Sejarah Ilmu Astronomi Dan Meteorologi
Ilmu Astronomi dan meteorologi dikenal hingga periode kejayaan peradaban Islam dengan nama Ilmu Al-Hai'ah karena berkaitan erat dengan studi tentang komposisi planet-planet dan kwantitas bintang-bintang, pembagian gugusan bintang-bintang, dimensi-dimensi dan kerangkanya, gerakan-gerakannya, serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu ini, sebagaimana yang dikemukakan Ikhwan Ash-Shafa.
Di sana terdapat beberapa definisi lainnya yang memiliki pengertian serupa seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun dan Thasy Kubra Zadah.55 Bangsa Mesir Kuno sibuk mempelajari ilmu astronomi karena pada awalnya mereka memperhatikan masalah ini untuk mengetahui waktu permulaan terjadinya banjir bandang pada sungai Nil sehingga mereka siap untuk menghadapinya. Berbagai informasi dan pengetahuan mereka tentang astronomi menambah pengetahuan mereka tentang sejarah. Mereka pun menghitung tahun dengan berpedoman dengan matahari karena mereka mengetahui bahwa banjir sungai Nil sangat berkaitan erat dengan matahari (musim) dimana sebelumnya mereka menghitung tahunnya dengan berpedoman dengan rembulan.
Mereka juga mengenal Al-Mizualah (Jam dengan bayangan sinar Matahari), membagi tahun dalam 365 hari, menambahkan lima hari padanya yang mereka namakan Al-Ayyam As-Samawiyyah atau Al-Ayyam Al-Muqaddasah (Hari-hari Suci) dan yang mereka jadikan sebagai hari raya yang mereka peringati tiap tahunnya. Kemudian mereka menambahkan satu tahun setiap 1460 tahun ketika mereka mengetahui bahwa tahun itu kelebihan seperempat hari dibandingkan hari-hari pada umumnya akibat peneropongan mereka terhadap bintang Aquarius yang kemunculannya bersamaan dengan banjir sungai Nil.
Di daerah antara dua sungai, bangsa Babilonia memfokuskan perhatian mereka pada ilmu meteorologi dan menghitung Qiran Az-Zahrah, maksudnya adanya bintang Az-Zahrah yang berada satu garis pandang dengan matahari, maka mereka mendapati bahwa antara tiap dua qiran terdapat 584 hari.
Bangsa Babilonia juga mengenal sistem enam puluhan dalam astronomi dan mereka mengenalnya dalam aritmatik dan geometri. Mereka menjadikan hari yang normal terdiri dari 24 jam, satu jam terdiri dari enam puluh menit dan satu menit terdiri dari enam puluh detik.
Di Babilon, bangsa Kaldania juga ahli dalam ilmu astronomi. Mereka pun merumuskan tabel-tabel meteorologi yang dikumpulkan dalam tiga ratus tahun, mengetahui nilai tambahan atau kelebihan hari, yaitu menambahkan tahun agar sesuai dengan tahun bulan dan tahun astronomi.
Bangsa India tidak mengenal informasi tentang astronomi sama sekali kecuali dari sebuah buku berjudul As-Sidd Hanta yang diterjemahkan dalam bahasa Arab pada abad-abad terakhir ini dengan judul As-Shindu Hind. Pada tahun 628 M, pakar astronomi India bernama Brahma Gupta menulis sebuah artikel berjudul Brahma Safuta Sidanta. Artikel ini terdiri dari sebuah pengantar mengenai gerakan-gerakan benda-benda langit, muncul dan terbenamnya gugusan bintang-bintang yang dihitung berdasarkan peredaran waktu yang mencapai ribuan tahun. Peredaran ini dikenal dengan Sistem Kalba, yang mengasumsikan bahwa matahari dan rembulan serta bintang-bintang pada permulaan terciptanya alam berkumpul dalam satu garis. Dan ketiganya akan kembali pada posisi semula pada akhir dunia atau kiamat.
Pengertian Brahma Sindata merupakan buku tentang astronomi yang dinisbatkan kepada Brahma. Ketika diterjemahkan bangsa Arab, maka mereka mengambil sepertiga terakhir dari namanya. Lalu menyelewengkannya sedikit dengan melengkapinya dengan nama negara dimana buku tersebut dikutip darinya. Mereka berkata, "As-Shindu Hind." Nama ini pun kemudian menjadi populer dan kemudian disematkan pada sejumlah karya ilmiah bangsa Arab dalam bidang Astronomi.
Para pakar Astronomi India Kuno meyakini bahwa bumi ini berbentuk bulat bola yang terpisah atau berdiri sendiri di angkasa dan bahwasanya bintang-bintang dan planet-planet tersebut beredar mengelilingi bumi dengan kecepatan yang sama. Sebagian bangsa India meyakini bahwa di sana terdapat tujuh bola bumi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, dan masing- masing bola bumi memiliki penghuni dan alamnya sendiri-sendiri.
Di negara Persia, terdapat sebuah keyakinan yang populer bahwa bumi ini berbentuk bulat dengan permukaan datar dan terdiri dari tujuh bagian, dimana masing-masing bagian memiliki nama-nama tersendiri.
Di Yunani, ilmu Astronomi memperlihatkan awal-awal pembentukan- nya secara teoritis dan menyelamatkannya dari koridor mistis menuju koridor ilmu pengetahuan yang dibangun di atas rasionalitas akal akan tetapi jauh dari metode-metode eksperimen. Kondisi ini dibantu oleh kontemplasi matematika dan filsafat mereka dalam merumuskan berbagai persepsi tentang bentuk alam dan hukum-hukum gerak planet, baik yang nampak oleh mata maupun gerakan sebenarnya, volume-volume benda- benda langit ini dan dimensi-dimensinsya, serta karakteristiknya. Teori- teori metafisik yang mereka dalami membantu mereka dalam meluruskan sistem alam raya yang sangat indah yang dibangun berdasarkan rasionalitas akal yang kompleks.
Ptolemeus mempersepsikan bahwa bumi ini tetap di pusat alam raya. Sedangkan matahari dan rembulan serta planet-planet lainnya mengitarinya. Ia mempersepsikan adanya sejumlah bintang yang tetap atau tidak berputar. Hal itu bukan berarti bahwa bintang-bintang tersebut tidak bergerak, melainkan nampak diam karena jaraknya sangat jauh dari matahari dan terus bergerak di angkasa mengitari bumi sebagai poros tata surya.
Para filosof Yunani sebelumnya dan yang hidup sezaman dengannya memiliki persepsi yang sedikit berbeda dengan teorinya. Lihatlah Pythagoras yang menyatakan bahwa bumi ini bukanlah menetap di pusat tata surya, melainkan bergerak mengitari matahari. Aristarkhos dari Samos juga menyerukan persepsi atau teori yang sama, bahwa matahari dan bintang-bintang itu tetap, sedangkan bumi mengitari matahari dan mengelilingi dirinya pada waktu yang sama.
Hipparkhos meyakini bahwa bumi bukanlah pusat tata surya dan menjadi poros peredaran matahari. Sedangkan Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa bumi ini merupakan poros dunia dan bahwasanya bintang-bintang dan matahari itu mengelilinginya dalam satu gerakan. Karena bintang-bintang tetap berada dalam orbitnya. Orbit ini memiliki satu penggerak
Karena Plato dan Aristoteles memiliki kedudukan terhormat dan populer di kalangan ilmuwan Yuani dan filosofnya, maka orang-orang cenderung mengadopsi pendapatnya yang keliru mengenai astronomi. Sedangkan pendapat yang benar harus terkubur selama beberapa abad lamanya, sehingga mengakibatkan terhambatnya kemajuan ilmu astronomi eksperimen dan mitos-mitos dan sihir senantiasa menyelimutinya hingga pada masa sekarang.
Peninggalan penting peradaban Greece dalam bidang astronomi adalah buku berjudul Almagest karya: Ptolemeus. Almagest dalam bahsa Yunani berarti klasifikasi besar dalam ilmu aritmetik. Bisa jadi bangsa Arab mengukir namanya dari dua kata pada judulnya. Buku Almagest ini merupakan ensiklopedia dalam bidang astronomi dan segitiga. Tema-tema yang dibahas antara lain: Bola bumi yang bulat, ketetapan bumi di pusat tata surya, gugusan bintang-bintang, luas wilayah negara-negara, gerakan matahari, pergantian musim gugur dan musim semi, siang-malam, gerakan rembulan dan perhitungannya, gerhana matahari dan gerhana bulan, bintang-bintan yang tetap dan planet-planet yang berputar.
Ketika Aristoteles dan Ptolemeus berpersepsi bahwa perputaran bintang-bintang ataupun planet mengitari bumi sifatnya perputaran yang melingkar, karena keduanya meyakini bahwa lingkaran adalah bentuk tehnik terbaik dan bola adalah yang paling indah, maka bumi pastilah bulat seperti bola; Sebab Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali yang baik, dan tentunya gerakan memutar juga merupakan gerakan alami setiap benda-benda langit.
Keunggulan bangsa Yunani dalam bidang matematika berkontribusi besar dalam memmperluas imajinasi-imajinasi mereka. Meskipun biasanya bersifat metafisik, akan tetapi kontemplasi-kontemplasi tersebut mengantarkan mereka pada beberapa pendapat ilmiah yang benar dan tidak bisa dijelaskan atau diuji kebenarannya kecuali pada masa modern.
Misalnya, sebuah teori yang dirumuskan Ptolemeus yang menyebutkan bahwa gerakan planet-planet mengitari bumi, tidak menggambarkan garis edar atau orbit yang melingkar lurus dengan bumi sebagai pusatnya, melainkan orbit yang gerakannya bersilangan. Yang dimaksud dengan lingkaran bersilangan adalah bahwa gerakan planet-planet tersebut merupakan gerak melingkar mengitari porosnya yang menciptakan orbit dengan bumi sebagai pusatnya.
Ptolemeus berupaya menjelaskan secara tehnik dan mendetail terhadap setiap planet, yang gerakannya berbenturan lingkaran dan saling bersilangan. Karena itu, asumsi atau teorinya ini dikenal dengan teori yang rumit. Kebenaran dari teori ini belum terlihat kecuali pada masa kebangkitan peradaban Islam, dimana astronomi dan meteorologi menjadi sebuah ilmu eksperimental. Kemudian pada abad keenam belas Masehi dikembangkan lagi oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Johannes Kepler (1571-1630).
Dari kesimpulan mengenai kedudukan ilmu astronomi, kita dapat mengambil kesimpulan yang dibuat seorang orientalis bernama Tanry terhadap Yunani, ketika mengatakan, "Mereka tidak terbiasa menjelaskan secara rinci metode-metode dan poranti yang mereka pergunakan guna menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan serta menambah kecermatan mereka mengenai ukuran-ukuran astronomis sesuai dengan karakter ilmu matematika."
Adapun bilangan-bilangan yang diperoleh dari analogi, maka mereka tidak menganggapnya kecuali meyakininya sebagai postulat-postulat yang tidak boleh didiskusikan hanya mendalami pengamatan-pengamatan mereka terhadap bukti-bukti geometris berdasarkan asumsi bahwa postulat- postulat itu benar. Misalnya, sebuah asumsi yang menjadi kesepakatan beberapa buku referensi, bahwa Iratustinus seorang pakar astronomi dan geografi berhasil mengukur garis tengah bumi dengan sangat cermat dan memperkirakan ukurannya sebesar 572 dan 14839 km.
Referensi Berdasarkan buku Karangan Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya Dengan Judul Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia