TATA CARA MEMBASUH MUKA SESUAI SUNNAH
MENYEMPURNAKAN MADHMADHAH DAN ISTINSYAQ, MENGGOSOK JARI DAN MEMUTAR CINCIN
195) Laqith ibn Shabirah berkata:اقَالَ النَّبِيُّ : اسْبِغِ الوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ وَبألِغْ فِي الْمَضْمَضَة والإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أن تَكُونَ صَائِمًا
Nabi saw. bersabda: "Sempurnakan wudhumu, gosoklah ruang-ruang jarimu, ber- madhmadhah dan ber-istinsyaq dengan sesempurna-sempurnanya, terkecuali kalau kamu sedang berpuasa." (HR. Ad-Daulabi; Al-Muntaqa 1: 86; Ar-Raudhatun Nadiyah 1:35)196) Ibnu Abbas ra. berkata:
قَالَ النَّبِيُّ : إِذَا تَوَضَأْتَ فَحَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ
Nabi saw. berkata: "Apabila kamu berwudhu, gosoklah jari-jari tangan dan jari- jari kakimu." (HR. Ahmad, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1:94)197) Al-Mustaurid ibn Syaddad ra. berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ إِذَا تَوَضَّأَ حَلَّلَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصِرِهِ
"Saya lihat Rasulullah saw. berwudhu, menggosok jari kakinya dengan jari manisnya." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1:95)198) Abu Rafi' ra. menerangkan:
ان رسول الله ﷺ كَانَ إِذَا تَرَضَأَ حَرَّكَ خَاتَمَهُ
Bahwasanya Rasulullah saw. apabila berwudhu, memutar-mutarkan cincinnya." (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthny; Al-Muntaqa 1: 94)SYARAH HADITS
Hadits (195), selain Ad-Daulabi juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzy, An-Nasa'y, dan Ibnu Majah. At-Turmudzy, Ibnu Khuzaimah, Al- Baghawy dan Ibnu Qaththan menyatakan shahih. Asbabul wurud-nya adalah pada suatu hari Laqith ibn Shabirah bertanya kepada Nabi tentang cara wudhu. Pertanyaan itu dijawab Nabi saw. dengan hadits tersebut.Hadits ini menyatakan, bahwa menyempurnakan pembasuhan segala angg- ota wudhu dan menggosok ruang-ruang jari, serta menyempurnakan madhmadhah dan istinya, adalah wajib tekecuali kalau sedang berpuasa.
Hadits (196) Ar-Turmudzy menyatakan hasan ghaib Hadits ini menyatakan bahwa Rasul saw. menggosok ruang-ruang jari tangan dan kaki. Hadits (197) Ar-Turmudzy menyatakan ganh. Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi menggosok-gosok ruang jari kakinya dengan jari manisnya.
Hadits (198) sanad-nya dha'if. Hadits ini menyatakan bahwa Nabi saw. memutar-mutarkan cincin ketika berwudhu. An-Nawawy mengatakan: "Me-mubalaghah-kan (menyangatkan) madhmadhah dari istinsyaq adalah sunnat, tidak ada perselisihan dalam hal ini." Dimaksudkan dengan "mubalaghah madhmadhah", menyampaikan air ke pangkal kerongkongan dan berkumur di dalam mulut.
Dimaksudkan dengan "mubalaghah istinsyaq", menghirup air sampai ke batang hidung serta memasukkan anak jari untuk mencungkil kotoran yang ada di dalam hidung. Namun hal ini dikecualikan untuk orang-orang yang tidak berpuasa saja. Al-Mawardi mengatakan: "Orang-orang yang berpuasa boleh me-mubalaghah- kan madhmadhah tetapi jangan me-mubalaghah-kan istinsyaq. Karena hadits hanya mengecualikan istinsyaq saja"
Ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa tidak boleh menghirup air seperti menghirup obat sampai terasa ke kepala.
Pengarang Asy-Syarhul Kabir: "Disukai mubalaghah dan menggosok anggota- anggota wudhu, sebagaimana disukai melewati sedikit dari batas yang di-fardhu-kan."
Ibnu Sayyidun Nas mengatakan: "Sahabat-sahabat kami (ulama Syafi'iyah) menyunnatkan (menggosok-gosok anak-anak jari). Sebenarnya kesunnatan ini adalah ketika tanpa takhlil air telah sampai. Apabila air tidak sampai dengan tidak bertakhlil, wajiblah takhlil itu untuk memenuhi keharusan rata basuhan."
Asy-Syaukany mengatakan: "Menggosok sela-sela jari-jari wajib hukumnya."
Al-Ghazaly mengatakan: "Hendaklah jari yang dipakai untuk menggosok-gosok sela-sela jari kaki, kelingking tangan kiri."
Al-Mawardi mengatakan yang mengecualikan istinsyaq terhadap orang-orang yang berpuasa, berdasarkan kepada lafazh hadits yang melarang mubalaghah istinsyaq bagi orang-orang yang berpuasa. Sudah nyata di atas menurut Ad-Daulabi, madhmadhah dan istinsyaq itu, kedua-duanya dikecualikan. Berdasar kepada wajib menerima ziyadah (tambahan penjelasan) orang kepercayaan, hendaklah kedua-duanya itu dikecualikan kepada orang-orang yang berpuasa.
Kemudian mengingat zhahir hadits ini mewajibkan kita menggosok-gosokkan sela-sela jari, maka walaupun ada ulama-ulama yang menyunnatkan saja, janganlah hal itu dipermudah-mudahkan. Tegasnya, mubalaghah madhmadhah dan istinsyaq, menggosok-gosok sela-sela jari, menyempurnakan basuhan di segala anggota-anggota wudhu adalah hal yang disyariatkan.
Menyunnarkan menggosok-gosok sela-sela jari kaki dengan kelingking tangan kiri, tidak diperoleh dalilnya."
MEMBASUH MUKA, MENGGOSOK JANGGUT, MEMBASUH KEDUA UJUNG MATA, UJUNG JANGGUT DAN MENYAMPAIKAN AIR KE KULIT DAGU199) Abdurrahman ibn Abi Laila berkata:
رَأَيْتُ عَلِياًّ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثًا وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ: هَكَنَا وُضُوءُ رَسُولِ الله
"Saya melihat 'Ali berwudhu. Saya lihat beliau membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangan hingga siku tiga kali dan menyapu kepalanya sekali saja. Kemudian beliau berkata: Beginilah wudhu Rasul saw." (HR. Abu Dawud; Al-Muharrar: 10)200) Utsman ibn 'Affan ra. menerangkan:
اِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
"Rasulullah saw. menyilat-nyilati janggutnya." (HR. At-Turmudzy dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 92)201) Sumaih ra. berkata:
وَصَفَ أَبُو أُمَامَةَ وُضُوءَ رَسُول الله ﷺ ثَلاثا ثلاثا، قَالَ: وَكَانَ يَتَعَاهَدُ الْمَأْقَين
"Abu Umamah menggambarkan wudhu Rasulullah saw., beliau menerangkan, bahwasanya Nabi saw. membasuh anggota-anggota wudhunya tiga kali-tiga kali dan saya lihat beliau membasuh ujung matanya dengan ke sebelah hidung." (HR. Ahmad, Ath Thabrany; Al-Muntaqa 1:93)202) Amr ibn Abasah berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِثْنِي عَنِ الْوُضُوءِ! قَالَ: مَامِنكُمْ مِنْ رَجُلٍ يُقَرِّبُ يُقربُ وُضُوءَهُ فَيَتَمَضْمَضَ وَيَسْتَنْشِقَ فَيَسْتَنْثِرُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا فِيهِ وَخَيَاشِيمِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ إِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنامِلهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِرَأْسِهِ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنامِلَهِ مَعَ الْمَاءِ
Saya bertanya: "Ya Rasulullah. Terangkanlah kepadaku cara berwudhu." Rasul saw. menjawab petanyaan itu begini: "Setiap orang yang mengambil wudhu lalu berkumur-kumur (madhmadhah) dan ber-istinsyaq dan menghembuskan air ke hidungnya, gugurlah dosa mulut dan hidungnya beserta gugurnya air. Kemudian apabila ia membasuh mukanya sebagaimana yang diperintahkan Tuhan, gugur pula dosa-dosa mukanya melalui tepi atau ujung janggut beserta air. Kemudian apabila ia menyapu kepalanya, gugurlah dosanya dari ujung rambutnya beserta air. Kemudian apabila ia membasuh kedua kakinya, gugur lagi dosa-dosa kakinya melalui ujung-ujung anak kaki berserta aimya." (HR. Muslim; Al-Muntaqa 1: 90-91)SYARAH HADITS
Hadits (200) menyatakan bahwa Nabi menggosok-gosok janggutnya. Hadits ini diperselisihkan para ulama. At-Turmudzy dan Ibnu Khuzaimah menyatakan shahih. Al-Bukhary menyatakan hasan. Yahya ibn Main menyatakan dha'if. Ahmad menyatakan tidak ada sesuatu hadits tentang menggosok-gosok janggut yang shahih ataupun hasan. Abu Hatim dan Ibnu Hazm demikian juga pendapatnya. Al- Muhaggiq Ibnul Qayyim menyatakan bahwa hadits-hadits tentang menggosok- gosok janggut, shahih.
Hadits (201) diriwayatkan oleh Ahmad dan diriwayatkan oleh At- Thabrany melalui jalan perawi Sumaih yang menerima dari Abu Umamah. Al-Haitamy dalam Majmau'z Zawaid menyatakan, isnad-nya hasan. Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi membasuh ujung matanya yang ke sebelah hidung.
Hadits (202) menyatakan bahwa membasuh ujung-ujung janggut disukai. Tentang hukum membasuh muka tidak ada perselisihan. Seluruh fuqaha memandang ber-istinsyaq, membasuh muka adalah fardhu wudhu walaupun mereka berselisih paham, ujung-ujung janggut dan bagian dalam janggut (dagu). Ulama mengatakan: "Batas muka ialah dari tempat tumbuh rambut kepala hingga bawah dagu dari telinga kiri. Karena itu, termasuk dalam batasan muka, kumis, bulu-bulu kening, bulu-bulu di bawah bibir, dan tahi hidung."
Sebagian ulama mengatakan: "Menyela-nyelai janggut tidak wajib." Sebagian yang lain mengatakan: "Apabila janggut itu tipis, wajib kita mem- basuh sebelah dalamnya jika tebal tidak wajib, hanya disukai menyela-nyelai saja."
Abu Tsaur dan ulama-ulama Zhahiriyah, mewajibkan kita menyela-nyelai janggut. Malik dan segolongan ulama-ulama Madinah berpendapat bahwa menyelai- nyelai janggut, pada wudhu tidak wajib, dan juga tidak wajib pada mandi janabah. Abu Hanifah, Asy-Syafi'y dan Ahmad, serta segolongan ulama-ulama yang lain menetapkan bahwa menyelai-menyelai janggut tidak wajib pada wudhu, tetapi wajib pada mandi janabah.
Abu Darimy mengatakan: "Wajib membasuh tepi bibir yang kelihatan." Ulama Syafi'iyah: "Disukai kita membasuh ujung mata dengan ujung telunjuk." Tentang memasukkan air ke dalam mata, diperselisihkan. Ada yang menyata- kan sunnat, ada yang tidak. Tentang membasuh ujung-ujung janggut demikian, juga
Ahmad mengatakan: "Membasuh ujung-ujung janggut, wajib." Pengarang Al-Muntaga mengatakan: "Hadits Amr ibn Abasah di atas me- nunjukkan, bahwa membasuh muka sebagian yang diperintahkan itu harus dengan cara menyampaikan air ke ujung-ujung janggut." Abu Hanifah dan Asy-Syafi'y di salah satu riwayat berpendapat, bahwa membasuh ujung-ujung janggut yang melampaui batasan muka, tidak wajib
Batasan muka, adalah dari kuping telinga kanan ke kuping telinga kiri, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Azra'y
Menyelai janggut, tidak wajib, walaupun kita pandang hadits-hadits yang menerangkannya shahih. Karena menurut kaidah suatu yang biasa dikerjakan Nabi ini dapat dipandang wajib untuk dikerjakan, kalau tidak disertai oleh perintah. Namun demikian diutamakan untuk mengerjakannya. Sedemikian juga membasuh ujung-ujung janggut, dan menyampaikan air ke bagian dalam janggut, adalah tidak wajib. Hal ini dipahamkan dari hadits Nabi, bahwa menggunakan air secedok itu tidak dapat mencukupi untuk menyampaikan air ke bagian dalam janggut.
Membasuh leher yang biasa juga dilakukan oleh sebagian orang, bid'ah hukumnya. Tidak ada suatu hadits pun yang dapat dipegangi untuk menyunnatkan kita membasuh leher.
203) Nu'aim ibn Abdullah Al-Mujamir ra. menerangkan:
توضأ بو هريرةَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَاسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اليمنى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اليُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي العَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأَسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اليُمْنَى حَتَّ اشرع فِي السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اليُسْرَى حَتَّى أشرع في السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ توضأَ وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : أَنْتُمُ الغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ إِسْباغِ الْوُضُوءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنكُمْ فَليُطِلْ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيلَهُ.
SYARAH HADITS
Hadits (203) menyatakan bahwa selain disuruh membasuh tangan hingga siku sebagai fardhu wudhu, disuruh juga melebihkan basuhan muka, tangan dan kaki barang sedikit dari kadar yang telah difardukan. Tidak ada perselisihan antara para fuqada tentang melebihkan basuhan, mereka hanya perselisihkan tentang kadar melebihkannya.Ada yang mengatakan bahwa kadar yang melebihkan itu, tidak dibatasi. Ada yang mengatakan hingga separuh lengan dan separuh betis. Dan ada yang mengatakan hingga bahu dan lutut. Sebagian ulama salaf dan khalaf menyukai basuhan itu hingga ketiak. Dalam pada itu Ibnu Baththal mengatakan, bahwa melebihkan basuhan itu tidak disukai
Mengenai kadar tangan yang wajib dibasuh, ada yang mengatakan, hingga melewati siku, yakni kedua siku termasuk bagian yang dibasuh. Ada pula yang mengatakan bahwa siku tidak dibasuh. Ibnu Hazm menguatkan paham kedua.
An-Nawawy mengatakan, "Mazhab kami (Syafi'iyah) memasukkan siku ke bagian yang dibasuh. Tetapi Abu Bakar dan Dawud tidak memasukkannya." An- Nawawy mengatakan pula: "Apabila seseorang ditakdirkan tidak mempunyai tangan [tidak sempurna Ed.] maka disukai ia membasuh tangannya yang ada."
Apabila kita memperhatikan lebih lanjut hadits-hadits ini, kita mendapat kesan, bahwa siku itu termasuk ke dalam bagian tangan yang dibasuh. Jika pe- ngertian dari ayat" "dan basuhlah kedua tanganmu hingga siku", kurang jelas, yang bisa memberi paham siku tidak termasuk ke dalam yang dibasuh, maka hadits ini menjelaskan pengertian itu, yaitu siku masuk ke dalam bagian yang dibasuh dari tangan. Tegasnya membasuh tangan dari ujung-ujung jari hingga melewati siku sedikit."
BERKUMUR-KUMUR, MENGHIRUP AIR KE HIDUNG SESUDAH MEMBASUH KEDUA TANGAN204) Miqdad ibn Ma'dikariba ra. berkata:
أُوْتِي رَسُولُ اللهِ ﷺ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَانَا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثلاثا ثلاثا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا
"Telah dibawa kepada Nabi air wudhunya. Beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangan tiga kali, membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya tiga kali. Sesudah itu, saya melihat beliau berkumur-kumur (madhmadhah) dan menghirup air ke hidung (istinsyaq) tiga kali, sesudah itu beliau menyapu kepalanya dan telinganya luar dalam, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 87 dan 88)205) 'Abbas ibn Yazid berkata:
أَتيتُ الرُّبِيعَ بِنتَ مُعَوِّذٍ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ إِنَاءً فَقَالَ: فِي هَذَا كُنْتُ أُخْرِجُ الْوُضُوءَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيْبْدَءُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا الآنَاءَ ثَلَاثًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ يُمَضْمِضُ وَيَسْتَنْشِقُ ثَلَاثًا ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِرَأْسِهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا ثُمَّ يَغْسِلُ رِجْلَيْهِ
SYARAH HADITS
Hadits (204), diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud. Namun perkataan: "dan kemudian beliau membasuh kedua kakinya, tiga kali" adalah menurut riwayat Ahmad saja. Juga hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Thahawy dalam Ma'anil Atsar dari Al-Walid. Isnad-nya, baik. Al-Jauzakani menyatakan, isnad hadits ini baik, boleh dipakai. Adh-Dhiya' meriwayatkan pula hadits ini dalam Al-Mukhtarah.
Juga menyatakan bahwa ketentuan tertib antara ber-madhmadhah dan beristinsyaq dengan membasuh muka dan kedua tangan, hukumnya tidak wajib. Untuk itu ber-madhmadhah dapat juga dilakukan sesudah membasuh kedua tangan.
Hadits (205) yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny, menurut Al-Hafizh dalam At-Talkhish juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Turmudzy, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits ini isnad-nya banyak dan beragam matan lafazhnya. Juga me nyatakan perlu tertib antara madhmadhah dan istinsyaq dengan membasuh muka.
An-Nawawy mengatakan: "Para ulama mentakwilkan hadits ini. Mereka berpendapat bahwa perkataan "kemudian", dalam hadits ini bukan untuk mewujudkan tertib (urutan). Tegasnya, diletakkannya perkataan: kemudian ber-madhmadhah dan beristinsyaq sesudah membasuh muka, tidaklah dipahamkan bahwa perbuatan itu harus dilakukan sesudah membasuh muka." Demikian kata ulama yang mewajibkan berurutan (tertib) madhmadhah dan istinsyaq dengan membasuh mukaز
Penta'liq Ihkam AlAhkam mengatakan: "Memberlakukan ketentuan tertib antara muka, dua tangan hingga siku, kepala dan kaki, hukumnya wajib. Sedangkan memberlakukan tertib antara empat anggota itu dengan yang lainnya, tidak wajib."
Hadits ini pada zhahir-nya membolehkan kita ber-madhmadhah dan ber-istin- syaq, sesudah membasuh muka. Menurut hemat kami, hal ini dilakukan sekiranya terlupa kita berkumur-kumur sebelum membasuh muka. Apabila tidak lupa, hendaklah ber-madhmadhah dan ber-istinsyaq, itu dilakukan beserta membasuh muka, baik sebelum membasuh muka ataupun sesudahnya.
Telah tegas paham, bahwa ber-madhmadhah dan ber-istinsyaq masuk ke dalam kewajiban membasuh muka, jadi hukumya wajib.
MENYAPU KEPALA, CARA MENYAPU SEBANYAK YANG KELIHATAN DARI MENYEMPURNAKAN SAPUAN ATAS PENUTUP KEPALA206) Ibnu Abbas ra menerangkan:
ًرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ فَرَأَيْتُهُ يَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ مَسْحَة واحدةً
"Saya melihat Rasulullah saw. berwudhu dengan menyapu kepalanya dan kedua telinganya sekali saja." (HR. Ahmad, Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 97)207) Abu Hayyah ra, berkata:
رأيت عَلِيًّا ، تَوَضأَ فَعَسَلَ كَفَّيه حتى أَنْقَاهُمَا ثُمَّ مَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَشَقَ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَذِرَعَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعَبَيْنِ ثُمَّ قَالَ: أَحْبَبْتُ أَنْ أرِيَكُمْ كَيْفَ كَانَ طُهُورُ رَسُولِ اللَّهِ
"Saya melihat 'Ali berwudhu, dengan cara membasuh kedua telapak tangannya hingga bersih, kemudian ber-madhmadhah tiga kali, ber-istinsyaq tiga kali, membasuh muka tiga kali, dan lengan tiga kali. Kemudian menyapu kepala sekali. Kemudian membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Sesudah itu beliau berkata: "Saya ingin memperlihatkan kepada kamu, begitulah wudhu Rasulullah saw." (HR. At-Turmudzy; Al-Muntaga 1: 97)208) Abdullah ibn Zaid ra. menerangkan:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ مَسَحَ رَأْسِهِ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّ هُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
"Bahwasanya Rasulullah saw. menyapu kepalanya dengan kedua tangannya dari muka ke belakang (dari ubun-ubun sampai ke kuduk). Kemudian mengembalikan kedua tangannya dari kuduk ke tempat semula." (HR. Al-Jama'ah; Al-Muntaqa 1:95)209) Al-Mughirah ibn Syu'bah ra. menerangkan:
إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ.
"Bahwasanya Nabi saw. berwudhu, beliau menyapu ubun-ubunnya dan lalu menyapu sorbannya, juga beliau menyapu dua sepatu." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al- Muntaqa 1: 101)210) Amar ibn Umayyah Ad-Dhamri ra. berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهﷺ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَحُفَّيه
"Saya melihat Rasulullah saw. menyapu sorbannya dan dua sepatunya." (HR. Ahmad, Al-Bukhary dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 100)211) Al-Mughirah ibn Syu'bah ra. berkata:
SYARAH HADITS
Hadits (206) dan hadits (207), dinyatakan At-Turmudzy, hasan shahih. Kedua hadits ini menunjukkan, bahwa menyapu kepala wajib satu kali saja, bukan dua atau tiga kali.Hadits (208) menyatakan bahwa menyapu kepala, disuruh, dan menyatakan cara menyapunya, yaitu meletakkan kedua belah-belah tangan di permulaan kepala sebelah muka, lalu membawanya ke kuduk, lalu dari kuduk dikembalikan ke muka.
Hadits (209) menyatakan bahwa kepala yang disapu di tempat yang tidak tertutupi oleh penutup kepala, kemudian disempurnakan sapuan itu atas penutup kepala.Hadits (210) dan hadits (211), hadits ini shahih menurut pentahqiqan At-Turmudzy. Kedua hadits tersebut menyatakan, bahwa kita boleh menyapu sepatu dan penutup kepala saja, tidak usah kena kaki atau rambut kepala barang sedikit juga.
Abu Hanifah, Malik, Ahmad berpendapat, bahwa menyapu kepala sekali saja. Asy-Syafi'y meng-qijas-kan bilangan menyapu kepala, kepada membasuh anggota- angota yang lain.
Dalam Fathul Bari disebutkan, bahwa tidak ada suatu jalan pun yang terdapat dalam Shahih Bukhary dan Shahih Muslim yang menerangkan bilangan menyapu kepala. Dalam pada itu Ibnu Hajar menetapkan, bahwa mengulang-ulangi sapuan kepala disukai. Abu Dawud dalam Sunan-nya menyatakan: "Hadits Utsman yang shahih menyatakan, bahwa menyapu kepala sekali saja."
Abu Ubaid AlQasim ibn Salam berkata: "Tidak ada seseorang pun dari ulama salaf yang menyunnatkan kita menyapu kepala lebih dari sekali, selain dari Ibrahim At-Taimi."
Dalam As-Sunan wal Mubtada'at disebutkan menyapu kepala lebih dari sekali, menyalahi sunnah. Tentang disuruh menyapu kepala tidak ada perselisihan ulama.
An-Nawawy mengatakan: "Semua ulama menyukai kita menyapu seluruh kepala. Mereka hanya berselisihan tentang kadar yang diwajibkan."
Malik, Al-Muzani, Al-Jubbani dan menurut satu riwayat dari Ahmad dan Ibnu Ulaiyah, bahwa menyapu seluruh kepala difardukan. Asy-Syafi'y berpendapat bahwa menyapu kepala, cukup sebagian saja, dengan tidak memberi batasan kepala bagian yang mana dan beliau hanya mencukupkan dengan satu anak jari.
Abu Hanifah mewajibkan kita menyapu seperempat bagian kepala. Ulama Zhahiriyah, ada yang mewajibkan kita menyapu seluruh kepala, ada yang mencukupkan kita meyapu sebagiannya.
Dalam Tahdzibus Sunan dan Zadul Ma'ad disebutkan bahwa tidak ada hadits yang shahih yang menyatakan, bahwa Nabi pernah mencukupkan sapuan atas se- bagian kepalanya saja. Hanya apabila beliau menyapu ubun-ubunnya, beliau me nyempurnakan sapuan itu atas sorbannya. Ada hadits shahih dari Nabi yang me- ngatakan, bahwa beliau menyapu seluruh kepala, menyapu sebagian kepala dan menyempurnakan sapuan atas penutup kepalanya serta menyapu seluruh kepalanya. Tidak ada hadits yang shahih yang menyatakan bahwa menyapu sebagian kepala saja telah mencukupi.
Dalam Tahdzibus Sunan telah disebutkan lagi. Ibnu Mundzir mengatakan: "Boleh kita menyapu bagian atas sorban saja, karena ada keterangan, yang shahih bahwa Nabi berbuat demikian." Demikianlah pendapat Al-Jujazany, Al-Auza'y Ahmad Umamah, Anas ibn Malik, Al-Mughirah ibn Syu'bah dan Abu Musa Demikian pula yang dikerjakan Abu Bakar dan 'Umar.
Umar pernah berkata: "Barangsiapa tidak merasa cukup bersuci atas sorbannya saja, itulah orang-orang yang tidak disucikan Allah." Asy-Syafi'y mengatakan: "Kepala harus disapu walau hanya sedikit."
Tetapi jika hadits ini (hadits yang mencukupkan sapuan atas sorban) shahih saya pun berpendapat boleh. Abu Hanifah dan Malik berpendapat, tidak boleh sekali-kali menyapu atas sorban saja, kepala disapu barang sedikit, sesudah itu di- sempumakan atas sorban. Menurut sunnah, hendaklah kita menyapu seluruh kepala, jika kepala terbuka, kemudian menyempumakan sapuan atas penutup kepala.
Dan dipandang sunnah juga, mencukupkan dengan menyapu atas penutup kepala. Seluruh hadits yang shahih menetapkan bahwa bilangan menyapu kepala, sekali saja. Dalam pada itu, pengikut-pengikut Asy-Syafi'y yaitu, untuk menguat- kan paham Asy-Syafi'y, memandang shahih juga hadits yang melebihkan sapuan kepala lebih dari satu kali. Qiyas Asy-Syafi'y, tertolak; qiyas di tempat yang telah ada nash, tidak dibenarkan.
Hadits tentang menyapu atas sorban hanya diriwayatkan oleh Ahmad, Al- Bukhary, Muslim, An-Nasa'y, At-Turmudzy, Ibnu Majah dan sebagian besar ahli- ahli hadits. Keraguan Asy-Syafi'y tentang hadits ini, tidak mengurangi derajat hadits karena menurut penelitian ahli-ahli yang terkenal, yakni Al-Bukhary dan Muslim, hadits itu telah nyata shahih.
Karena itu, paham yang harus kita terapkan, ialah paham Ahmad ibn Hanbal, yakni menyapu seluruh kepala, jika terbuka, atau menyapu bagian yang terbuka saja atau menyempurnakan sapuan atas penutupnya atau menyapu atas semua penutupnya saja. Para ulama berselisihan paham dalam mensyaratkan sapuan atas sorban (penutup kepala) itu ketika memakainya dalam keadaan suci.
Ringkasnya, Nabi saw. kadang-kadang menyapu seluruh kepalanya; kadang- kadang menyapu sorbannya saja, dan kadang-kadang menyapu ubun-ubun dan sorbannya. Tidak pernah Nabi mencukupkan dengan menyapu sebagian kepala saja. Tidak ada hadits yang mensyaratkan sapuan kepala itu dengan memakai sorban disapu dalam keadaan suci."
Referensi berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Julud 1 Dalam Bab Hukum-hukum tentang Wudhu