MASALAH SEKITAR LAILATUL QADAR DAN I'TIKAF
MASALAH SEKITAR LAILATUL QADAR
Lailatul qadar itu dapat dilihatnya oleh orang yang Allah kehendaki pada tiap-tiap tahun di dalam bulan Ramadlan.
Disukai bagi orang yang melihat lailatul qadar menyembunyikan dan hendaklah berdo'a dengan penuh keikhlasan, baik yang berhubungan dengan dunia, ataupun akhirat. Demikian ditandaskan oleh pengarang Al Hawi.
Hadits-hadits yang mengenai lailatul qadar diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah; Al Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar; Al Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah; Al Bukhari dari Ibn Abbas; Al Bukhari dan Ubadah ibn Shamit, oleh Mus- lim dari Abu Hurairah; oleh Al Bukhari dari Abu Sa'id; oleh Muslim dari Abu Sa'id; oleh Muslim dari Abdullah bin Unais, oleh Al-Bukhari dari Abu Abdullah Abdur Rahman ibn Shanaihi; oleh Abu Daud Ath Thayalitsį dari Abu Sa'id; oleh Muslim dari Zir bin Hubaisy; oleh Abu Daud dari Ibn Umar; oleh Abu Daud dari Abdullah bin Unais; oleh Muslim dari Abu Sa'id; oleh Abu Daud dari ibn Mas'ud; oleh Al Baihaqi dari Malik ibn Martsat; oleh Muslim dari Abu Hurairah; oleh Abu Bakar ibn Ahmad An Nabi dari Jabir bin Abdullah.
BEBERAPA MASALAH SEKITAR ITIKAF
Jikalau seseorang menentukan masa i'tikad dalam nadramya, maka haruslah dilaksanakan pada waktu yang ditetapkan ina, tidak boleh didahulukan dan dikemudiankan.
I'tikaf harus dilakukan dalam mesjid dan sah di segala mesjid. Demikianlah madzhab Asy Syafi'iy. Dan begitu pulalah Malik dan Daud. Sa'id ibn Musayyab mengatakan, bahwa i'tikaf harus dilakukan dalam mesjid Nabi SAW. (mungkin riwayat ini tidak sahih). Menurut Hudzaifah, i'tikaf itu dalam tiga mesjid: Masjid al Haram, mesjid madinah dan mesjid al Aqsha. Az Zuhri, Hakam dan Hammad tiadk mensahkan i'tikaf kecuali di mesjid Jami'. Abu Hanifah, Abhmad, Ishaq dan Abu Tsaur, mensahkan i'tikaf dalam semua mesjid yang di situ ada didirikan jama'ah.
Wanita tidak boleh beri'tikaf di mesjid rumahnya. Demikianlah Madzhab Malik, Syafi'iy dan Daud. Menurut Abu Hanifah sah.
Kalau seseorang bernadzar beri'tikaf di bulan Ramadlari, maka tak dapat dilakukannya, lazimlah dilakukan di bulan yang lain dan tidak harus dia berpuasa.
Berpuasa dalam beri'tikaf, bukanlah syarat sah i'tikaf, boleh beri'tikaf tanpa berpuasa. Demikianlah pendapat Asy Syafi'iy, Abu Tsaur, Daud dan ibn Mundzir. Menurut pendapat Ibn Umar Ibn Abbas, 'Aisyah, Urwah, Az Zuhri, Malik Ats Tsauri, Abu Ha- nifah, Ahmad dan Ishaq, tidak sah i'tikaf tanpa puasa. Inilah pendapat jumhur ulama menurut penegasan Qadli "lyadl.
I'tikaf itu sah dalam waktu yang lama dan sedikit walaupun sekejap mata. Inilah madzhab Asy Syafi'iy dan Daud, demikian pula Ahmad. Berkata Malik dan Abu Hanifah: "sekurang-kurangnya sehari penuh."
Apabila seseorang bernadzar beri'tikaf di puluhan yang akhir di bulan Ramadlan atau lainnya, maka hendaklah dia masuk dalam i'tikaf dala malam 21 dan keluar dari i'tikaf dengan selesainya bulan, baik bulan itu sempurna atau kurang.
Demikian Madzhab Asy Syafi'iy, Malik, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya. Berkata Al Auza'i, Ishaq dan Abu Tsaur: boleh ia masuk ke tempat i'tikaf di waktu fajar hari 21, tidak musti pada malamnya.
Apabila rumah si mu'takif jauh dari mesjid dan tak ada tempat buang air dekat mesjid, maka bolehlah dia kembali ke rumahnya malamnya. Demikianlah pendapat Al Bandaniyi, Ad Darimi, Al Faurani, Imamul Haramin, Al Baghawi, Asy Sarakhsi dan lain-lain.
Sah beri'tikaf di menara mesjid yang didirikan di pekarangan atau di pintunya. Demikian pendapat Al Buwaithi.
Jikalau keluar dari tempat i'tikaf untuk menziarahi orang yang baru pulang dari safar, niscaya batallah i'tikaf yang dinadzar itu. Demikianlah yang disebutkan Al Mutawalli.
Batal i'tikaf nadzar bila si mu'takif keluar dari tempat I'tikafnya untuk mengunjungi orang sakit. Demikianlah Madzhab Syafi'iy, Atha', Mujahid, Urwah, Az Zuhri, Malik, Abu Hanifah, Ishaq, Tsaur dan Ahmad. Menurut pendapat Al-Hasan, Sa'id bin Jubair dan An Nakha'iy, boleh.
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy