Nubuwwah dan Risalah
Adapun rasul itu, ialah: “Pangkat yang diberikan kepada seseorang yang menerima wahyu yang harus disampaikan kepada manusia ". Sahabat, tabi'in, dan imam-imam agama semuanya menetapkan tidak ada lagi nabi sesudah Muhammad Ibn Abdillah itu. Para filosof pun tidak menyatakan ada lagi nabi sesudah Muhammad saw.
Pengertian Nabi dan Rasul
Para pen-tahqiq menetapkan, bahwa nabi dan rasul ( utusan yang membawa risalah ) adalah searti. Mereka ialah orang yang diutus Allah untuk menyampaikan " wahyu ".
Akan tetapi ada segolongan alama berpendapat.. bahwa nabi dan rasul keduanya menerima wahyu dari Allah. Tetapi jika diperintah Allah menyampaikan wahyu itu kepada umat dia dinamai " Nabi " dan " Rasul ". Kalau tidak diberi tugas demikian dinamai saja " Nabi " Pendapat yang kedua ini yang masyhur di kalangan para ulama dan Segolongan yang lain berpendapat, rasul itu ialah utusan yang diberikan syariat dan kitab, atau yang datang buat membatalkan ( me-nasakh-kan ) beberapa hukum syariat yang terdahulu.
Nubuwwah Tidak Dapat Diperoleh Melalui Ikhtiar Derajat kenabian adalah suatu pemberian Allah kepada seseorang hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tanpa diusahakan oleh yang bersangkutan. Kenabian itu sebenarnya, ialah "mengistimewakan seseorang hamba dengan jalan memberikan wahyu kepadanya."
Demikian juga risalah. Para filosof berpendapat, bahwa derajat kenabian dapat diperoleh melalui upaya sungguh-sungguh untuk mengheningkan jiwa dan bersih dari perangai yang buruk.
Kenabian bukanlah semata-mata anugerah Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Para filosof mengingkari ada malaikat yang membawa wahyu kepada Nabi. Segala apa yang disusun oleh nabi-nabi adalah ciptaan akal mereka sendiri yang bersih dan hening.
Menurut ulama kalam: “Masalah inilah yang menyebabkan para filosof dikafirkan. Karena kalau kenabian itu dapat diusahakan, berartilah masih mungkin sesudah Muhammad, ada nabi lagi. Padahal sudah nyata sekali bahwa sesudah Muhammad tidak ada lagi nabi baru ". La nabiyya ba'di ( tidak ada nabi lagi sesudahku ).
Kata Ahlus Sunnah: “Kenabian itu tidak dapat diperoleh dengan jalan usaha, walaupun betapa suci ruh yang berusaha itu. Ia adalah semata-mata pemberian Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki di antara hamba-Nya yang pilihan."
Kata Muhammad Farid Wajdi dalam bukunya al-Islam fi 'Ushulil ' ilmi: Wujud itu ada beberapa martabat yang tidak berkesudahan. Tinggi rendah menurut martabat seseorang dan kekuatan ruhnya dan nur hidupnya.
Apabila kita lihat macam-macam jenis binatang dan kita perhatikan satu persatunya, mulai dari binatang yang sederhana sekali, sampai kepada binatang menyusui. maka kita jumpai perbedaan antara satu jenis binatang dengan yang lain.
Binatang-binatang itu walaupun berada pada suatu tempat, namun berlain lainan dan bercorak ragam. Amat jauh perbedaan antara binatang yang sangat sederhana dengan binatang yang mempunyai anggota, ikhtiar dan iradah, seperti kera umpamanya.Yang sederhana, tidak menaruh selain dari rasa senang dan sakit, nikmat yang lain-lain tidak ia rasakan, dan yang kedua merasa berbagai kenikmatan selain dari nikmat senang dan sakit. Hewan yang dijadikan tidak berlidah, tentulah tidak merasai nikmat makanan dan hewan yang tidak berhidung tentulah tidak merasai nikmat membaui.
Demikian pula manusia. Apabila kita perhatikan manusia yang menghuni bumi Allah ini, maka manusia yang sangat primitif dan hidup liar, mereka belum melebihi binatang. Akan tetapi jika diperhatikan keadaan seseorang pujangga, seorang filosof, baik di masa kini ataupun di masa yang telah lalu, niscaya kita dapati farag ( perbedaan ) yang amat terangnya.
Kita akan mengatakan, bahwa dua orang manusia itu walaupun hidup di bumi yang satu tetapi berlainan alamnya. Yang pertama, jika melihat ke langit, disangkanya bahwa yang terlihat itu tidak lain dari khaimah besar yang padanya beterbangan bunga api yang tidak ber ketentuan. Boleh jadi juga ia tidak memikirkan apa-apa di ketika melihat itu.
Orang yang kedua, melihat langit itu dengan penglihatan yang banyak mengandung arti. Ia dapat mewujudkan dari penglihatannya itu akan ke besaran Allah. Ia merasa takjub melihat keajaiban dan kebagusan ciptaan Allah.
Demikian keadaan manusia di alam benda. Adapun di alam rohani, yakni di alam yang lebih tinggi dari pada maddah ini maka martabat-martabat manusia di alam itu lebih-lebih lagi bertingkat-tingkat. Sebagaimana kita tidak merasai kenikmatan di alam benda lebih dari kekuatan dan kesanggupan yang telah diberikan oleh Allah, begitu pulalah kita tidak memperoleh rasa nikmat dari alam rohani itu, selain dari sekadar yang diberikan Allah juga adanya.
Sebagaimana seorang yang telah dijadikan pendek perawakan tubuhnya, atau dangkal penglihatannya ( tidak dapat menambah penglihatannya itu ), tidak dapat menjadikan dirinya panjang. Begitu pulalah manusia di alam rohani tidak dapat melewati garis yang telah ditetapkan untuknya. Bahkan manusia terpaksa berhenti di tempat-tempat yang telah ditentukan baginya.
Jika dikatakan, bahwa manusia apabila melepaskan dirinya dari kebimbangan duniawi akan berkuasa memperoleh ilmu yang di luar dari pancainderanya, karena manusia-manusia itu sama mempunyai kesanggupan, maka dijawab: Manusia yang mengintai bintang itu tidak menambahkan kekuasaan dan kesanggupan lebih dari fitrah yang telah diberikan kepadanya. Ia tidak dapat melampaui batas kekuatan yang telah disediakan baginya Begitu pulalah manusia yang ingin mengetahui hal yang disebalik maddah ini, tidak sanggup melampaui magam yang telah disipat baginya.
Adapun nabi-nabi adalah orang dari jenis manusia, yang diberikan oleh Allah persediaan yang tertentu untuk mengharungi alam di luar maddah. Mereka dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa. Urusan ketentuan ini tidak mengherankan kita, karena di hadapan kita banyak orang yang diberikan kekuatan tubuh yang luar biasa yang hampir-hampir tidak masuk akal. Jika kekuatan yang luar biasa itu adalah satu pemberian Allah yang tidak mungkin diusahakan, maka nabuwwah sebagai satu kekuatan rohani adalah pemberian Allah semata-mata yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk menjadi penunjuk dan menuntun manusia kepada nur hakikat, rahasia syariat.
Hak-hak Muhammad saw, atas umatnya
Di antara pekerjaan yang mengukuhkan tauhid, ialah mengetahui tiga hak seperti berikut: hak yang tertentu bagi Allah, hak yang tertentu bagi Nabi; dan hak Allah dan Nabi. Hak Allah, ialah: ibadah, menyerah diri, takut, khisyyah, takwa, inabah ( mengembalikan diri ), harap, tasbih, takbir, dan tahlil. Hak Allah dan Rasul-Nya, ialah: taat, cinta, iman, dan tasdik.
Adapun hak Rasul sendiri menurut keterangan al-Qadi ' Iyad, ialah sebagai berikut:
- Kewajiban mentaatinya. Tetap memegang sunnahnya, menerima segala keputusannya, bersenang hati terhadap sesuatu hukumnya.
- Tetap mencintainya. Tetap mengikut sunnahnya, menjalankan segala suruhannya, mendahulukan segala penetapannya atas segala yang lain.
- Berlaku ikhlas, jujur dan tulus kepadanya. Mengembangkan dan me lindungi sunnahnya dari khurafat dan bid'ah.
- Menghormatinya.
- Mencintai sahabatnya, istimewa sahabatnya yang akrab seperti Khulafaur Rasyidin. Meniru dan meneladani perilaku mereka dan tidak memperbincang ! peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi antara saha bat dengan sahabat.
- Membaca shalawat kepadanya. "Harus dimaklumi bahwa mengetahui silsilah, mengetahui nama-nama istri, anak-anaknya, mengetahui sirah ( sejarah hidup )-nya termasuk ke dalam menyempurnakan iman kita kepadanya.