Syarat-syarat Menerima Pusaka
- Ada harta yang ditinggalkan oleh muwaris.
- Ada ahli waris.
Bila seseorang muwaris mati berdasarkan putusan hakim, harta nya beralih kepada para waris, walaupun ada kemungkinan dia masih hidup.
Seseorang muwaris dipandang telah mati saat dia meng hembuskan nafasnya yang penghabisan, kembali kepada Tuhannya. Hal itu ditetapkan dengan pensaksian orang-orang yang hadir di waktu dia meninggal dan dengan keterangan yang dibenarkan syara' terhadap orang-orang yang tidak disaksikan kematiannya, apabila hal itu telah sampai kepada putusan hakim.
Maka apabila berselisih para waris tentang kematian muwaris nya, atau tentang tanggal kematiannya dan salah seorang mereka mengadukan hal itu kepada hakim, dan hakim menetapkan tanggal kematiannya, maka sejak tanggal itulah harta peninggalannya, ber alih kepada waris yang ada pada waktu itu.
Tanggal yang dipegangi dalam peristiwa itu, bukan tanggal keluar putusan, tetapi tanggal yang ditetapkan oleh hakim sebagai tanggal meninggalnya si muwaris itu.
Si muwaris dipandang telah mati menurut hukum, apabila hakim telah menetapkan kematiannya berdasarkan keterangan-keterangan yang ada padanya.
Demikian pula hakim dapat menetapkan ke matian seseorang yang hilang ( mafqud ) yang tidak diketahui tempat nya dan tidak pula diketahui keadaannya. Dalam hal ini si mafqud itu dipandang telah meninggal, adalah semenjak keluar putusan hakim. Maka semenjak itulah tarikahnya diwariskan kepada para waris yang ada pada waktu itu.
Para waris yang telah meninggal sebelum keluar putusan hakim, tidak mewarisi apa-apa dengan jalan pusaka. Walau pun dia meninggal dalam masa hakim mempertimbangkan putusan nya terhadap si mafqud itu.
Diserupakan dengan mafqud, tawanan yang tidak diketahui lagi keadaannya dan orang murtad dari agama. Maka apabila seseorang murtad dari agama dan pergi ke Darul Harb selaku seorang murtad, lalu hakim memutuskan, bahwa orang itu telah pergi ke Darul Harb selaku seorang murtad, maka pada saat itu dipandanglah dia sudah meninggal, walaupun dia pada saat itu masih hidup.
Maka mulailah istrinya ber-iddah sebagai seorang istri yang suaminya meninggal dan boleh menikah kembali dengan orang lain sesudah iddah-nya berakhir. Dan sejak tanggal itu pulalah hartanya diwariskan kepada waris-warisnya yang ada pada ketika itu. Waris warisnya yang meninggal sebelum penetapan hakim tidak mewarisi apa-apa.
Syarat yang harus dipersiapkan waris untuk menerima pusaka, adalah dia masih hidup, pada waktu muwaris-nya meninggal, baik meninggal secara hakikat, atau pun menurut penetapan hakim, karena si waris mengganti muwaris-nya adalah sesudah muwaris-nya meninggal.
Masih hidupnya para waris dibuktikan oleh pensaksian saksi dan oleh keterangan-keterangan di sidang pengadilan. Adapun waris yang dianggap dalam keadaan hidup, seperti anak dalam kandungan, lalu gugur, lantaran sesuatu tindakan pidana terhadap ibunya, maka apabila seseorang wanita yang sedang mengandung, dipukul oleh seseorang, lalu dia melahirkan bayi dalam keadaan mati, tetapi telah sempurna bentuk kejadiannya, agama mewajibkan atas si penindak itu ( atas ashabah-nya ) sejumlah harta yang dinamakan " ghurah " yaitu serishfu usyur diat yang sempurna yakni lima ratus dirham perak atau lima puluh dinar emas. Karena diyat yang sempurna dari perak, sepuluh ribu dirham, dan dari emas, seribu dinar.Kandungan yang lahir dalam keadaan mati itu akibat ibunya dipukul dan yang harus dibayar diatnya sejumlah tersebut, tidak dapat dipastikan bahwa dia masih hidup di waktu terjadinya pe mukulan haruslah dianggap bahwa dia hidup di waktu pemukulan itu dan kematiannya disebabkan pemukulan. Si bayi mewarisi bagian disediakan untuknya dari harta peninggalan muwaris-nya.
Dan di antara waris-waris itu, ialah bayi yang lahir dalam ke adaan mati sesudah muwaris-nya meninggal. Dan janin dalam kandungan ini berhak menerima apa yang diwasiatkan untuknya dan memiliki diatnya serta menutup hak waris yang lain sekiranya dia lahir dalam keadaan hidup. Hartanya itu dibagi antara waris-warisnya menurut ketentuan masing-masing. Demikianlah menurut mazhab golongan Hanafiyah.
Menurut mazhab jumhur ulama, Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad, bayi yang dalam kandungan dipandang masih hidup hanya terhadap diatnya saja. Diyatnya sajalah yang diwariskan kepada para warisnya. Dan bayi dalam kandungan itu tidak mewarisi muwaris-nya, karena tidak dapat diyakini, bahwa dia hidup di waktu terjadinya pe mukulan.
Diyatnya itu diwariskan kepada waris-warisnya yang ada diwaktu terjadinya pemukulan. Ayahnya mendapat, dan ibunya mendapat, apabila si bayi dalam kandungan itu tidak mempunyai saudara. Kalau ia mempunyai saudara, maka si ibu mendapat sedangkan yang lain untuk ayah. Jika ayahnya tidak ada pada waktu itu, maka diyatnya itu diwariskan kepada waris-waris yang lain.
Menurut mazhab Rabi'ah dan Al-Laits, bayi yang dalam kandungan tidak menerima pusaka dan tidak pula mewariskan hartanya kepada orang lain, karena tidak dapat dipastikan bahwa dia hidup di waktu pemukulan itu dan tidak dapat dipastikan pula bahwa dia meninggal disebabkan pemukulan.
Diyatnya semuanya dimiliki oleh ibunya sendiri, tidak oleh seseorang yang lain. Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa seseorang bayi dalam kandungan tidak menerima pusaka dan tidak pula mempusakakan apabila dia lahir dari perut ibunya dalam keadaan mati, bukan karena jinayat seseorang, atau karena jinayat terhadap ibunya yang tidak me wajibkan diyat. Umpamanya bayi itu lahir lantaran jinayat, tetapi dia belum sempurna kejadiannya.