Pusaka Dan Ahli Waris
Dengan jalan pusaka, segala yang dimiliki seseorang semasa hidupnya, beralih kepada warisnya. Harta itu sepenuhnya menjadi hak waris, walaupun si waris tidak menghendakinya namun ia memenuhi syarat-syarat menerima pusaka dan berwujud sebab-sebab menerima pusaka serta tidak ada penghalang terhadap si penerima pusaka.
Baca Juga:Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa harta peninggal an yang terlepas dari hutang beralih menjadi milik si waris sejak saat orang yang meninggalkan harta itu meninggal. Tetapi kalau orang yang meninggal itu ada hutang, maka para ulama mempunyai dua pendapat tentang saat berpindahnya harta itu kepada para waris.
Walaupun para fuqaha mempunyai dua pendapat tentang saat berpindahnya harta tarikah kepada para waris, namun mereka sependapat menetapkan, bahwa hutang-hutang yang berpautan dengan pribadi (duyun syakhshiyah) orang yang telah meninggal (muwaris), yang berpautan dengan nilai harta peninggalan bukan dengan wujud harta.
Dan bahwa harta peninggalan yang dimiliki secara hutang, bukanlah milik orang-orang yang memberi hutang. Orang-orang yang memberi hutang hanya berhak menagih bayaran dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, bukan dari wujud harta.Karenanya, orang-orang yang memberi hutang tidak berhak meminta dijual harta peninggalan dan para waris boleh membayar hutang itu dengan harta yang lain dari harta peninggalan.
Kesimpulannya, pada harta peninggalan yang dimiliki secara hutang terdapat dua hak:Pertama: hak para yang memberi hutang, yaitu terselesainya hutang-hutang mereka yang berkaitan dengan nilai dari harta peninggalan.
Kedua: hak para waris yang berpautan dengan harta peninggalan itu sendiri.
Pendapat pertama, tentang saat berpindahnya harta tankah kepada para waris, adalah apabila harta tarikah terhalang oleh hutang, maka para waris tidak memiliki harta itu, atau tidak berpindah kepada mereka hak memiliki harta itu sejak dari meninggalnya orang yang meninggalkan pusaka, tetapi tetap dalam milik orang yang me ninggal itu sehingga hutangnya dilunasi.
Demikianlah pendapat golongan Hanafiyah, Malikiyah, Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam suatu pendapat mereka dan sebagian ulama Syafi'iyah.
Apabila hutang tidak menghabiskan harta maka di dalam mazhab Hanafi terdapat tiga aliran.
Aliran pertama, yang lebih kuat, hutang yang tidak menghabis kan harta tarikah, tidak menghalangi beralihnya harta itu kepada para waris.
Aliran kedua, hutang yang tidak menghabiskan harta menghalangi berpindahnya harta kepada para waris.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini: Menurut ulama Hanafiyah bahwa hutang itu tetap dalam dzimmah si muwarits, jika dia meninggalkan harta atau ada yang menjamin. Jika tidak ada harta atau yang menjamin, gugurlah hutang itu.
Menurut ulama Malikiyah bahwa tidak ada lagi harta bagi si yang meninggal sesudah dia meninggal. Karenanya hanya harta peninggalan yang menjadi sasaran hutang.
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa dzimmah orang yang berhutang tetap ada sehingga hutangnya dibayar mengingat hadits yang menerangkan bahwa jiwa si mati terikat dengan hutangnya sampai hutangnya dibayar, yang diriwayatkan oleh Asy Syafi'i.
Ulama Hanbaliyah mempunyai tiga pendapat:
- Sesuai dengan pendapat golongan Malikiyah.
- Sesuai dengan pendapat golongan Syafi'iyah.
- Hutang si mati dipautkan kepada dzimmah si waris dalam batas harta yang ditinggalkan.
Aliran ketiga, harta peninggalan yang tidak dihabiskan oleh hutang tetap dalam milik orang yang meninggal sebanyak yang mencukupi buat pelunasan hutang-hutangnya saja.
Pendapat kedua: tentang waktu berpindahnya harta yang dimiliki dengan hutang, ialah harta peninggalan yang dimiliki dengan hutang baik hutang itu menghabiskan semua harta ataupun tidak, ber pindah kepada para waris dengan meninggalnya muwaris sama dengan harta peninggalan yang terlepas dari hutang. Inilah pendapat golongan Syafi'iyah, Hanbaliyah, Syiah Imamiyah, menurut pendapat yang kedua.
Pendapat fuqaha dalam masa para waris memiliki harta pe ninggalan yang dimiliki dengan hutang menimbulkan beberapa perbedaan pendapat terhadap tindak tanduk para waris terhadap harta peninggalan di dalam masa peralihan itu.
Pertama: tentang tambahan-tambahan (penghasilan-penghasilan) yang dihasilkan oleh harta peninggalan. Apabila hasil tambahan pada harta peninggalan sesudah wafat nya muwaris, sebelum dilunasi hutang-hutangnya, seperti pohon pohon yang ditinggalkan berbuah atau binatang-binatang yang di tinggalkan beranak, atau diterima sewa-sewa dari rumah yang di tinggalkan, maka segala tambahan ini dipandang milik orang yang meninggal, menurut pendapat yang pertama dan menjadi milik para waris menurut pendapat golongan yang kedua.
Kedua: tentang belanja-belanja dan ongkos-ongkos buat harta peninggalan yang dimiliki dengan hutang. Segala yang diperlukan oleh harta peninggalan yang dimiliki dengan hutang saat dia meninggal sampai kepada dilunasi hutang nya, diambil dari harta peninggalan, menurut pendapat yang per tama dan menjadi tanggung jawab para waris, menurut pendapat yang kedua, mengingat kaidah " Al Ghurmu bil Ghurmi ".
Ketiga: tentang hak syuf'ah. Apabila di dalam harta yang dimiliki dengan hutang ada se bidang kebun yang dimiliki bersama antara yang meninggal itu dengan orang lain, lalu orang yang lain itu menjual bagiannya sesudah meninggalnya si muwaris sebelum dibayar hutangnya, maka tidak ada hak syuf'ah bagi para waris, menurut pendapat yang pertama dan ada hak syuf'ah bagi para waris menurut pendapat yang kedua.
Keempat: tentang pengelolaan harta peninggalan oleh ahli waris. Apabila para waris mengelola harta peninggalan dari orang yang berhutang, harta itu dapat dibagi di antara para waris dan dapat pula dijual, dihibahkan atau disewakan. Apabila para waris membagi harta peninggalan dari orang yang mempunyai hutang, maka para ulama berbeda pendapat.
Menurut golongan Hanafiyah, tidak sah, dapat dibatalkan oleh waris atau oleh yang memberi hutang, baik para waris itu me ngetahui adanya hutang di waktu membagi itu ataupun tidak, baik harta peninggalan itu dihabiskan oleh hutang ataupun tidak. Menurut pendapat golongan Syafi'iyah, pembagian harta pe ninggalan yang dihabiskan oleh hutang atau tidak, tidak sah (batal dengan sendirinya) sebelum hutang diselesaikan. Karena masih berpautan hak orang lain dengan harta peninggalan itu.
Pendapat yang terkenal dalam kalangan Malikiyah dan Hanbaliyah, pembagian itu sah dan berlaku selama orang-orang yang memberi hutang tidak menyanggah dan tidak berlaku pembagian itu terhadap orang-orang yang memberi hutang sebelum mereka menerima pembayaran, mereka dapat membatalkan. Tegasnya mereka berhak menyanggah.
Tetapi apabila mereka telah menerima pembayaran hutang atau mereka membebaskan si yang meninggal dari membayar hutang, maka pembagian itu berlaku untuk mereka semua.
Perbedaan pendapat golongan Hanafiyah dengan Syafi'iyah. Menurut Hanafiyah arti tidak sah pembagian, ialah tidak berlaku dan tidak harus dituruti, bukan batal. Karenanya para waris dan yang memberi hutang, boleh membatalkan pembagian itu, boleh meneruskannya. Apabila orang-orang yang memberi hutang mem benarkan pembagian itu, maka pembagian itu dipandang sah dan berlaku.
Menurut Syafi'iyah, pembagian itu tetap tidak sah walaupun orang-orang yang memberi hutang membebaskan orang yang telah mati dari membayar hutang, apabila pembebasan hutang itu di lakukan sesudah dibagi.Sikap Para Waris terhadap Tarikah Tanpa Membaginya
Pembagian harta peninggalan di antara para waris, haruslah merupakan pemisahan hak masing-masing waris supaya mereka dapat menguasai sepenuhnya bagiannya dan memanfaatkannya.
Maka apabila seseorang waris bertindak terhadap harta peninggalan sesudah si muwaris meninggal dan sebelum hutang di lunasi, umpamanya dengan dijual, dihibah atau disewakan, maka pengelolaan ini dipandang batal dan tidak akan menjadi sah, dengan dilunasi hutang. Ini menurut pendapat sebagian ulama Hanafiyah, bahwa si waris tidak memiliki tarikah yang diperoleh dengan jalan hutang, sesudah si muwaris meninggal sebelum hutangnya itu dilunasi.
Golongan Hanafiyah yang mengatakan, bahwa para waris me miliki segala harta peninggalan yang tidak habis oleh hutang, maka cara yang ditempuh para waris ini dipandang benar asal tidak merugikan waris yang memberi hutang.
Begitu juga menurut pendapat golongan Hanafiyah yang mengatakan bahwa para waris memiliki yang lebih dari keperluan si muwaris untuk membayar hutangnya.
Golongan Syafi'iyah juga berpendapat demikian, walaupun mereka berpendapat bahwa para waris telah memiliki harta pe ninggalan dengan meninggalnya si muwaris.
Jumhur fuqaha Malikiyah dan Hanbaliyah mensahkan cara itu, selama tidak merugikan pihak (orang-orang) yang memberi hutang.
Karena itu, apabila tidak ada harta selain dari benda yang sudah dijual atau dihibahkan oleh waris, sedang dia tidak mau membayar hutang, atau dia belum membayarnya, maka cara itu dapat di batalkan. Tetapi kalau dia berjanji akan membayar hutang itu, atau langsung dibayar, maka cara itu dipandang sah dan berlaku.
Berdasarkan Buku Fiqh Mawaris Karangan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy