Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HADITS BERHEMAT MEMAKAI AIR WUDHU'

MENGERINGKAN AIR DARI BADAN DENGAN HANDUK SESUDAH BERWUDHU ATAU MANDI
MENGERINGKAN AIR DARI BADAN DENGAN HANDUK SESUDAH BERWUDHU ATAU MANDI

226) Qais ibn Sa'ad ra. menerangkan:

زَارَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي مَنْزِلِنَا فَامَرَلَهُ سَعْدٌ بِغُسْلٍ فَوُضِعَ لَهُ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ نَاوَلَهُ مِلْحَفَةً مَصْبُوغَةً بزَعْفَرَانَ أَوْوَرْسٍ فَاشْتَمَلَ بِهَا

"Pada suatu hari Rasulullah saw. berkunjung ke rumah kami. Maka Sa'ad (ayah Qais) menyuruh saya membawa air mandi untuk Rasul. Sesudah air disediakan, Rasul pun mandi. Sesudah beliau mandi, Sa'ad memberikan padanya kain selimut yang dicelup dengan kumkuma (rendaman bunga) dan semacam kunyit (untuk beliau mengelap badannya)." (HR. Ahmad dari Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 106)

SYARAH HADITS

Hadits (226), kaum Muhajirin memperselisihkan hadits ini. Ada yang mengatakan hadits ini maushul, boleh dijadikan hujjah. Ada yang mengatakan mursal, tidak boleh dijadikan hujjah. Perawi-perawi yang terdapat dalam sanad Abu Dawud, shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa mengeringkan air di badan dengan kain handuk sesudah berwudhu dan mandi, dibolehkan.

Al-Hasan ibn 'Ali, Anas, Utsman (di antara sahabat) dan Ats-Tsaury, Malik dan Ahmad (di antara para Mujtahidin), membolehkan kita mengeringkan air di badan dengan kain handuk sesudah mandi janabah atau sesudah berwudhu. Paham inilah yang dipegang oleh Al-Baghawy, Imam Haramain dan Ar-Rafi'y dari ulama-ulama Syafi'iyah. Ibnu Abi Laila, Imam Yahya dan ulama-ulama Hadawiyah, memakruhkan yang demikian. Pendapat Asy-Syafi'y dalam masalah ini, tidak ada riwayatnya. 

Sepanjang pemeriksaan yang telah kami lakukan, mengeringkan badan sesudah wudhu atau mandi janabah, tidaklah di-makruh-kan. Hadits yang dipegang oleh segolongan yang me-makruh-kannya, dha'if semua. Perlu juga ditegaskan, bahwa me-makruh-kan mengeringkan badan menurut segolongan yang me makruh-kannya, adalah ketika tidak perlu dikeringkan. Ketika perlu, karena dingin, umpamanya, tidak di-makruh-kan."

BERHEMAT MEMAKAI AIR UNTUK BERWUDHU

227) Abdullah ibn Amr ra, menerangkan:

 اَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ مَرَّبِسَعْدٍ وَهُوَ يَوَضَّأُ فَقَالَ: لأَتُسْرِفُ! فَقَالَ: يَارَسُولَ اللَّهِ أَوَفِي المَاءِ إِسْرَافُ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ كُنتَ عَلَى نَهْرٍ.

"Rasulullah saw. lewat ketika Sa'ad sedang mengambil air shalat (wudhu) maka Rasulullah saw, berkata kapadanya: "Janganlah kamu berlaku boros dalam mempergunakan air." Karena itu Sa'ad berkata: "Ya Rasulullah, apakah dalam mernakai air ada juga keborosan?" Rasulullah menjawab: "Ya, walaupun kamu di dalam sungai." (HR. Ahmad; Miftahul Khaththabah: 33; Al-Fathul Rabany 2: 3)

228) Abdullah ibn Mughaffal ra, berkata:

قَالَ النَّبِيُّ: لِلْوَضُوْءِ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ الوَلَهَانُ، فَاتَّقُوْا وِسْوَاسَ المَاءَ

"Rasulullah saw bersabda: "Ada setan yang bernama Walahan untuk mengganggu orang yang mengambil air wudhu, karena itu berhati-hatilah dari was-was air." (HR. At-Turmudzy; Miftahul Khaththabah: 33; Sunan At-Turmuzdy 1:84) 

229) Abdullah ibn Mughaffal ra. menerangkan

قالَ رَسُولُ اللَّهِ : إِنَّهُ سَيَكُونُ في هذه الأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ في الطُّهُوْر وَالدُّعاَء

"Saya dengar Rasulullah saw. bersabda: "Akan ada dalam umat ini segolongan orang yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa." (HR. Abu Dawud; Sunan Abu Dawud 1; 70)

230) Anas ibn Malik ra. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَاد

"Rasulullah saw. berwudhu dengan air satu mud, dan mandi dengan air segantang hingga lima mud." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Bulughul Maram: 13)

SYARAH HADITS

Hadits (227), hadits (228), hadits (229), hadits (230) menyatakan bahwa kita tidak boleh berlebihan dalam memakai air untuk wudhu dan mandi, dan bahwa kita tidak boleh membaca doa dan berdzikir dengan suara keras.

Tidak ada perselisihan para ulama dalam masalah ini. Al-Bukhary mengatakan: "Para ulama me-makruh-kan kita memakai air lebih daripada yang dipakai Nabi saw." 

Apabila diperhatikan kadar air yang dipakai Nabi untuk berwudhu, maka sekurang- kurangnya dua pertiga (2/3) mud, dan terkadang lebih sedikit dari satu (1) mud. 

Kesan yang diperoleh dari hadits ini ialah keharusan berlaku hemat dan cermat, khususnya dalam memakai air untuk wudhu. Tegasnya, Nabi menghendaki supaya umatnya bersikap hemat dalam segala urusan.

MEMINTA TOLONG DALAM BERWUDHU

231) Urwah ibn Mughirah berkata:

كَان المُغِيْرَةُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ في سَفَرٍ وأَنَّهُ ذَهَبَ لِحَاجَةٍ لَهُ وَأنَّ المُغِيْرَةَ جَعَلَ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَيْهِ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَغَسلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَمَسَحَ عَلَى الخُفَّيْنِ 

"Al-Mughirah dalam suatu perjalanan menyertai Rasul, maka pada suatu ketika, Rasul pergi buang air. Sesudah itu Al-Mughirah menuangkan air untuk Rasulullah saw. berwudhu. Maka Rasulullah saw. membasuh mukanya, dua tangannya, dan menyapu kepalanya dan dua sepatunya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al- Muntaqa 1: 106)

SYARAH HADITS

41762 Hadits (231) menyatakan bahwa kita dibolehkan meminta pertolongan untuk menuangkan air ke atas anggota wudhu dan kita sendirilah yang menggosok anggota wudhu kita itu.

Ada ulama yang me-makruh-kan menyuruh orang menolong kita menuangkan air dalam berwudhu dan ada pula yang tidak me-makruh-kan. Para fuqaha berselisih paham juga tentang menyuruh orang mewudhukan kita. Ada yang membolehkan, ada yang tidak.

Tentang kebolehan kita menyuruh orang lain menuangkan air, nyata dan terang ditunjukkan hadits ini. Ulama-ulama Syafi'iyah membolehkan berwudhu yang airnya dituangkan oleh orang lain. Tentang menyuruh orang lain mewudhukan kita, ulama-ulama Syafi'iyah membolehkan. 

Menurut penelitian kami, pendapat Dawud dalam soal ini (tidak mensahkan, kecuali terpaksa) itulah yang terkuat walaupun An-Nawawy menolaknya. Para ulama yang mensahkannya perlu menunjukkan dalilnya. Dalam pada itu, ijma menegaskan, bahwa orang yang jatuh ke dalam air, atau berdiri di bawah pancuran air, lalu beniat berwudhu atau mandi, sah wudhunya dan mandinya.

MENYAPU SEPATU YANG MENUTUPI MATA KAKI SEBAGAI GANTI MEMBASUH KAKI

232) Hamman berkata:

بَالَ حَرِيرٌ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، فَقِيْلَ لَهُ: تَفْعَلُ هَكَذَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ بَالَ ثُمَّ تَوَضَأَ وَمَسَحَ عَلَى حُفَّيْهِ

"Pada suatu hari Jarir kencing, sesudah itu berwudhu. Maka beliau menyapu kedua sepatunya. Karena itu seorang yang menyaksikan berkata: "Anda mengerja- kan begini?" Jarir menjawab: "Ya, saya lihat Rasulullah saw. kencing, kemudian berwudhu dan menyapu bagian atas sepatu yang menutupi kedua mata kakinya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaga 1: 106)

SYARAH HADITS

Hadits (232) ini dibenarkan oleh semua ahli hadits, karena Jarir masuk Islam sesudah turunnya Surat Al-Maidah yang menerangkan kaifiyat (cara) wudhu dan tayamum. Hadits ini menyatakan, bahwa kita boleh menyapu bagian atas sepatu saja, sebagai ganti membasuh kaki, apabila kaki tertutup.

Ibnu Mundzir mengatakan: "Berkatalah Ibnul Mubarak, tentang hal menyapu sepatu, tidak ada perselisihan antara para sahabat."

Ibnu Mundzir berkata pula: "Para ulama berselisih tentang manakah yang utama sepatu dibuka untuk membasuh kaki, atau disapu saja, tanpa dilepaskan. Saya berpendapat bahwa tidak ada seorang pun dari fuqaha salaf yang mengingkari hal ini selain dari Malik. Hadits-hadits shahih yang menetapkan kebolehan me- nyapu bagian atas sepatu cukup banyak."

An-Nawawy dalam Syarah Muslim mengatakan: "Para mujtahidin bersepakat tentang kebolehan menyapu sepatu sebelah atas, baik sewaktu dalam perjalanan maupun sewaktu tidak berpergian, baik karena ada keperluan, maupun tidak. Malahan boleh juga bagi kaum perempuan yang senantiasa berada di dalam rumahnya. Telah diriwayatkan dari tujuh puluh sahabat, bahwa mereka semuanya, menyapu bagian atas sepatu. Karena itu, pendapat Syiah dan kaum Khawarij yang tidak membolehkan kita menyapu bagian atas sepatu, tertolak; karena banyak sekali hadits yang menetapkan kebolehannya."

Mengenai kebolehan menyapu bagian atas sepatu, sebagai ganti membasuh kaki, merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan Nabi. Karena itu, saya merasa heran melihat sebagian umat yang merasa tidak cukup wudhunya kalau hanya menyapu bagian atas sepatu saja. Dimaksudkan dengan sepatu dalam hadits ini dan hadits Al-Mughirah di atas ialah sepatu yang menutup mata kaki, yang di dalam bahasa Arab dinamakan khuff." Sepatu yang tidak menutupi mata kaki, dinamai na'al.

Cara membersihkan najis yang lengket pada sepatu, sewaktu dipakai berjalan, telah diterangkan dalam bab membersihkan najasah.

MENYAPU KAOS KAKI DAN SEPATU YANG TIDAK SAMPAI MENUTUPI MATA KAKI

233) Bilal ra, berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَمْسَحُ عَلَى الْمُوْقَيْنِ وَالخِمَار

"Saya melihat Rasulullah saw. menyapu bagian atas dua muq-nya dan khimar-nya." (HR. Ahmad, Ath Thabrany; Al-Muntaqa 1: 108)

234) Al-Mughirah ibn Syu'bah ra. menerangkan

اِنَّ رَسُولَ اللهِ تَوْضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الجَوْرَبَيْنِ والنَّعْلَيْنِ

"Bahwasanya Rasulullah saw. berwudhu dengan cara menyapu kedua sarung kakinya dan bagian atas sepatunya yang tidak menutupi mata kaki." (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzy dan Ibnu Majah; Al-Muntaga 1: 109)

SYARAH HADITS

Hadits (233) Ibnu Khuzaimah menyatakan hadits ini shahih. Hadits (234) At-Turmudzy menyatakan hadits ini shahih. Hadits tersebut menyatakan, bahwa: menyapu sepatu yang tidak menutupi mata kaki dan sarung kaki (kaos kaki) serta bagian atas sorban (kopiah) diperbolehkan.

Abu Dawud mengatakan: "Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Al-Bara' ibn Azib, Anas ibn Malik, Abu Umamah, Sahal ibn Sa'ad, Amr ibn Huraits, 'Umar ibnul Khaththab dan Ibnu Abbas, semuanya menyapu bagian atas sarung kaki.

Sebagian ulama mengatakan, "Tidak boleh kita menyapu bagian atas sarung-sarung kaki terkecuali jika sarung kaki itu tebal."

Asy-Syafi'y mengatakan: "Kita boleh menyapu bagian atas sarung kaki kalau menyerupai sepatu (dapat dibawa berjalan jauh)." Demikianlah menurut pengikut Asy-Syafi'y.

At-Turmudzy mengatakan: "Asy-Syafi'y membolehkan kita menyapu bagian atas kaos kaki, kalau dia tebal, walaupun tidak memakai sepatu."

Sebagian ulama mengatakan: "Kita boleh menyapu bagian atas sarung- sarung kaki, walaupun tipis, dan tidak dipakai mengganti sepatu." Demikianlah pendapat Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih, Abdullah ibn Mubarak, Sufyan, Atha', Al- Hasan Al-Bisri, Sa'ad ibn Musayyab dan Yusuf.

Jika kita menjauhi taklid buta, maka sungguh tidak ada perbedaan antara sepatu dan sarung kaki. Nabi telah menjelaskan bagaimana cara kita berbuat terhadap kaki-kaki dalam berwudhu. Maka menurut sunnah, hendaklah kaki itu dibasuh, kalau terbuka, dan hendaklah disapu saja, kalau tertutup, baik sepatu itu menutupi mata kaki ataupun tidak, demikianlah apabila mamakai sarung kaki. Nabi tidak memberatkan kita untuk membuka sepatu.

Kebanyakan kitab-kitab fiqh telah membuat berbagai syarat dalam menyapu bagian atas sepatu dan sarung kaki. Padahal Nabi tidak menerangkan bahwa sepatu yang disapu itu, harus begini atau harus begitu. Lantaran demikian kita jangan memasukkan berbagai hukum yang memberatkan dalam persoalan agama."

SYARAT KEBOLEHAN MENYAPU BAGIAN ATAS SEPATU

235) Al-Mughirah ibn Syu'bah ra, berkata:

كُنتُ مَعَ النَّبِيُّ ﷺ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيْرٍ فَاَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنَ الْآدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أهْوَيْتُ لِاَنْزَعَ حُفَّيْهِ فَقَالَ: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

"Pada suatu malam saya pemah berjalan bersama Nabi saw. Saya menuangkan air dari bejana, beliau berwudhu. Beliau membasuh mukanya, membasuh kedua lengannya, dan menyapu kepalanya. Kemudian saya pun menawarkan diri untuk membuka sepatunya. Kemudian beliau (Rasul) berkata: "Janganlah dibuka, biarkan saja. Saya memakainya dalam keadaan kaki yang suci. Sesudah itu beliau menyapu bagian atas sepatunya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 110)

SYARAH HADITS

Hadits (235) menyatakan bahwa syarat menyapu bagian atas sepatu itu, ialah kaki harus suci dikala kita memakainya.

Malik, Asy-Syafi'y, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa kita boleh menya- pu bagian atas sepatu, jika kita memakai sepatu, kedua kaki kita keadaan suci. Mereka maksudkan dengan "suci kaki" di sini, ialah suci dari hadats (memakainya sesudah berwudhu atau mandi). Mereka berpendapat, bahwa kita harus memakai sepatu sesudah kedua belah kaki suci, (sesudah sempurna berwudhu, atau sesudah sempurna mandi).

Abu Hanifah, Sufyan, Yahya ibn Adam, Al-Auzani, Abu Tsaur dan Abu Da- wud mengatakan: "Kita boleh menyapu bagian atas sepatu, asal saja kita me- makainya sesudah kaki disucikan sewaktu berwudhu."

Para ulama ada yang mensyaratkan lagi, supaya sepatu itu tidak pecah atau tidak berlubang. Menurut pendapat Sufyan Ats-Tsaury, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq dan Yazid ibn Harun, tidak ada kebenaran sepatu berlubang atau pecah, selama masih terpakai di kaki. Kebanyakan para ulama memaksudkan dengan suci, ialah suci dari hadats. Dawud ibn 'Ali, menghendaki dengan suci dari najasah.

Paham yang kita peroleh dari sabda Nabi saw. "Saya memakai dalam keadaan suci", ialah bahwa suci yang dimaksudkan adalah, suci dari najasah. Kalau di- maksudkan suci dari hadats, tentulah Nabi mengatakan, bahwa saya memakainya dalam keadaan diri saya suci.

KADAR LAMA BOLEH MENYAPU BAGIAN ATAS SEPATU

236) Shafwan ibn Assal ra. berkata:

أَمَرَنَا يَعْنِي رَسُولُ الله ﷺ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الخُفَّيْنِ اِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلَاثًا إِِذَا سَافَرْنَا ووَيَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلَا تَخَلَعْهُمَا مِنْ غَائِطِ وَلَا بُولٍ وَلَانَوْمٍ وَلَا تَخْلَعْهُمَا إِلَّا مِنْ جَنَابَة

"Rasulullah saw. memerintahkan kami menyapu bagian atas dua sepatu, apabila sewaktu memakainya kami dalam keadaan suci terus-menerus hingga tiga hari lamanya apabila kami dalam perjalanan; dan sehari semalam lamanya, apabila kami di kampung. Kami tidak membuka sepatu ketika buang air besar, air kecil ataupun ketika tidur. Kami tidak melepaskannya kecuali ketika janabah." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 112)

237) Khuzaimah ibn Tsabit ra. menerangkan:

اِنَّهُ سُئِلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ مَسْحِ الخُفَّيْنِ فَقَالَ: لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ وَلِلْمُقِيمِ يَوْمٌ وَلَيْلَة

"Sesungguhnya telah pernah ditanyakan kepada Nabi saw. tentang menyapu dua muza (dua sepatu). Maka Nabi saw. menjawab: "Untuk musafir: tiga hari tiga malam, untuk orang-orang di kampung: sehari semalam." (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 112)

SYARAH HADITS

Hadits (236) At-Turmudzy menyatakan hadits ini shahih. Al-Khaththaby berpendapat demikian juga.

Hadits (237) At-Turmudzy menyatakan hadits ini shahih. Abu Dawud mengatakan: "Diriwayatkan oleh Said ibn Manshur dari Ibrahim At-Taimy, bahwa di akhir hadits ini, ada perkataan: sekiranya kami minta tambah tempo itu, tentulah Nabi menambahkannya."

Kedua hadits ini menyatakan bahwa kadar lama kita boleh terus-menerus menyapu sepatu sesudah kita memakainya, yaitu: tiga hari tiga malam bagi orang yang dalam perjalanan, dan sehari semalam bagi orang yang berdiam di kampung. Kalau jangka waktu itu sudah lewat, haruslah dibuka dan membasuh kaki.

At-Turmudzy mengatakan: "Kebanyakan ahli ilmu menetapkan tentang kadar waktu untuk menyapu sepatu." Malik dan Al-Laits, tidak membatasi waktunya. 

Al-Nasa'y mengatakan: "Boleh terus menyapu sebanyak lima shalat saja bagi orang yang tidak dalam perjalanan, sedang dalam perjalanan, lima belas shalat." 

Ibnu Hazm mengatakan: "Apabila telah lewat waktu tersebut di atas, maka Abu Hanifah dan Asy-Syafi'y menyuruh membuka sepatu dan membasuh kaki ketika berwudhu."

Ibrahim An-Nakha'y, Al-Hasan Al-Bishry, Ibnu Abi Laila dan Dawud mengata- kan: "Boleh terus shalat, selagi wudhunya yang diambil sebelum sampai tempo waktu itu, belum batal." Inilah pendapat yang harus dipegang. Hitungan sehari semalam itu, ialah dimulai setelah ia boleh menyapu sepatunya, sampai sesudah wudhu yang diambil sebelumnya batal.

Abu Hanifah, Asy-Syafi'y dan Ats-Tsaury mengatakan: "Dihitung sejak dari ber-hadats, sesudah memakai sepatu dalam keadaan wudhu."

Ahmad mengatakan: "Ia menghitungnya mulai ia menyapunya." Ibnu Hazm mengatakan: "Apabila seseorang ber-hadats dan ingin berwudhu, padahal izin menyapu sepatunya belum sampai habis, maka ia tidak dibenarkan membuka sebelah sepatu saja. Sesudah dibuka baru dipakai kembali dengan wudhu yang baru." Demikian paham Sufyan Ats-Tsaury.

Asy-Syafi'y mengatakan: "Kalau ia akan membuka sepatunya maka harus dibuka kedua-duanya tidak boleh hanya membuka sebelah saja, selanjutnya ia harus membasuh kaki walaupun ia belum ber-hadats." 

Apabila seseorang memakai sepatunya di rumahnya, (tidak bepergian), kemudian belum habis satu hari satu malam dari waktu yang dibolehkan melepasnya, ia bersafar, maka waktu itu dibolehkan baginya untuk mencukupkan memakai sepatunya selama tiga hari tiga malam, Apabila ia memulai menyapu sepatunya sewaktu di dalamn safar, maka ia hendaknya mampu untuk sehari semalam saja lagiز

Menurut penelitian kami, bahwa Malik tidak membatasi waktu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Abdillah Al-Jadali dari Khuzaimah ibn Tsabit. Al-Jadali dipercayai oleh Ahmad dan Ibnu Ma'in, walaupun dinyatakan dha'if oleh Ibnu Sa'ad. Alasan Ibnu Sa'ad men-dha'if-kan, lemah dan kepada hadits yang diri- wayatkan oleh Asad ibn Musa yang dipercayai oleh An-Nasa'y, Al-Ajali dan Al-Bazzar.

Menurut penelitian kami, hadits yang dipegang Malik shahih sanad-nya. Alasan Malik, bukan hadits Ubay ibn Imrah yang dikemukakan pengarang Bidayatul Mujtahid, yang memang dha'if. Lantaran itu menurut penelitian kami, paham Malik boleh dipegangi. Konon pula apabila diingat bahwa ada segolongan para sahabat yang tidak membatasi waktunya, seperti Anas ibn Malik, sebagai- mana yang disebutkan dalam Sunan Ad-Daraquthny dan Mustadrak Al-Hakim dari Maimunah Al-Hilaliyah (istri Nabi saw.).

BAGIAN SEPATU YANG DISAPU

238) Abdu Khair ra, berkata:

اِنَّ عَلِيَّ اِبْنِ أبِى طَالِبٍ قال: لَوْكَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكاَنَ اَسْفَلُ الخَفِّ أَوْلَ بِالْمَسْحِ مِنْ اَعْلاَهُ . رَأَيْتُ رَسُولَ الله ﷺ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ 

'Ali ibn Abi Thalib berkata: "Sekiranya agama itu menurut pikiran dan pendapat, tentulah telapak sepatu bagian bawahnya lebih patut disapu dari pada bagian atasnya. Saya lihat Rasulullah saw. menyapu bagian belakang sepatunya." (HR. Abu Dawud dan Ad-Daraquthny; Al-Muntaqa 1: 112)

SYARAH HADITS

Hadits (238) Al-Hafizh dalam Bulughul Maram menyatakan isnad hadits ini hasan. Dalam Ar-Talkhish beliau tegaskan shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa bagian sepatu yang disapu adalah bagian belakangnya, bukan bagian bawahnya, dan telapaknya. 

Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Al-Auza'y dan Ahmad ibn Hanbal mengatakan: "Yang disapu adalah bagian belakang sepatu."

Malik, Asy-Syafi'y dan para pengikutnya berpendapat, bahwa yang disapu itu bagian belakang sepatu dan telapaknya. Dalam pada itu, menurut Malik dan Asy- Syafi'y menyapu bagian belakangnya, sahabat-sahabat. Malik mengatakan: "Apabila kita menyapu telapaknya saja dan belakangnya tidak, maka tidak sah."

Asy-Syaukany mengatakan: "Apabila hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini dikumpulkan, maka natijah yang dihasilkan adalah bahwa Nabi pemah menyapu telapak dan belakang sepatunya, pernah belakangnya saja, pernah menyapu bawahnya saja, walhasil semuanya itu sunnah." 

Ulama mengatakan: "Cara menyapu sepatu, ada dua macam: Pertama, sesudah kita membenamkan tangan ke dalam air, kita letakkan telapak tangan kiri di bawah tumit sepatu, dan telapak tangan kanan di atas sepatu, atau di ujung jari-jari kaki. Maka tangan kiri ditarik ke ujung anak-anak jari kaki, sedang tangan kanan ditarik ke betis. Demikianlah cara menurut Asy-Syafi'y.

Kedua, menyapu belakang sepatu, sebagaimana yang dikehendaki oleh hadits 'Ali. Demikian cara menurut madzhab Ahmad.

Hadits-hadits yang menunjukkan, bahwa yang disapu itu telapak sepatu adalah dhaif. Sesungguhnya tidak ada hadits yang menerangkan kadar yang disapu itu, karena itu ada ulama yang mengatakan sebesar tiga anak jari, dan ada yang mengatakaan sebesar satu jari.

Menurut zhahir hadits, asal telah disapu belakangnya itu, walaupun tidak ada kadar ukurannya.

Referensi:

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 1