Hukum Memegang Kemaluan Ketika Buang Air
Dan Duduk Atas Kaki Kiri Ketika Buang Air Besar, sebagaimana hadits dari Abu Qatadah ra, berkata:
قال رسول اللہ ﷺﷺ: لا يمسكن احدكم ذكره بيمينه وهو يبول ولا يتمسح من الخلاء بيمينه ولا يتنفس في الاناء
Baca juga:
Juga berdasarkan hadits Suraqah ibn Malik ra. menerangkan:
علمنا رسول اللہ ﷺ في الخلاء أن تقعد على اليسرى وننصب اليمني
”Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami duduk ketika membuang air atas kaki kiri dengan menegakkan kaki kanan.” (HR. Al-Bukhary; Subulus Salam l: 110)
Hadits (1) menyatakan bahwa menyentuh atau memegang zakar dengan tangan kanan ketika buang air, haram. Demikian juga menggosok tempat yang digosok dengan tangan kanan. Hadits ini menerangkan pula bahwa bernafas ke dalam bejana ketika minum, juga dilarang.
Hadits (2), Al-'Ashqalany menyatakan hadits ini sanad-nya dha'if. Al-Hazimi mengatakan: “Di dalam sanad hadits ini, ada beberapa orang yang kami tidak kenal. Hanya ada satu hadits yang lemah dalam masalah ini.”
Hadits ini menyatakan, bahwa apabila membuang air, hendaklah kita duduk di atas kaki kiri. Ahluzh Zhahir berpendapat bahwa memegang zakar dengan tangan kanan, haram di segala waktu. Segolongan ulama Syafi'iyah mengharam kan yang demikian pada istinja’ saja. Jumhur ulama me-makruh-kan yang demikian.
Al-Bukhary dalam Shahih-nya, tidak menegaskan keharaman yang demikian. Hanya makruh. mengatakan terlarang saja. Larangan di sini bisa dimaksudkan sebagai larangan
Al-Emir Ismail Ash-Shan'any mengatakan: “Ke-makruh-an mempergunakan tangan, adalah jika menggosok dengan sesuatu benda. Tetapi jika umpamanya digosok dengan tangan sendiri, ulama sepakat mengharamkan.”Seluruh ulama sependapat menetapkan kebaikan duduk atas kaki kiri ketika buang air dengan menegakkan kaki kanan. Tentang hal memegang zakar ketika buang air, nyata dilarang.
Menurut kaidah ushul, segala larangan dihukum haram, selama tidak ada qarinah yang memalingkan kepada maluh. Dalam pada itu jumhur ulama menetapkan larangan ini dengan larangan maknah.
Adapun tentang hal duduk atas kaki kiri, tidak ada keterangan yang dapat dijadikan alasan yang kuat jika di dasarkan kepada nash. Tetapi jika kita dasarkan kepada kesehatan, maka cara duduk yang lebih memudahkan najis keluar, terserah kepada pendapat itjihad semata-mata.
Ulama-ulama yang mengatakan bahwa yang demikian sunnat, menyunnatkan dengan dalil yang lemah ini. Kita tidak dapat menyunnatkan dengan nama agama yang demikian itu, karena dalil yang diperoleh hanyalah hadits yang lemah ini saja.
Dalam masalah ini, tidak banyak keterangan yang diperoleh dari syara'. Syara' mengetahui, bahwa masalah ini, masalah yang dapat dicapai dengan kekuatan fitrah yang suci.
Para fuqaha membahas dengan panjang lebar hal ini. Mereka menyuruh kita berdehem-dehem ketika membuang air dan banyak rupa keterangan yang lain dalam hal ini. Semua itu dijadikan tuntutan syara'.
Dalam hal ini syara' hanya menyatakan, bahwa bersuci dari buang air itu, dapat dengan membasuhnya, dapat dengan menyapunya. Maksudnya hanya menghilangkan kotoran. Para ulama lalu menetapkan berbagai macam rupa syarat dalam hal ini, sebagaimana yang akan diterangkan.”
Berdasarkan Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid-1 karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy