Sejarah Al-Qur'an dan Al-Kitab
Shahabat Safrizal July semuanya semoga dalam lindungan Allah semata...!!
Ada satu buku yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Al-'Azami dengan judul terjemahan indonesianya adalah Sejarah Teks Al-Qur'an Dari Wahyu Sampai Kompilasi.
Buku ini Mencakakup Pengenalan Ringkas Tentang Sejarah Al- qur'an Dari Segi Penulisan Dan Koleksinya. Barangkali Muncul Pertanyaan Dari Kalangan Pembaca Mengapa Sepertiga ISI BUKU INI MENUPAS KITAB PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU.
APA Ada Kaitannya dengan Sejarah al- Quran. penulis Berharap Pertanya Ini Dapat Terungkap Secara Rinci Melalui Bab-Bab Yang Menyentuh Akar Permasalahan.
Sebenarnya Fikrah Penulisan Tentang Koleksi Dan Pemeliharaan Al- Qur'an Yang Demikian Unik Mengusik Pikiran penulis Sejak Tiga Silam Tahun Yang Silam. Tulisan Toby Lester (Seorang Wartawan) Yang Dimuatt Di The Atlantik Bulanan Bulan Januari, 1999, Berusaha Mengacaukan Pikiran Yang Sedemikian Parah Di Kalangan Umat Islam Dan Telah membakar semangat Konsentrasi Penulisan.
Ia mengatakan, "Kendati Umat Islam Percaya Al- qur'an Sebagai Kitab Suci Allah Yang Tak Pernah Ternoda Dari Pemalsuan, Mereka Tak Mampu Mengemukakan Pendapat Secara Ilmiah."
Tantangan ini mengemuka dan penulis merasa terpanggil menghadapinya dengan mengupas tentang metode penelitian yang layaknya dipakai oleh ilmuwan di Masa Silam Dalam menerima Teks Al- Quran Yang benar dan sikap Penolakan Mereka Terhadap Pemsuan.
Hal ini Pun Yang menyebabkan terjadinya pengulangan yang tak terelakkan dari beberapa materi buku ini. Karena Sebagian Besar Ilmuwan, Seperi Dikutip Oleh T. Lester, Terdiri Dari Kaum Yahudi Dan Kristen, Maka Kesimpulan Kami Akan Dirasa Tepat Guna Mengadakan Pembedahan Secara Tuntas Terhadap Kitab Perjanjian Baru Dan Perjanjian Lama Sebagai Studi Banding.
Dengan cara ini diharap dapat membantu para pembaca dalam menyikapi perbedaan pendapat antara cendekiawan muslim dan para Orientalis secara objektif dan kritis.
Dengan memberi penekanan pendapat tentang transformasi teks Al-Qur'an seutuhnya secara lisan, kalangan Orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad saw.. (Banyak di antara mereka yang menepis anggapan bahwa hasil kompilasi di masa khafifah Abu Bakar dan sebagian yang lain lebih dapat menerima upaya yang dilakukan oleh Utsman bin Affan.
Hanya selisih lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al- Qur'an ke pelbagai wilayah dunia Islam. Dengan melihat rentang masa dan kekeliruan yang amat mendasar, kalangan Orientalis berusaha memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalahan yang menyeruak ke dalam teks Al-Qur'an di masa itu.
Herannya, para ilmuwan Kitab Injil selalu menganggap benar sejarahnya, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya.
Perhatian utama kaum Orientalis tercurah pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya, kendati hanya setengah abad setelah wafatnya Rasulullah dalam penyusunan naskah tulisan dan menghilangkan asal-usul yang memiliki dwi makna.
Mereka menuduh periode tersebut sebagai distorsi penting terjadinya pemalsuan teks asli, kendati dengan cara ini mereka menolak anggapan sebelumnya tentang keberadaannya secara lisan yang pada hakikatnya, orang-orang pada masa itu telah menghafal Al-Qur'an dan bahkan memiliki naskah tertulis.
Oleh karena itu, "naskah yang tidak lengkap" tidak memberi pengaruh sedikit pun dalam rentang masa lima puluh tahun. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut.
Adanya anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai pembuktian hancurnya naskah Al-Qur'an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Di waktu yang sama, Kitab Perjanjian Lama mengalami kesenjangan masa transmisi lisan selama dua abad.
Melalui argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan, pada masa itu terdapat Mushaf Hijazi sejak abad awal Hijriah (akhir abad ke-7 dan permulaan abad ke-8 Masehi). Selain itu, juga terdapat bukti kuat adanya beberapa bagian naskah Al-Qur'an yang ditulis pada permulaan abad pertama.
Menolak anggapan akan nilai lembaran tulisan itu, para orientalis beranggapan bahwa mereka terlambat dalam membuktikan teks Al-Qur'an yang bersih dari noda hitam. Mereka lebih senang mengikuti anggapan serta pendapat yang tak dapat dipertanggungjawabkan." Dengan membandingkan kesempumaan naskah tertua yang ditulis pada permulaan abad ke-11 Maschi, dan naskah Kitab Injil bangsa Yunani yang ditulis pada abad ke-10 Masehi. tampaknya sikap dan perhatian seperti itu tidak dapat diterapkan di sini.
Ketidaksesuaian sikap terhadap Al-Qur'an di satu sisi, dan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di sisi lain, dapat diterapkan jika sekiranya kita hendak membuat penilaian terhadap nilai keutuhan Al-Qur'an.
Praktik yang telah mapan sejak lahirnya sejarah literatur keislaman memberi isyarat bahwa setiap teks keagamaan (hadits, tafsir, fiqh dll.) transmisinya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang pernah belajar langsung dari penulis dan kemudian mengajarkan pada generasi berikutnya.
Transmisi secara utuh selalu dipertahankan guna memberi peluang pada kita agar dapat menatap secara tajam terhadap asal usul tiap buku yang berkaitan dengan hukum Islam. Sekurang-kurangnya pada permulaan abad pertama-suatu metode pembuktian kesahihan yang tidak mungkin tersaingi oleh siapa pun hingga saat ini.
Jika kita hendak menerapkan prinsip dasar sistem transmisi literatur Muslim pada semua buku apa saja yang tersedia guna membuktikan keabsahan pengarangnya merupakan hal yang tak mungkin dapat dilakukan.
Selain Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis tanpa nama, bagaimanapun, tradisi keilmuan Barat merasa lebih senang memberi legitimasi sejarah daripada sistem mata rantai transmisi, yang senantiasa dipandang dengan sikap ragu dan kurang memadai. Setelah kami teliti kedua metode Muslim dan Barat, hasil yang ada kami serahkan sepenuhnya pada para pembaca untuk memberi kata kunci mana di antara keduanya yang lebih masuk akal.
Yahudi dan Kristen tidak diragukan lagi merupakan agama, seperti tercatat dalam sejarah. Hanya saja sikap keragu-raguan muncul dalam hal penulisan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tentunya jawaban itu tidak dapat dikemukakan secara sederhana.
Pada mulanya Kitab Perjanjian Lama dianggap sebagai karya wahyu Ilahi, namun pada masa berikutnya dianggap sebagai karya Nabi Musa. Teori terakhir mengatakan bahwa beberapa sumber (lebih dari seribu tahun) bertambah akan adanya lima kitab karya Nabi Musa as. Siapa sebenarnya para penulis gurem itu?
Bagaimana sikap kejujuran dan akurasi mereka?
Sejauhmana dapat tepercaya pengetahuan mereka tentang kejadian-kejadian yang terlibat di dalamnya?
Adakah mereka ikut berperan dalam peristiwa yang terjadi?
Dan sejauhmanakah buku-buku yang tersedia dari peristiwa yang ada dapat sampai ke tangan kita?
Dari fakta yang dapat dilacak, semua Kitab Perjanjian Lama muncul ke atas pentas lalu tenggelam beberapa ratus tahun kemudian sebelum muncul kembali secara tiba-tiba. Kemudian kitab-kitab itu kembali tenggelam tanpa bekas selama beberapa abad, yang kemudian tiba-tiba ditemukan kembali. Coba bandingkan cerita sejarah ini dengan ribuan manusia berjiwa saleh yang hidup mengelilingi Nabi Muhammad dan berperan secara aktif di saat perang dan kedamaian, di kala susah dan senang, semuanya terlibat dalam proses dokumentasi tiap ayat Al-Qur'an dan hadits. Sejarah hidupnya membentuk rangkaian peristiwa yang tajam-a poignant chronicle-kendati para orientalis kebanyakan menolak dan menganggap masalah ini sebagai cerita fiktif di mana menurut pendapat Wansbrough laksana percontohan "kedamaian sejarah", tanpa menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, para ilmuwan lain secara aktif terlibat dalam peng- hapusan riwayat keagamaan mereka karena semata-mata menginginkan sesuatu yang baru di mana dapat kami sajikan secara sekilas cerita penyaliban Jesus. Pendapat Yahudi ortodoks menegaskan, "Menurut Kitab Talmud, Jesus dieksekusi melalui pengadilan para rahib karena pemujaan terhadap berhala, yang menyebabkan orang Yahudi membuat berhala lain serta menghina otoritas para rahib agama Yahudi. Semua sumber klasik agama Yahudi mengatakan penyaliban Jesus dilakukan dengan senang hati guna menanggung rasa tanggung jawab, sedangkan menurut cerita dalam Talmud bangsa Romawi sama sekali tidak disebut."
Sebagai tambahan terhadap serangkaian pelecehan seks terhadap Jesus, Talmud mempertegas bahwa sanksi hukuman yang diberikan. di dalam neraka adalah ditenggelamkan ke dalam tempat najis yang mendidih."
Ironisnya, Kitab Perjanjian Baru dan Kristiani modern melenyapkan semua sumber itu kendati tersebut dalam Talmud. Apakah arti definisi kesucian jika perubahan secara sengaja dilakukan baik dari segi kata-kata maupun nada yang dibuat pada kitab suci pada saat ini dan seterusnya?¹ Dan apa yang sedang berlaku untuk dijadikan latar belakang permasalahan, bagaimana mungkin beberapa kalangan intelektual dapat menerima Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah saat mereka menolak hal yang sama terhadap agama Islam?"
Pokok permasalahan di sini bukan masalah Islam atau apa yang dikatakan oleh sumber-sumber keislaman melainkan bagaimana seorang Muslim memandang keimanan mereka dan bagaimana yang dikehendaki oleh para peneliti Orientalis dalam melihat permasalahan.
Beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur'an, hadits, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis Barat untuk orang Barat.
Jawaban tersebut kendati mungkin setengahnya benar, kenyataannya karya tersebut bukanlah semata-mata untuk kalangan masyarakat Eropa. Untuk itu pantas kiranya dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang berjudul Orientalism:
"Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus diwakili." (Karl Marx)
Poin terakhir sebelum menyudahi kata pengantar ini. Saat penelitian tertentu menghasilkan sebuah icon, dunia akademi mencatat bahwa ia mesti dihadapkan pada sistem tes yang amat mendasar. Jika ternyata gagal maka harus diadakan perubahan atau diuji kembali dan bahkan mungkin dicampakkan.
Sangat disayangkan pengkajian tentang Islam dikotori oleh teori yang menyakitkan yang meningkat pada salah satu titik yang hampir menjadi fakta kasar, kendati mereka gagal pada beberapa langkah yang dilakukan. Kedua contoh berikut akan memberi penjelasan. Professor Wensinck memberi komentar terhadap hadits terkenal tentang kelima rukun Islam:
عن أبي عبد الرحمن بن عمر بن الخطاب رضي عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: " بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله ، وإقام الصلاة و إيناء الزكاة و حج البيت و صوم رمضان " رواه البخاري
Dari Abu Abdurahman Abdullah bin Umar bin Khathab yang berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah & bersabda: “ Islam dibangun di atas lima: Syahadat bahwa tidak ada ilah ( sesembahan yang haq ) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji ke Baitullah, dan Puasa Ramadhan. " (HR. Al Bukhari dan Muslim)
la memandangnya sebagai hal yang palsu karena mencakup kalimat syahadat (memberi kesaksian bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah). Menurutnya, para sahabat Nabi Muhammad mengenalkan kalimat tersebut setelah bertemu dengan orang-orang Kristen dari Suriah yang kemudian memberi kesaksian keimanan.Dari itu, katanya lagi, ia mencuri ide itu dari orang Kristen untuk membangun salah satu faktor penting dari rukun Islam. Dihadapkan pada persoalan bahwa kalimat syahadat merupakan bagian dari tasyahud dalam shalat harian, Wensinck membuat teori baru selain mengadakan modifikasi teori sebelumnya: bahwa standard shalat dibuat setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Barangkali, teori selanjutnya masih diperlukan mengingat Wensick tidak memberi penjelasan adanya teori kalima dalam adzan () dan iqama (5))," demikian pun halnya ia tidak memberi penjelasan bila kedua kalimat tersebut diperkenalkan ke dalam Islam.
Contoh kedua yang kami kemukakan di sini adalah Goldziher, di mana ia membuat sebuah teori bahwa munculnya perbedaan qiraat dalam Al-Qur'an disebabkan konsonan teks yang digunakan pada naskah Al-Qur'an terdahulu.Dengan mengangkat beberapa contoh guna menunjukkan validitas pemikirannya, ia mengelak untuk menyebut ratusan contoh di mana teori yang ia bangun telah gagal-kendati ia tak pernah berhenti mencari popularitas di tengah sementara kelompoknya."
Upaya sungguh-sungguh telah dilakukan dalam membuat atau me- lakukan pekerjaan ini sedang faedah sebagai seorang ilmuwan hanya berlaku pada orang-orang biasa. Jika terdapat bagian di mama yang terdahulu terdapat pengulangan atau yang kemudian dipahami oleh beberapa orang saja, hal ini karena mempertahankan penggunaan perantara yang menyenangkan dirasa kurang memungkinkan.Sehubungan dengan terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an bahasa Inggris, sebenarnya tidak terdapat terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa itu secara seragam dalam buku ini, kendati sebagian besar ayat-ayat yang diterjemahkan mengacu pada terjemahan Yusuf Ali atau Mohammad Asad.
Terjemahan-terjemahan tersebut sering mengalami perubahan dan kadang-kadang ditulis kembali tergantung sejauh mana kejelasan yang kami temukan dalam upaya terjemahan yang asli. Hal ini tidak membuat kekhilafan mengingat Al-Qur'an itu ditulis dalam bahasa Arab, sedang tugas penerjemah semata untuk menghilangkan beberapa arti yang tak jelas dalam teks.
Hasil terakhir bukanlah Al-Qur'an melainkan semata-mata terjemahan (seperti adanya bayang-bayang adalah karena disebabkan bayangan itu sendiri), dan selama tidak ada kesalahan dalam mencatat atau pengambilan di luar konteks, maka tidak dirasa perlu mengikuti terjemahan tertentu.
Pembaca dapat melihat bahwa secara umum kami menggunakan ungkapan ungkapan kebesaran atau doa setelah menyebut beberapa nama seperti Allah (suatu ungkapan menunjukkan kebesaran) setelah menyebut nama (shalawat dan salam kepadanya) setelah menyebut nama Muhammad, saw (salam untuknya) setelah menyebut nama-nama lain dari para Nabi seperti Ibrahim, Ismail, Musa, 'Isa dll.), atau (semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya) setelah menyebut namal sahabat.
Tujuan saya adalah untuk menjaga keserasian naskah sebisa mungkin, dengan harapan para pembaca di kalangan umat Islam dapat memasuki sisipan ungkapan itu ke dalam teks secara benar dan sesuai.
Beberapa intelektual Muslim terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti cara yang sama, kendati para penulis berikutnya menganggap lebih tepat guna menambahkan ungkapan-ungkapan seperti itu secara lebih detail ke dalam teks, seperti pandangan mata mampu menempatkan penglihatan secara tepat sesuai dengan nalurinya.
Sebuah catatan dan peringatan. Keimanan seorang Muslim memerlukan adanya kepercayaan tangguh tentang keaslian dan kesalehan perilaku semua Nabi Allah. Di sini kami hendak mencatat dari sumber- sumber bukan orang Islam di mana sebagian mereka tak segan-segan merujuk kepada Tuhan mereka, Jesus sebagai pelaku zina ataupun homoseksual, Nabi Dawud sebagai perencana zina, dan Nabi Sulaiman sebagai pelaku syirik. (Ya Allah, betapa tidak adilnya kata-kata seperti itu.) Sebagaimana kurang praktis memasukkan satu catatan bilamana kami menukil ide-ide murahan seperti itu, namun kami cukup dengan memperjelas sikap umat Islam di mana kata-kata seperti itu tidak memantulkan penghormatan di mana umat Islam mempertahankan tanpa syarat dan melakukan pembelaan pada semua Nabi Allah.
Pada akhirnya. dalam menulis buku ini penulis selalu berusaha memilih pendapat terbaik yang representatif dalam memberi penjelasan kasus permasalahan dan menghindari pembicaraan bertele-tele tentang semua pendapat yang ada dan hal ini, barangkali, akan memberi minat pada para pembaca secara umum.