HADITS MANDI BAGI MUSTAHADHAH UNTUK SETIAP SHALAT
TENTANG MANDI BAGI MUSTAHADHAH UNTUK TIAP-TIAP SHALAT
137) 'Aisyah ra. menerangkan:
138) Hamnah binti Jahasy ra. berkata:
كُنتُ اسْتَحَاضَ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ اَسْتَفْتِيهِ فَقَالَ: أَنَّمَا هِيَ رَكْضَةً مِنَ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضُ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْسَبْعَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ اغْتَسِلِ فَإِذَا اسْتَنقَأْتِ فَصَلَّى أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَو ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ، وَصُومِي وَصَلَّى فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكِ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِى كُلِّ شَهْرٍ كَمَا تَحَيَّضُ النِّسَاءَ فَإِنْ قَوِيْتِ عَلَى أَنْ تُوَخِرِى الظُّهْرَ وتُعَجِّلى الْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِى حِيْنَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ تُوَخِرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجَلِينَ الْعِشَاءَ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتِينِ فَافْعَلى وتغتسلين مَعَ الصُّبحِ وتُصَلِّينَ قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ الْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ
"Aku (Hamnah) terus-menerus beristihadhah. Karena itu aku pergi bertanya kepada Nabi tentang hal itu. Maka Nabi menerangkan bahwa darah yang terus-menerus keluar itu, tidak lain dari gangguan setan. Beliau menyuruh aku batasi haid dalam tiap-tiap bulan enam atau tujuh hari. Sesudah itu menyuruh aku mandi. Nabi menerangkan bahwa apabila aku telah suci (telah berlalu hari-hari haid) hendaklah aku shalat dalam tiap-tiap bulan 24 atau 23 hari, juga berpuasa. Yang demikian itu telah mencukupi. Demikianlah aku berbuat pada tiap-tiap bulan, sebagai keadaan perempuan lain yang sedang haid. Kemudian jika aku sanggup, hendaklah aku mentakkhirkan Zhuhur mempercepat Ashar. Dan hendaklah aku mandi untuk dua shalat yang dikumpulkan. Juga hendaklah aku mentakkhirkan Maghrib, mempercepat Isya' dan mandi sebelum shalat itu. Untuk Shubuh hendaklah aku mandi tersendiri. Nabi menerangkan bahwa cara demikianlah yang lebih beliau sukai." (HR. Abu Dawud dan At-Turmudzy; Bulughul Maram: 29)SYARAH HADITS
Hadits (138) At-Turmudzy menyatakan hasan shahih. Juga demikian pendapat Ahmad. Sebaiknya ada pula beberapa ulama yang memandang hadits ini dha'if. Di antara yang berpendapat yang demikian, Al-Baihaqy. Bahkan ada juga yang mengatakan hadits ini mansukh tidak terpakai lagi hukumnya, sudah dihapuskan oleh hadits yang lain.
Al-Khaththaby mengatakan: "Para ulama tidak menetapkan hukum yang dimaksud hadits ini, mengingat bahwa seorang perawinya yaitu Ibnu Aqil, tidak dapat dipegangi riwayatnya." Hadits ini menyatakan, supaya Hamnah mandi sehari semalam tiga kali. Sekali Zhuhur dan Ashar sekali lagi untuk Maghrib dan Isya', sekali lagi untuk Shubuh.
An-Nawawy mengatakan: "Perempuan yang mendapatkan istihadhah hukumnya serupa saja dengan hukum perempuan yang suci dari haid dalam kebanyakan perkara. Dia boleh disetubuhi oleh suaminya, walaupun darahnya sedang mengalir."
Al-Bukhary mengatakan: "Menurut fatwa Ibnu Abbas orang yang mendapatkan istihadhah, boleh didatangi suaminya, apabila hari-hari haidnya telah berlalu dan ia telah mulai shalat lagi."
An-Nawawy mengatakan: "Tidaklah diwajibkan atas perempuan yang ber- istihadhah, mandi untuk tiap-tiap shalat, dan tidaklah diwajibkan pula di lain waktu, lantaran istihadhah-nya. Dia diwajibkan mandi, hanya di hari peralihan darah saja dari darah haid ke darah istihadhah."
Demikian menurut penegasan An-Nawawy, pendapat ulama-ulama salaf dan khalaf (yakni jumhurnya). Dan segala hadits yang mewajibkan mandi atas perempuan yang ber-istihadhah untuk tiap-tiap shalat, tidak ada yang shahih. Hadits yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud, Al-Baihaqy dan lain-lain menyatakan bahwa Nabi menyuruh perempuan mustahadhah mandi untuk tiap-tiap shalat, semuanya lemah, satu pun tidak ada yang benar datangnya dari Nabi saw. Demikian pendapat Sufyan Ats-Taury, Asy-Syafi'y, Ibnu Uyainah, Al-Laits, Ibnu Sa'ad dan beberapa ahli fiqh yang lain.
Ibnu Qudamah mengatakan: "Para ulama ada yang mewajibkan bagi musta- hadhah mandi tiap-tiap shalat. Ada yang hanya mewajibkan wudhu saja untuk tiap- tiap shalat. Ada juga yang mewajibkan mandi sehari sekali. Ada yang mewajibkan mandi sehari tiga kali, dengan menjamakkan Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya' dan Shubuh tersendiri. Kebanyakan ahli ilmu berpendapat bahwa mandi itu hanya diwajibkan ketika berhenti darah haidnya saja, di hari peralihan darah."Rafi'ah, Ikrimah dan Malik mengatakan: "Mustahadhah hanya diwajibkan mandi sekali saja ketika terjadi peralihan darah atau sesudah melalui hari haid dan tidak diwajibkan wudhu untuk tiap-tiap shalat. Karena Nabi hanya berkata: Sesudah habis haid, basuhlah darah (mandilah) dan shalatlah. Nabi tidak menyuruh berwudhu untuk tiap-tiap shalat."
Sesudah masalah ini diperhatikan dan ditinjau dari segala madzhab yang memberi pendapatnya, kami condong kepada pendapat Malik yang didukung oleh pendapat Rafi'ah dan Ikrimah, karena secara demikianlah yang munasabah (bersesuaian) dengan prinsip kelapangan (tidak memberatkan) dalam Islam. Memberatkan perempuan mustahadhah mandi untuk tiap-tiap shalat, berarti menambah beban dan menjemukan. Riwayat Hamnah, jika diperhatikan dari awal hingga akhirnya, menyatakan, bahwa dalam hadits ini, Nabi anjurkan dua perkara:
- Mandi ketika berhenti darah atau berakhirnya hari-hari haid saja.
- Mandi tiga kali di setiap hari. Anjuran ini dilakukan jika disanggupi bukan diberatkan.'