darah nifas, lalu setelah itu darah berakhir total. Apabila darah nifas telah berhenti total, maka berarti wanita itu telah suci dan boleh dicampuri. Ini dari sudut pandang syariat. Adapun dari sudut pandang kedokteran, ada sebagian dokter yang menasehatkan untuk menghindart hubungan badan setelah persalinan sampai rahim dan juga organ-organ reproduksi benar-benar kembali normal.
Mereka mengatakan bahwa bahaya paling parah yang mungkin timbul akibat hubungan badan beberapa han setelah persalinan ini adalah masuknya kuman-kuman ke dalam rahim d. Pada Masa Suci Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, Haidh itu adalah suatu kotoran."
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."
Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan seorang suami mencampuri istrinya setelah dia suci dari haid. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri menyunnhkan untuk menyebut nama Allah ( membaca basmalah ) dan berdoa memohon perlindungan pada saat akan melakukan hubungan badan, di mana beliau bersabda:
لو أن أحدهم إذا أراد أن يأتي أهله قال باسم الله اللـهـم حبنـا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا فإنه إن يقدر بينهما ولد فـي ذلك لم يضره شيطان أبدا
" Seandainya salah seorang dari mereka ketika hendak mendatangi istrinya mengucapkan, Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, hindarkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada Kami, sesungguhnya jika ditakdirkan antara keduanya itu seorang anak pada hubungan itu, niscaya tidak akan dicelakakan oleh setan untuk selamanya." (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga membolehkan suami untuk memvariasikan posisi hubungan badan, di mana Dia berfirman, " Istri istri kalian adalah ( seperti ) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datanglah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kamu kehendaki Dan kerjakanlah ( amal yang baik ) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemul-Nya. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah ayat 223)Artinya, semua kalian boleh mendatangi istrinya dari depan atau dari belakang atau dari samping, tetapi tetap pada kemaluan, dan tidak pada dubur.
Selain itu, seorang suami juga harus melakukan pembukaan sebelum melakukan hubungan badan. Hal itu bisa dalam bentuk kata kata yang manis, aroma wangi, dan juga sentuhan-sentuhan fisik.
Dalam melakukan hubungan badan ini, hendaklah suami tidak egois di mana dia hanya terfokus kepada kenikmatan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan dan kenikmatan istrinya, khususnya ketika sang istri memang menginginkan hubungan badan dan memiliki reaksi positif saat hubungan badan itu berlangsung.
Sang suami tidak boleh terburu-buru untuk mengakhiri hubungan sebelum istrinya betul betul telah mendapatkan kenikmatan. Setelah selesai hubungan badan, maka suami harus menyambungnya dengan beberapa rayuan dan cumbuan ringan serta sentuhan-sentuhan mesra.
Dalam melakukan hal tersebut, hendaklah suami mengungkapkannya berdasarkan ikatan dan cinta yang besar terhadap istrinya. Dengan demikian, sang istri akan terpuaskan baik secara psikologis maupun seksual.