Hukum Bersetubuh Di Siang Hari Ramadan
Apabila seseorang wanita yang sedang berpuasa disetubuhi oleh suaminya, maka jika kita mengatakan, bahwa kaffarat wajib atas kedua-duanya, niscaya wajiblah si isteri memberi kaffarat dari hartanya sendiri. Tetapi jika kita mengatakan, bahwasanya kaffarat atas si suami saja, maka tidaklah wajib si isteri mengeluarkan kaffarat.
Kalau si suami sedang safar dan berpuasa dan si isteri bukan dalam safar, berada di kampungnya dan berpuasa pula, maka jika si suami berbuka dengan karena mengambil rukhshah yaitu boleh berbuka dalam safar, niscaya tiadalah dikenakan kaffarat atasnya. Demikian pula jika dia bersetubuh bukan atas dasar mengambil rukhshah, karena dia pada masa itu tidak diwajib kan puasa. Sedemikian pula hukum orang yang sakit yang dibolehkan makan bila ia memasuki siang hari dengan berpuasa kemudian dia bersetubuh. Begitu pula orang yang sehat bila sakit di tengah hari kemudian bersetubuh. Orang yang bersetubuh dalam bulan Ramadlan ada tiga pendapat ulama:
- Wajib atas si suami memberi kaffaratnya saja.
- Wajib mengeluarkan kaffaratnya dan kaffarat isterinya.
- Wajib atas kedua-duanya memberi kaffarat, tetapi si suami memikul yang dapat dipikul, yaitu memerdekakan budak dan memberi makanan orang miskin.
Orang yang mengulangi jima' dalam hari yang satu, hanya dikenakan satu kaffarat sahaja, baik ia sudah mengkaffarat yang pertama atau belum. Demikianlah mazhab Asy Syafi'iy dan demikianlah pendapat Malik, Daud dan Ahmad dalam satu riwayat menurut Abu Hanifah, jika persetubuhan yang kedua dilakukan sebelum diberi kaffarat yang pertama, cukuplah baginya satu kaffarat sahaja.
Apabila seseorang menyetubuhi isterinya pada dua hari atau beberapa hari, dari Ramadlan, maka untuk tiap-tiap hari satu kaffarat. Begitu pula pendapat Malik, Daud dan Ahmad. Menurut Abu Hanifah, jika senggama yang kedua sebelum dibayar kaffarat hari yang pertama, dikenakan satu kaffarat saja.
Apabila seseorang bersetubuh karena menyangka be- lum fajar atau menyangka mata hari sudah terbenam, dan nyata keliru, maka tak ada kaffarat atasnya. Demikianlah ditegaskan oleh Asy Syirazi.
Apabila seseorang berbuka karena lupa, bahwa dia dalam berpuasa dan dia menyangka bahwa puasanya telah batal, lalu dia bersetubuh, maka menurut Al Bandaniyyi tidak batal puasanya. Jumhur ulama membatalkan, sama dengan ia bersetubuh atau makan karena menyangka fajar belum terbit, lalu nyata keliru.
Apabila seseorang berbuka dengan jima', sedang dia lagi sakit atau dalam perjalanan, maka jika dia maksudkan mengambil rukhshah, niscaya tak ada kaffarat atasnya.
Apabila seseorang mukim memasuki shubuh serta berpuasa kemudian bersafar lalu bersetubuh di hari itu, wajiblah ia memberi kaffarat. Menurut pendapat Al Muzani, orang itu boleh berbuka di hari itu. Maka jika dia bersetubuh, tiadalah dikenakan kaffarat atasnya.
Apabila seseorang mukim yang sehat dalam keadaan berpuasa kemudian sakit lalu bersetubuh, maka tak ada kaffarat atasnya.
Apabila seseorang mukim merusakkan puasanya dengan jima' kemudian bersafar, tiadalah gugur kaffarat dari padanya. Demikian pula kalau dia merusakkan puasanya dengan jima' kemudian sakit.
Berzina, persetubuhan syubhat, atau dalam nikah fasid, bersetubuh dengan ibu, anak perempuan, wanita kafir dan siapa saja sama hukumnya, yakni wajib qadla dan kaffarat dan imsak di sisa hari.
Merusakkan puasa dengan selain jima' seperti makan, tidak mewajibkan kaffarat. Demikianlah Madzhab Asy Syafi'iy dan dinashkannya. Menurut pendapat Abu Khalaf Ath Thabari dari kalangan Syafi'iyah, wajib kaffarat lantaran merusakkan puasa, baik dengan jima' atau dengan lainnya.
Mengeluarkan mani dengan tangan (onani), membatalkan puasa tetapi tak ada kaffarat.
Menggaruk-garuk dzakar karena gatal dan lalu keluar mani, tidak membatalkan puasa dan tidak dikenakan kaffarat.
Menyetubuhi isteri atau orang lelaki di duburnya (homosex) mewajibkan qadla dan kaffarat. Demikianlah pendapat Malik, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad. Menurut Abu Hanifah, hanya wajib qadla saja.
Memeluk isteri atau merangkulnya lalu keluar mani, tidak mewajibkan kaffarat, walaupun puasanya batal kalau inzal. Demikian pulalah pendapat Abu Hanifah. Berkata Daud: "Setiap macam inzal mewajibkan kaffarat, kecuali inzal karena mengulang- ulang pandang, tak ada kaffarat dan qadla. Tetapi Malik, Abu-Tsaur mewajibkan qadla dan kaffarat. Pendapat ini dinukilkan juga dari Atha', Al Hasan, Ibn Mubarrak dan Ishaq. Berkatalah Ahmad: Wajib dikaffaratkan puasa lantaran rusak karena bersetubuh bukan dalam faraj, bukan juga homosex.
Mengenai inzal karena ciuman dan memegang badan, ada dua riwayat yang berbeda dari Ahmad. Jima' yang diwajibkan kaffarat, ialah jima' yang sempurna yaitu jima' yang menimbulkan dosa, lantaran puasa.
Jima' yang sempurna, ialah: Pertama jima' dalam keadaan sadar. Karenanya orang yang berjima' dalam keadaan lupa tidak merusakkan puasa. Kedua, puasa yang dirusakkan itu puasa Ramadlan. Karenanya tak ada kaffarat bagi puasa sunat, qadla dan puasa kaffarat yang rusak. Ketiga, persetubuhan. Karenanya tidak wajib kaffarat, lantaran makan, minum, onani, pelukan, dan lain-lain. Keempat: Dalam hal ini dibedakan para wanita. Mereka telah dianggap batal puasanya dengan karena telah masuk sebagian hasyafah dzakar, padahal yang dikatakan jima' ialah bila masuk seluruh hasyafah dzakar.
Apabila seseorang lupa berniat puasa di malam hari lalu bersetubuh di siangnya, maka tidak dikenakan kaffarat.
Merusakkan puasa sehari dari sebulan Ramadlan dengan jima' yang sempurna, wajib memberikan kaffarat. Demikianlah Madzhab Asy Syafi'iy. Demikian pulalah Madzhab Malik, Daud dan semua ulama yang lain. Dalam pada itu dinukilkan oleh Al Abdari bahwa Sa'ad ibn Jubair. An Nakha-'iy dan Qatadah tidak mewajibkan kaffarat, sama dengan merusakkan shalat.
Selain dari wajib memberi kaffarat, wajib juga qadla hari yang dirusakkan itu. Inilah yang masyhur dalam Madzhab Syafi'i. Berkatalah Al Abdari: Demikianlah pendapat semua Fukaha kecuali Al Auza'i. Menurut Al Auza'i jika dikaffaratkan dengan puasa, tidak wajib diqadla lagi, jika dengan memerdekakan budak atau memberi makanan, wajib diqadha.
Tidak diwajibkan kaffarat atas si wanita. Beginilah Madzhab Syafi'i dan Ahmad. Menurut pendapat Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur dan Ibn Mundzir juga dikenakan kaffarat atas wanita.
Kaffarat harus diberikan menurut tertib ini :
- Memerdekakan seorang budak. Jika tak sanggup, baru
- Berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tak sanggup, baru
- Memberi makan 60 orang miskin.
Disyaratkan dalam melaksanakan puasa kaffarat ini, dilaksanakannya beriring-iring, berturut-turut selama dua bulan. Beginilah pendapat Jumhur. Ibn Abi Laila membolehkan kita memisah-misahkan hari-hari yang enam puluh itu.
Apabila diberikan makanan, maka hendaklah diberikan kepada masing-masing miskin satu mud banyaknya, baik yang diberikan itu gandum atau lainnya.
Menurut Abu Hanifah, dua mud gandum, segantang makanan yang lain.
Sekiranya seseorang bersetubuh dalam puasa nadzar, atau puasa lain yang bukan puasa Ramadlan, tidaklah dikenakan kaffarat. Demikianlah pendapat Asy Syafi'iy dan Jumhur. Menurut Qatadah, wajib kaffarat karena merusakkan qadla Ramadlan.
Jika seseorang berniat puasa di malam hari, kemudian minum obat lalu hilang akalnya di siang hari, maka jika dikatakan, tidak sah puasa orang pingsan, tentulah puasa orang yang demikian ini juga tidak sah. Dan walaupun disahkan puasa orang pingsan namun puasa orang ini juga tidak sah, menurut pendapat yang .paling shahih.
Kata Al Mutawalli: "Kalau seseorang minum minuman keras di malam hari, lalu mabuk di sepanjang hari, niscaya tidak sah puasanya, wajib diqadla, walaupun dia sembuh di sebagian hari.
Bercelak (tidak dimakruhkan dan tidak batal puasa karena bercelak, walaupun dirasakan rasa celak dalam kerongkongan). Demikianlah pendapat Asy Syafi'iy. Demikian pula pendapat 'Atha', Al Hasan, An Nakha'iy, Auza-'iy, Abu Hanifah dan Abu Tsaur.
Di antara Shahabat yang berpendapat demikian, ialah Ibnu Umar, Anas dan Ibn Abi Aufa. Demikian pula pendapat Daud, Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir, bahwa Sulaiman At Taimi, Mansur Ibn Mu'tamir, Ibnu Syubrumah, dan Ibn Abi Laila, membatalkan puasa, lantaran bercelak. Menurut Ats Tsauri, makruh Lukumnya. Berkata Malik dan Ahmad, makruh hukumnya, tetapi bila sampai ke kerongkongan rasanya batallah puasa karenanya.
Berbekam tidak membatalkan puasa baik yang membekam, ataupun yang dibekam. Demikian pendapat Asy Syafi'i. Demikian pula Ibnu Abbas, Anas, Ummu Salamah, Sa'id Ibn Musaiyyab, Urwah bin Zubair, Asy Sya'bi, An Nakhaiy, Malik, Ats Tsauri, Abu Hanifah, Daud dan lain-lain.
Berkata pengarang Al Hawi: "Inilah pendapat kebanyakan para shahabat dan Fuqaha." Segolongan ulama mengatakan bahwa berbekam itu membukakan puasa. Di antara yang berkata demikian, Ali, Abu Hurairah, 'Aisyah, Al Hasan, Ibn Sirin, Atha', Al Auza'iy, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ibnu Khuzaimah.
Berkata Al Khaththabi: "Menurut Ahmad dan Ishaq, batal puasa yang membekam dan yang dibekam dan wajib kedua-duanya mengqadla, tapi tidak wajib memberi fidyah. Atha' berkata: "Wajib atas yang berbekam dalam bulan Ramadhan mengqadla dan memberi kaffarah."
Mencium isteri dalam bulan Ramadlan siang hari makruh hukumnya, jika menggerakkan syahwat, dan tidak makruh bagi orang yang tidak bergerak syahwatnya. Berkata Ibn Mundzir, Umar, Ibn Abbas, Abu Hurairah, 'Aisyah, Asy Sya'bi, Al Hasan, Ahmad dan Ishaq membolehkan.
Ibnu Umar menegah yang demikian. Ibnu Mas'ud mengharuskan qadla. Malik memakruhkan ciuman bagi orang-orang muda dan tua, dalam bulan ramadlan. Segolongan ulama membolehkan cium- an bagi orang tua, tidak bagi anak muda. Demikianlah pendapat Ibn Abbas.
Dinukilkan oleh Al Mawardi dari Muhammad Ibn Hanafiah dan Ibnu Syubrumah, bahwa mencium isteri membatalkan puasa dan mengharuskan qadla. Berkata Al Mawardi Seluruh Fuqaha yang lain mengatakan, bahwa ciuman itu tidak membatalkan puasa terkecuali inzal. Kalau inzal wajib qadla saja, tidak kaffarat.
Wishal puasa tidak membatalkan puasa, baik dihukum haram, atau dihukum makruh.
Wishal, adalah salah satu dari khususiyah Rasulullah, makruh hukumnya bagi kita umatnya, selaku karahah tahrim.
Hikmah dilarang wishal, ialah untuk menghindari kelemahan badan dan kesehatan, agar tidak terganggu karenanya ta'at-ta'at yang lain.
Dikatakan oleh Al Abdari: "Hanya ibnu Zubair sahaja yang mewishalkan puasa. Diterangkan oleh Ibnul Mundzir, bahwa Ibnu Zubair dan Ibn Abi Nu'aim, kedua-duanya berwishal. Diterangkan oleh Al Mawardi dalam Al Hawi, bahwa Abdullah ibn Zubair berwishal hingga 17 hari lamanya.
Hadits-hadits wishal diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar, dari Abu Hurairah, dari 'Aisyah, dari Anas dan dari Abu Sa'id Al Khudri.
Waktu sahur, antara separuh malam dan terbit fajar, dan berwujudlah sahur dengan memakan sedikit makanan, bahkan dengan minum seteguk air.
Hadits-hadits yang mengenai sahur diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dari Anas; oleh Muslim dari Amar bin 'Ash, oleh An Nasa-'iy dan Abu Daud dari Al 'Irbadl, oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal ibn Sa'ad; oleh Muslim dari Ibn 'Athiyyah, oleh Ahmad dari Abu Dzar, oleh At Turmudzi dari Abu Hurairah, oleh Al Bukhari dari Ibn Umar, oleh Bukhari dan Muslim dari Zaid Ibn Tsabit oleh Bukhari dari 'Aisyah; oleh Al Bukhari dari Sahal oleh ibn Abi 'Ashim dari Abu Sa'id dan Anas.
Semua Hadits ini mengajanjurkan supaya kita mencepatkan berbuka, tidak melambatkannya, walaupun dibolehkan.
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa, apabila mau minum di waktu berbuka, madlmadlah lebih dahulu dan meludahkannya. Demikianlah diterangkan oleh pengarang Al Bayan.
Apabila seseorang menta'khirkan qadla puasa Ramadlan, hingga Ramadlan berikutnya, maka hendaklah dia mengerjakan puasa Ramadlan yang dihadapinya. Kemudian dia qadla Ramadlan yang telah ditinggalkan dengan keharusan memberi fidyah.
Beginilah pendapat Ibn Abbas, Abu Hurairah, Atha', Al Qasim Ibn Muhammad, Az Zuhri, Al Auza'i, Malik, Ats Tsauri. Ahmad dan Ishaq. Menurut Al Hasan Al Bisri, Abu Hanifah, Al Muzani dan Daud diqadla saja, tanpa fidyah. Tetapi kalau dita'khirkan qadla karena sakit atau safar, maka menurut mazhab Syafi'iy diqadla saja tanpa fidyah. Begini juga pendapat Thaus, Al Hasan An Nakha-iy, Hammad, Al Auza'iy, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Al Muzani dan Daud. Menurut Ibn Abbas, Ibn Umar, Sa'id Ibn Jubair dan Qatadah, dikerjakan Ramadlan yang sedang dihadapi jika dia berada di tempat dan difidyahkan puasa yang telah hilang itu, tak ada qadla lagi atasnya.
Qadla Ramadlan, boleh dipisah-pisahkan, walaupun baik diiring-iringkannya. Beginilah Madzhab Asy Syafi'iy dan beginilah pula pendapat Ali, Mu'az, Ibn Abbas, Abu Hurairah, Ats Tsauri, Abu Hanifah, Malik, Ahmad Ishaq dan Abu Tsaur. Menurut Ath Thahawi, beriring-iring dan dipisah-pisah sama saja.
Qadla Ramadlan boleh dilakukan sepanjang tahun kecuali di bulan Ramadlan, hari-hari 'id dan hari-hari tasyriq, boleh dikerjakan di bulan apa saja, baik di bulan Zulhijjah, ataupun lainnya.
Berkata Ibnul Mundzir: Ali ibn Abi Thalib memakruhkan puasa qadla di bulan Zulhijjah, dan demikianlah pula pendapat Al Hasan dan Az Zuhri.
Apabila seseorang yang telah meninggal tidak dipuasakan puasanya oleh wali tetapi diberi makanan, hendaklah diberikan untuk sehari satu mud makanan. Dan jika ditinggalkan dua Ramadlan umpamanya, maka untuk Ramadlan yang pertama diberikan untuk tiap hari dua mud; sedang untuk Ramadlan yang kedua untuk tiap-tiap hari satu mud.
Demikianlah pendapat ulama mutaqaddimin Syafi'iyah dan dipandang sahih oleh ulama-ulama mutaakhirin.
Hukum puasa nadzar, puasa kaffarat dan puasa-puasa wajib yang lain sama, yaitu diberikan makanan saja atas nama si mati untuk tiap-tiap hari satu mud.
Demikianlah pendapat Asy Syafi'iy dalam Al Jadid. Dalam Al Qadim dibolehkan si wali, memberikan makanan atau berpuasa atas nama si mati.
Apabila kita mengatakan bahwa wali, boleh berpuasa atas nama orang yang telah meninggal dan boleh dilakukan oleh yang bukan wali dengan izin wali, maka apakah jika dipuasakan oleh 30 orang di satu hari, terqadlakah puasa sepenuh Ramadlan? Menurut nukilan Al Bukhari dari Al Hasan sah yang demikian itu.
Tidak dibenarkan seseroang berpuasa atas nama orang yang masih hidup, baik yang dipuasakan puasanya dalam keadaan kuat atau lemah.
Demikianlah pendapat para ulama dari semua Madzhab. 85. Apabila seseorang meninggal, dengan meninggalkan shalat atau I'tikaf, maka tak dapat dikerjakan oleh si wali dan tidak terlepas kewajibannya dengan diberikan fidyah.
Inilah pendapat yang masyhur dalam madzab Asy Syafi'iy. Dan inilah yang ditandaskannya dalam kitab Al Um dan lain-lain.
Fidyah yang dikeluarkan baik atas nama si mati, atas nama si murdli', si hamil, orang sangat tua, orang sakit yang tidak diharap sembuh lagi dan orang yang berdosa, karena melambatkan qadla Ramadlan, hingga lewat Ramadlan kedua dan orang yang sengaja berbuka (andaikata kita wajibkan fidyah) dan lain-lain, maka jumlah fidyah, ialah untuk sehari satu mud makanan pokok yang dipergunakan untuk fitrah.
Puasa Ramadlan, masing-masing hari berdiri sendiri, tidak rusak karena rusak hari yang sebelumnya atau hari sesudahnya. Demikianlah ditegaskan oleh Al Baghawi dan Ar Rari'iy.
Orang yang meninggalkan puasa karena sakit, atau safar, atau karena uzur-uzur yang lain dan tidak dapat diqadlanya sebelum meninggal, tiadalah dikenakan apa-apa atasnya, tidak dipuasakan untuknya dan tidak diberikan makanan.
Demikianlah Madzhab Asy Syafi'iy dan demikianlah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Jumhur ulama. Berkata Al Abdari: "Inilah pendapat semua ulama terkecuali Daud dan Qatadah." Menurut mereka wajib diberikan fidyah atas namanya, karena dia dipandang sama dengan orang yang sangat tua.
Orang yang sanggup berpuasa qadla, tetapi tidak mengerjakannya sampai meninggal, maka hendaklah diberi makanan atas namanya.
Demikianlah pendapat yang termasyhur dalam madzhab Syafi'iy. Menurut An Nawawi yang paling sahih dari dua pendapat ini, ialah dipuasakan atas namanya oleh wali. Di antara yang berpendapat begini, Thaus, Al Hasan, Az Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur dan Daud.
Menurut Ibn Abbas, Ahmad dan Ishaq, dipuasakan puasanya itu jika puasa nadzar dan diberi makanan jika puasa Ramadlan. Menurut Ibnu Umar, 'Aisyah, Malik, Abu Hanifah dan Ats Tsauri, diberikan makanan atas nama si mati.
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy