BEBERAPA MASALAH DI SEKITAR PUASA SUNAT
BEBERAPA MASALAH DI SEKITAR PUASA SUNAT
Para Hajji yang sedang wuquf, tidak disukai berpuasa di hari Arafah.
Demikianlah pendapat Asy Syafi'iy dan Jumhur ulama, tetapi Al Mutawalli berkata: Jika dengan dia berpuasa tidak lemah dari berdo'a dan mengerjakan amalan-amalan Haji yang lain, maka baik dia berpuasa. Demikianlah pendapat 'Aisyah, Ibn Zubair Usman Ibn 'Ash dan Ishaq ibn Rahawaih. Berkata Al Baihaqi dalam kitab Ma'rifatus Sunan wal Atsar; menurut pendapat Asy Syafi'iy dalam Al Qadim bahwa jika seseorang meyakini bahwa dia tidak akan lemah karena berpuasa, lalu dia berpuasa, maka perbuatannya dipandang baik. Al Khaththabi memilih pendapat ini. Namun yang berkembang dalam Madzhab ini, ialah tidak disunatkan puasa 'Arafah atas orang yang sedang berwuquf di 'Arafah.
Bermacam pendapat ulama dalam memaknakan perkataan: "Puasa arafah mengkafaratkan dosa tahun yang lalu dan yang akan datang."
Dalam Al Hawi, Al Mawardi berkata: "Dalam hal ini ada dua macam takwil. Pertama, Allah mengampuni dosa dua tahun, kedua Allah memelihara dalam dua tahun itu dari dosa." Berkata Asy Sarakhsi: "Terhadap tahun yang pertama (tahun lalu) dikaffaratkan dosanya. Mengenai tahun kedua, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa apabila dia mengerjakan dosa di tahun kedua, maka puasanya yang telah lalu mengkaffaratkan dosanya. Ada yang mengatakan Allah memeliharanya dari dosa.
Menurut pendapat pengarang Al Uddah terhadap Allah mengkaffaratkan dosa tahun kedua ada dua pengertian:
Pertama, mengkaffaratkan dosa tahun sebelum tahun yang sedang ditempuh, maka berarti mengkaffaratkan dosa dua tahun yang telah lalu,
kedua, tahun yang akan datang. Tetapi tidak ditemukan ada sesuatu ibadat yang menutupi dosa yang akan datang. Kalau demikian hal ini khusus bagi Rasulullah sahaja.
Terhadap pengkaffaratan dosa ada dua takwil:
Pertama: Dikaffaratkan dosa kecil dengan syarat tidak dikerjakan dosa besar.
Kedua: Dikaffaratkan dosa kecil walaupun ada dosa kesar. Berkata Al Qadli Iyad: "Dosa-dosa yang dikaffaratkan ini, dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Dosa besar dikaffaratkan oleh taubat atau oleh Rahmat Allah sendiri. Demikianlah Madzhab ahlis Sunnah.
Kalau dikatakan: Apabila yang dikaffaratkan oleh shalat padahal wudlu' telah mengkaffaratkannya, apabila yang dikaffaratkan jum'at padahal shalat-shalat sebelumnya telah mengkaffaratkan; apa lagi yang dikaffaratkan oleh puasa 'arafah, padahal sebelumnya telah ada yang mengkaffaratkan dosa, maka jawabannya ialah: masing-masing itu dapat mengkaffaratkan dosa.
Kalau tak ada yang dikaffaratkan, dijadikannya jalan penambahan pahala dan sekurang-kurangnya diringankan tekanan dosa besar. Abu Bakar Al Mundzir dalam kitab Al Isyraf terhadap Hadits "Barangsiapa mengerjakan shalatul qiyam di malam Al Qadar karena iman dan ihtisabnya diampunilah dosa yang telah lalu" berkata: Ini adalah perkataan yang umum maka dapat ki- ta harapkan untuk orang yang mengerjakan Shalatul qiyam di malam Al Qadar, akan diampuni segala dosanya, kecil dan besar."
Puasa 'Asyura hanyalah sunat hukumnya, walaupun sebelum difardlukan puasa Ramad lan.
Inilah pendapat yang paling sahih dalam madzhab Syafi'iy. Menurut pendapat yang kedua, wajib hukumnya sebelum difardlukan puasa Ramadlan. Dan beginilah pendapat Abu Hanifah. Dan sekarang semua umat Islam, menetapkan bahwa puasa Asyura adalah sunat.
Mengenai puasa 'Asyura terdapat Hadits-hadits yang diriwayatkan Muslim dari Salamah ihn Al Akwa', dari 'Aisyah, dari Ibn Umar, dari Ibn Mas'ud, dari Jabir Ibn Samurah, dari Abu Musa Al Asy'ari dan Ibn Abbas.
Puasa hari-hari nutih, tidak wajib, hanyalah sunat. Menurut al Mawardi, ada yang mengatakan bahwa puasa hari-hari putih, wajib hukumnya sebelum difardlukan puasa Ramadlan, dan ada yang mengatakan, bahwa puasa hari-hari putih, tak pernah dianggap wajib.
Di antara puasa-puasa sunat, ialah puasa di bulan-bulan Haram, yaitu Zul Qa'idah, Zul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang seutama-utamanya, ialah Muharram.
Di antara puasa sunat, ialah puasa di bulan Sya'ban. Jika orang berkata: "Mengapa Nabi banyak berpuasa dibulan Sya'ban, padahal Nabi mengatakan: "Scutama-utama pua sa sesudah Ramadlan, ialah bulan Muharram," maka jawabnya, ialah karena Nabi tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram terkecuali di akhir hayatnya, atau kebetulan ada halangan-halangan yang menghalangi beliau banyak berpuasa di bulan itu.
Puasa sepanjang masa terkecuali hari-hari 'id dan hari tasyriq, tidak dimakruhkan bila tidak ditakuti gangguan-gangguan kesehatan dan tidak merugikan pihak lain.
Berkata pengarang Asy Shamil: "Demikianlah pendapat Jumhur ulama." Di antara yang berpendapat demikian: Umar, Ibn Umar. Abu Thalhah, 'Aisyah dan lain-lain. Berkata Abu Yusuf dan beberapa ulama dari sahabat Abu Hanifah: "Puasa sepanjang masa adalah makruh, walaupun tidak melemahkan badan." Di antara tokoh-tokoh ulama yang berpuasa sepanjang masa, ialah: Umar, Ibn Umar, Abu Thalhah, Abu Umamah, isterinya, 'Aisyah, Sa'id Ibn Musaiyyab, Abu Amar ibn Himas, Sa'id ibn Ibrahim, Aswad ibn Yazid, Al Buaithi, Abu Ibrahim Ishaq ibn Ahmad Al Maqdisi. Shah berpuasa nadzar sepanjang masa dan harus ditepati dengan dikecualikan hari-hari raya, hari-hari tasyriq, bulan Ramadlan dan qadlanya.
Inilah ketetapan yang ditetapkan Al Baghawi dan lain-lain.
Apabila seseorang perempuan beradzar puasa sepanjang masa, maka suaminya boleh melarang. Jika si suami melarang, ti daklah dikenakan qadla dan tidak dikenakan fidyah. Tetapi jika diizinkan berpuasa, atau meninggal suaminya, haruslah ditepati nadzarnya. Jika dia berbuka tanpa 'udzur, berdosalah dia dan wajib diberi fidyah.
Tidak haram merusakkan puasa sunat dan tidak wajib gadła, walaupun disukai supaya tidak merusakkannya. Demikianlah Madzhab Asy Syafi'i dan demikian pulalah pendapat Ali, Ibn Mas'ud, Ibn Umar, Ibn Abbas, Jabir, Sufyan Ats Tsauri, Ahmad dan Ishaq. Berkatalah Abu Hanifah: "Wajib disempurnakan; karenanya jika dia keluar dari puasa lantaran udzur, wajiblah diqadla. Dan jika keluar dari puasa lantaran udzur, wajib qadla dan berdosalah dia. Menurut pendapat Malik dan Abu Tsaur, jika keluar dari puasanya tanpa udzur, wajib diqadla, jika karena udzur tak ada qadla atasnya.
Hari syak, yaitu hari 30 Sya'ban, adalah apabila masyarakat mengatakan bahwa semalam sudah dilihat bulan, tetapi tidak disaksikan oleh seorang yang adil. Apabila tidak ada orang yang memperkatakan bahwa pada malam itu ada dilihat bulan, tidak dinamakan hari syak, baik udara terang atau mendung. Demikian- Jah Madzhab Asy Syafi'iy. Menurut pendapat Abu Muhammad Al Bafi: Jika udara cerah dan tidak dilihat bulan, maka itulah hari syak.
Tidak sah berpuasa pada hari syak dengan niat puasa Ramadlan. Demikianlah menurut madzhab Asy Syafi'iy.
Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir, dari 'Ali, Umar, Ali Ibn Abbas, Ibn Mas'ud, Ibn Ammar, Hudzaifah, Anas, Abu Hurairah Abu Wail, Ikrimah, Ibn Musaiyyab, An Nakha'iy, Asy Sya'bi, Ibn Juraij, dan Al Auza'i.
Menurut pendapat 'Aisyah dan Asma', bahwa berpuasa pada hari syak tidaklah terlarang. Menurut pendapat Ibnu Umar dan Ahmad, jika udara cerah, tidak boleh kita berpuasa pada hari syak, jika hari mendung, wajib kita puasa pada hari syak itu.
Hikmah tidak disukai kita menentukan hari jum'at saja untuk berpuasa, ialah karena berdo'a pada hari itu sangat dian- jurkan. Hari jum'at adalah hari do'a, hari dzikir, hari 'ibadat, yaitu mandi dan segera ke mesjid, menantikan shalat jum'at, mendengar khothbah dan membanyakkan dzikir sesudah jum'at itu. Padanya pula disukai kita membanyakkan shalawat. Karenanyalah kita disukai berbuka agar lebih kuat mengerjakan ibadat-ibadat itu.
Berpuasa sunat pada hari jum'at saja makruh hukum- nya. Demikianlah pendapat yang terkenal dalam Madzhab Asy Syafi'iy. Dan demikian pulalah pendapat Abu Hurairah, Az Zuhri, Abu Yusuf, Ahmad, Ishaq dan Ibn Mundzir. Menurut Malik, Abu Hanifah dan Muhammad, tidak makruh yang yang demikian itu.
Mengkhususkan hari Sabtu saja untuk puasa sunat, makruh hukumnya, tetapi jika kita berpuasa pada hari sebelumnya, atau sesudahnya, tiada dimakruhkan lagi.
Di antara ulama Syafi'iyah yang memakruhkan, ialah Ad Darimi, Al Baghawi dan lain-lain. Dilarang kita berpuasa sunat pada hair Sabtu, karena pada hari itu hari yang dimuliakan bansgsa Yahudi.
Tidak sah berpuasa pada hari-hari Tasyriq. Demikianlah menurut Madzhab Asy Syafi'iy yang jadid. Demikian pulalah Madzhab Ali, Abu Hanifah, Daud dan Ibn Mundzir. Menurut pendapat Ibn Umar, 'Aisyah, Al Auza'iy, Malik, Ahmad dan Ishaq, boleh orang yang berhajji tamattu' berpuasa pada hari-hari tasyriq.
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy