Hukum Makan karena lupa dalam bulan puasa
Tentang makan karena lupa
Makan karena lupa dalam bulan puasa ataupun mengerjakan sesuatu yang lain yang merusakkan puasa karena lupa, tidak membatalkan puasa. Demikianlah Mazhab Asy Syafi'i, Al Hasan, Mujahid, Abu Hanifah, Ishak, Abu Tsaur, Daud, Ibn Mundzir dan lain-lain.
Menurut pendapat Atha', Al Auza'i dan Al Laits wajib qadla juga karena bersetubuh lantaran lupa kepada puasa, tidak karena makan. Menurut Rabi'ah dan Malik rusak puasa orang yang lupa, baik bersetubuh, maupun makan dan lain-lain, tetapi tidak diwajibkan kaffarat, hanya wajib qadla saja. Ahmad berkata: "Wajib karena jima' dengan lupa pada puasa, gadia dan kaffarat, tidak karena makan."
Apabila seseorang yang sedang berpuasa, makan minum atau bersetubuh karena tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu tidak dibolehkan, maka jika dia baru saja masuk Islam belum tahu hukum-hukumnya atau tinggal di pedalaman, ia tidak tahu bahwa hal itu, membatalkan puasa, tidaklah batal puasanya, tetapi jika ia telah bergaul dengan orang-orang Islam yang lain dan tahu bahwa yang demikian itu tidak boleh, maka batallah puasanya.
Apabila seseorang dipaksakan makan atau ditikam dengan paksaan dan tikaman sampai dalam pertunya atau diikat dan diperkosa atau diperkosa dalam keadaan tidur, maka tidaklah batal puasanya.
Apabila seseorang dipaksa makan atau minum sandiri. Lalu makan atau minum, atau dipaksa untuk menyerah diri untuk diperkosa lalu dia menyerahkan diri, maka tidak batal puasanya. Demikianlah pendapat yang paling sahih dalam mazhab Asy Syafi'i.
Di antara yang mensahkan pendapat ini, ialah Asy Syarazi dalam kitab Tambih, Al Gazali dalam kitab Al Wajiz, Al Abdari dalam kitab Al Kifayah, dan Ar Rafi'i dalam kitab Fathul 'Azis.
Orang yang dipaksa makan, atau minum, atau lain-lain, tidak batal puasanya. Demikianlah pendapat Asy Syafi'i. Menurut Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, batal puasanya.
Apabila seseorang ber-madmadlah, wajiblah dia ludahkan air itu. Tetapi tidak harus dia mengeringkan mulutnya dengan menggunakan kain lap. Demikianlah ditegaskan oleh Al Matawalli dan lain-lain.
Apabila seseorang ber-madmadlah atau beristinsyaq, dan masuklah air dalam kerongkongannya tanpa sengaja, maka jika karena sengaja berlebih-lebihan berkumur-kumur, batallah puasanya. Tetapi jika tidak sengaja berlebih-lebihan berkumur tidaklah batal puasanya. Di antara yang membatalkan puasa secara mutlaq, ialah: Malik, Abu Hanifah, Al Muzani dan kebanyakan Fukaha. menurut nukilan Al Mawardi. Berkatalah Al Hasan, Ahmad, Ishak dan Abu Tsaur: tidak batal, baik disengaja berlebih-lebihan atau tidak.
Andai kata masuk lalat ke dalam perut, atau sampai ke dalam perut, debu jalan ataupun tepung tanpa sengaja, tidaklah batal puasa dan tidak diharuskan seseorang menutup mulutnya diwaktu debu beterbangan. Tetapi jika sengaja membuka mulutnya hingga masuk debu dan sampai dalam perut menurut pendapat Al Baghawi, batal, Andaikata seseorang yang sedang berpuasa, melihat orang yang hendak karam dan tidak dapat diselamatkan orang itu tanpa berbuka lebih dahulu, maka wajiblah ia berbuka serta mengqadlainya.
Imsak, ialah salah satu khususiah Ramadlan. Karenanya, tak ada imsak atas orang yang sengaja berbuka pada sesuatu puasa nadzar, atau puasa kaffarat, atau puasa qadla, sebagaimana tidak diwajibkan kaffarat atasnya. Berbuka dengan selain jima' disiang hari Ramadlan dengan sengaja mewajibkan qadla hari itu.
Apabila ia telah mengqadlai hari itu, cukuplah sudah dan lepaslah tanggung jawabnya terhadap hari itu. Demikianlah Mazhab Asy Syafi'i dan demikian pula Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Jumhur ulama, Berkatalah Al Abdari: "Itulah pendapat seluruh ulama terkecuali beberapa orang." Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dari Rabi'ah, bahwa orang itu wajib ber- puasa 12 hari buat mengganti puasa sehari, karena setahun itu terdiri dari 12 bulan. Menurut Sa'id bin Musaiyyab, wajib diganti sebanyak 30 hari. Berkatalah Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas'ud: puasa sehari itu tak dapat diqadlanya walaupun dilakukan sepanjang masa. Menurut Mazhab Asy Syafi'i tidak dikenakan kaffarat atas orang itu. Demikianlah Madzhab Sa'id bin Jubair, Ibnu Sirin, Hammad ibn Abi Sulaiman, An Nakha'i, Ahmad dan Daud.
Menurut pendapat Abu Hanifah, kalau berbuka karena menelan batu atau biji korma, tidak mewajibkan qadla dan kaffarat, demikian pula kalau meng-gosok-gosok zakarnya pada tubuh isterinya dan inzal, atau beronani, tidaklah dikenakan kaffatat atasnya. Berkatalah Az Zuhri, Al Auza'i, Ats Tsauri dan Ishaq: wajib diberikan kaffarat terbesar. Demikian pulalah pendapat Atha', Al Hasan dan Malik. Malik mewajibkan kaffarat terbesar karena membatalkan puasa dengan mengerjakan sesuatu maksiat.
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy