Hadits Keutamaan Malu
84- KEUTAMAAN DAN ANJURAN UNTUK BERPERILAKU MALU
686- عَن اِبْن عُمَرَ رَضِيَ الله عَنهُمَا، أَنَّ رَسُوْل الله ، مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أخَاهُ في الحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُوْل الله : ((دَعْهُ فَإنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإيمَانِ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
686. Dari Ibn Umar RA, dia berkata: Rasulullah SAW. melewati seorang Anshar yang sedang memberi nasihat kepada saudaranya karena sifatnya yang pemalu, lalu beliau bersabda: “Biarkan ia pemalu! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. (HR. Bukhari dan Muslim)687- وَعَن عِمْرَانِ بْن حُصَيْنِ، رَضِيَ الله عَنهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله : ((الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إلاَّ بِخَيْرٍ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
687. Dari Imran Ibn Husain RA, dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda, “Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim)688- وَعَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنهُ، أَنَّ رَسُوْل الله قَالَ: ((الإيمَانُ بِضْعُ وَسَبْعُونَ، أوْبِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً. فَأفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إلهَ إلاَّ الله، وَأدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَن الطَّرِيقِ. وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمَانِ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
688. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda, “Cabang iman ada enam puluh lebih, atau tujuh puluh lebih, yang paling utama adalah ucapan tahlil “LAA ILAHA ILLALLAH” (Tidak ada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu termasuk bagian dari iman”. (HR. Bukhari dan Muslim)689- وَعَن أَبِي سَعِيْدِ اَلْخُدْرِي رَضِيَ الله عَنهُ قَالَ: كاَنَ رَسُوْل الله أشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ في خِدْرِهَا، فَإذَا رَأى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ في وَجْهِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
689. Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dia berkata: Rasulullah SAW. memiliki sifat malu, melebihi malunya seorang gadis yang dipingit[1]. Ketika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka kami akan dapat mengetahuinya melalui raut wajahnya.”[2] (HR. Bukhari dan Muslim)[1] Maksudnya, Rasulullah memeliki sifat malu, melebihi malunya seorang gadis perawan yang baru menikah ketika dia berada di kamar pengantinnya berduaan dengan suami yang belum dikenal sebelumnya.
[2] Para ulama berpendapat: “Hakikat malu adalah budi pekerti yang mengajak pemiliknya agar meninggalkan kejelekan dan mencegah dari mengurangi hak orang lain”. Dalam riwayat Abu al-Qasim al-Junaid RA, dia berkata: “Malu adalah memandang kebaikan dan melihat kekurangan diri sendiri. Dari kedua pandangan itu, lahirlah perasaan yang dinamakan malu”.