HUKUM BER-ISTINJA’ DENGAN BATU (BER-ISTIJMAR)
قال رسول اللہ ﷺ: تزهوا من البول فإن عامة عذاب القبر منه
Juga berdasarkan hadits dari 'Aisyah ra. menerangkan:
قال رسول اللہ ﷺ اذا ذهب احدكم إلى الغائط فليستطب بثلاثة أحجار فإنها تجزى منه
Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang kamu membuang air, maka hendaklah ia membersihkan diri (membersihkan qubul atau dubur) dengan tiga biji batu. Itu telah mencukupi baginya.” (HR. Ahmad, An-Nasa'y, Abu Dawud dan Ad-Daraquthny; Al-Muntaqa 1: 56)
Hadits (1) menurut Ad-Duraquthny, hadits inimesed. Tetapi ada beberapa riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dengan sanad yang hasan, dari Ibnu ' Abbas dan diriwayatkan oleh Al-Bazar dengan sanad yang hasan, dari ' Ubadah ibn Shamit. Ringkasnya, hadits ini dapat dijadikan hujah dengan dukungan beberapa riwayat itu, atau dengan langsung berpegang kepada riwayat-riwayat yang bersanad hasan itu. Hadits ini menyatakan, bahwa bersuci dari kencing adalah wajib dan yang demikian itu tidak dikaitkan dengan hendak shalat.
Hadits (2) di atas sanad-nya hasan shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa bersuci dari buang air adalah wajib.
Kebanyakan ulama fiqh mewajibkan kita ber-istinja’ (membersihkan diri dari kotoran yang keluar). Asy-Syafi'y, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur mengatakan: “Istinja " itu wajib.” Abu Hanifah mengatakah: “Ber-istinja’ itu, sunat.” Malik mengatakan: “Ber-istinja bukan di waktu shalat, yakni bukan untuk bershalat, tidak diwajibkan.”
Al-Itrah mengatakan: “Ber-istinja " hanya diwajibkan di waktu bershalat dan harus dengan air. Akan tetapi, diwajibkan ber-istinja’ dengan batu, atas orang yang bertayammum, yakni orang yang tidak mempunyai air, atau tidak dapat memakai air.
Juga diwajibkan ber-istinja dengan air jika ditakuti basahan kotoran melumuri dubur-nya.”
Disebutkan dalam An-Nihayah bahwa ber-istinja’ tidak harus disegerakan, ke cuali kalau hendak shalat. Golongan Syafi'iyah mewajibkan kita ber-istinja’ sesudah buang air dengan batu (jika tidak memakai air) dengan tidak melihat, apakah najasak itu mengotorkan dubur dan sekitarnya, atau tidak.
Golongan Syafi'iyah mencukupkan dengan tiga gosokan dubur, atau qubul dengan batu, walaupun najasah itu membasahi sekitar dubur.
Golongan Hanafiyah tidak mewajibkan kita ber-istinja’ baik dengan batu, atau dengan air, hanya menyunnatkan, kalau najasah yang keluar itu tidak mengotorkan cincin lubang dubur. Kalau mengotorkan, wajiblah dibasuh dengan air, tidak boleh dengan batu.
Al-Manawi mengatakan: “Istinja’ beserta wudhu diperintahkan pada malam Isra’.” Ada yang mengatakan, di permulaan Islam.
Ber-istinja’, diwajibkan bukanlah karena hendak melaksanakan shalat saja. Di seluruh waktu kita dimestikan bersuci, sesudah buang air. Hanya yang di riwayatkan ialah menggosok dengan batu, bukan membasuh dengan air, meskipun yang demikian itu lebih baik.
Hadits ini menjadi hujjah bagi golongan yang mewajibkan istinja’ (menggosok dengan batu), sesudah buang air dengan tidak melihat apakah najasah itu mengotorkan keliling dubur, atau tidak. Ulama-ulama Hanafiyah tidak mengharuskan istinja’ karena berpegang ke pada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimy dari Abu Hurairah yang derajatnya hasan menurut pentahqiqan Ad-Daraquthny, yaitu sabda Rasulullah saw: “Barang siapa ber-istijmar (memakai batu untuk bersaci), hendaklah dia ganjilkan jumlah batu itu. Barang siapa berbuat demikian berarti dia telah berbuat baik dan barangsiapa tidak berbuat demikian, boleh juga.
Segolongan ulama Syafi'iyah mengatakan: “Hadits ini bukan menunjuk kepada sunnat ber-istinja’, hanya menunjukkan kepada kita boleh menggunakan baru dalam jumlah ganjil lebih dari tiga biji.
Referensi: