Masalah Niat Puasa
Beberapa masalah yang berpautan dengan niat puasa.
a. Apabila seseorang yang berhaidl, berniat puasa esok hari sebelum berhenti darah haidlnya, atau orang yang berhaid! menurut adat kebiasaan dengan sebanyak-banyak masa haidl dan menurut adatnya berhenti darah haidlnya pada malam itu, maka puasanya sah.
Jika dia tidak berhaidl dengan sebanyak-banyak masa haidl, tetapi menurut biasa, bahwa haidinya akan berhenti pada malam itu, maka menurut pendapat yang paling shahih sah niatnya dan sah puasanya.
b. Menurut pendapat Al Mutawalli, bahwa jikalau seseorang bersahur, supaya sanggup ia berpuasa esok hari, atau ia bercita-cita di awal malam, bahwa ia akan bersahur di akhir malam supaya sanggup berpuasa, tiadalah yang demikian itu menjadi niat.
Berkatalah Ar Rafi'i: Al Qadli, Abdul Makarim dalam kitab Al 'Udah berkata: "Jikalau seseorang berkata di malam hari: "Saya akan makan sahur supaya saya sanggup berpuasa, tidaklah yang demikian itu dipandang niat," Dinukilkan oleh sebagian ulama dalam Kitab Nawadirul Ahkam karangan Abdul Abbas ar Ruyani, bahwasanya beliau itu berkata: "Jikalau seseorang berkata: "Saya makan sahur un tuk berpuasa, atau saya minum untuk menolak kehausan di siang hari, atau tidak makan dan minum dan bersetubuh, karena kha- watir terbit fajar, maka semua itu dipandang niat puasa."
Berkatalah Ar Rabi'i: "Inilah pendapat yang benar asal ada terlintas dalam hatinya kemauan berpuasa."
c. Jika seseorang mengakhiri niat puasanya dengan "insya Allah," maka jika dia maksudkan sekedar tabarruk atau dia menyangkutkan kesempurnaan puasanya kepada kehendak Allah, tiadalah menjadi apa-apa. Tetapi jika dia pautkan kepada kehendak Allah, tiadalah sah niat puasanya.
Demikianlah madzhab Asy Syafi'i. Inilah yang dianggap be- nar oleh ahli tahqiq dalam Madzhab Syafi'i, di antaranya Al Mutawalli dan Ar Rafi'i.
Berkatalah Al Mawardi: "Jika 'seseorang berkata: "Saya berpuasa besok, jika dikehendaki si polan, tiadalah sah puasanya.Tetapi jika dia mengatakan "insya-Allah," maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah puasanya dan
Kedua, sah puasanya.
d. Apabila seseorang lupa berniat di malam hari, hingga terbit fajar, tiadalah sah puasanya.
Demikianlah pendapat seluruh ulama Syafi'iyah, karena syarat sah puasa ialah berniat di malam hari. Dalam pada itu wajib imsak di siang hari dan wajib qadla. Dan disukai supaya berniat di awal siang, karena yang demikian itu, mencukupi baginya menurut Abu Hanifah.
Apabila seseorang berniat berpuasa, tetapi dia ragu apa- kah niat itu sebelum fajar atau sesudahnya, maka menurut Ash Shaimari, Al Mawardi dan pengarang Al Bayan tidak sah puasanya, karena menurut hukum asal dia belum berniat. Jikalau dia berniat kemudian dia ragu apakah telah terbit fajar atau belum, maka sah puasanya, dengan sepakat seluruh ulama Syafi'iyah sebagai yang telah ditegaskan oleh pengarang kitab Al Bayan,
f. Bulan Ramadlan tertentu bagi puasa Ramadlan tak sah digunakan untuk puasa yang lain, baik dia dalam safar, maupun dalam sakit, baik untuk puasa kaffarah, maupun puasa nadzar, qadla atau tathauwu', tidak sah puasanya itu, baik untuk yang diniatkan itu ataupun untuk Ramadlan sendiri. Dalam pada itu Imamul Haramain berkata: "Jikalau seseorang tidak berniat di malam hari, lalu dia berniat mengerjakan tathauwu' sebelum tergelincir matahari, maka menurut Jumhur ulama, puasanya itu tidak sah, dan menurut pendapat Abu Ishaq Al Marwazi, saht puasanya. Kalau demikian, sahlah si musafir mengerjakan tathauwu', atas dasar qiyas.
g. Apabila seseorang berniat di malam hari kemudian sebelum fajar dia putuskan niatnya, maka gugurlah hukum niat itu; karena meninggalkan niat, sama dengan merusakkan niat, berbeda dengan makan karena sesudah berniat, karena makan itu bukan lawan niat.
h. Jikalau seseorang berniat puasa qadla dan kaffarat, sesudah fajar, maka jika di dalam bulan Ramadlan, tidak sah puasanya itu, karena bulan Ramadlan hanya menerima puasa Ramadlan saja. Jika dibukan bulan Ramadlan, tidak sah kaffaratnya dan qadlanya, karena syarat sah puasa berniat di malam hari. Demikian pendapat Al Mutawalli.
i. Jikalau seseorang meyakini bahwa dia mempunyai puasa wajib, tetapi ia tidak ingat lagi apakah puasa Ramadlan, puasa nadzar, ataukah puasa Kaffarat; karenanya dia berniat puasa wajib sahaja, maka sahlah niatnya dan puasanya.
j. Jikalau seseorang ragu pada siang hari apakah dia berniat pada malam hari, ataukah tidak, kemudian teringat, sesudah berlalu sebahagian besar dari hari itu, bahwa dia ada berniat, sahlah puasanya itu. Demikianlah ditegaskan Al Qadi Husain dalam Fatawanya, Al Baghawi dan lain-lain,
k. Menurut madzhab Asy Syafi'i tidak sah puasa tanpa niat, baik puasa wajib itu dalam bulan Ramadlan, atau pun selainnya, atau pun tathauwu'. Begini jugalah pendapat semua ulama, kecuali Atha', Mujahid dan Zufar. Ulama-ulama ini berkata: "Jika puasa itu puasa yang telah tertentu, seperti puasa Ramadlan dan yang puasa itupun dalam keadaan sehat dan bermukim, maka tiada terhajat kepada niat." Berkata Al Mawardi: "Untuk puasa nadzar dan kaffarat disyaratkan niat, dengan ijma' para Muslimin."
l. Menurut pendapat Mazhab Asy Syafi'i, tidak sah niat melainkan di malam hari. Demikian pula pendapat Malik, Ahmad, Ishaq dan Daud juga jumhur ulama salaf dan khalaf. Abu Hanifah berkata: "Sah niat sebelum zawal, demikian pula nadzar yang ditentukan harinya. Dalam pada itu, puasa qadla dan puasa kaffarat, tiada sah diniatkan kecuali di malam hari."
m. Menurut Mazhab Asy Syafi'i, niat itu harus dilakukan untuk tiap-tiap hari, baik puasa Ramadlan, puasa kaffarat, nadzar, maupun puasa tathauwu'. Begini pula pendapat Abu Hanifah, Ishaq, Daud, Ibnul Mundzir dan Jumhur ulama. Menurut pendapat Malik, boleh niat puasa Ramadlan dilakukan pada malam pertama dengan niat berpuasa seluruh Ramadlan, tidak perlu kepada niat tiap-tiap hari.
Dari Ahmad diperoleh dua riwayat. Yang pertama sesuai dengan pendapat Asy Syafi'i dan yang kedua sesuai dengan pendapat Malik. Menurut Mazhab Asy Syafi'i, tidak sah puasa wajib,
n. tanpa ta'yin; harus ditentukan puasa apa. Sedemikian pula Mazhab Malik, Ahmad, Ishak, Daud dan Jumhur ulama. Imam yang berempat ini mewajibkan pula diniat- kan kefardluannya. Menurut pendapat Abu Hanifah, tidak wajib ta'yin pada puasa Ramadlan. Andaikata diniatkan puasa tathauwu' di dalam bulan Ramadlan, maka puasa itu tetap menjadi puasa fardlu, asal ia seorang yang bermukim. Demikian pula nadzar yang tertentu harinya. Kalau dia seorang musafir dan berniat puasa lain dari puasa Ramadlan, sah puasanya itu.
o. Menurut mazhab Asy Syafi'i, apabila seseorang di bulan Ramadan tidak berniat di malam hari, lalu sebelum tergelincir matahari ia bersetubuh, tidaklah wajib kaffarat atasnya, walaupun dia berdosa.
Begini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Jumhur ulama. Menurut pendapat Abu Yusuf, wajib diberikan kaffarat. Abu Yusuf berkata: kalau dia bersetubuh sesudah tergelincir matahari, tidak dikenakan kaffarat. Makan menurut Abu Yusuf sama dengan jima'.
p. Menurut Mazhab Asy Syafi'i niat puasa sunnat, sah sebelum tergelincir matahari. Demikianlah pendapat Ali, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah, Abu Ayyub al Anshari, Ibnu Abbas, Abu Hanifah, Ahmad dan lain- lain. Menurut Ibnu Umar, Abusy Sya'sa', Jabir bin Zaid (seorang tabi'i), Malik, Zufar dan Daud, tidak sah puasa sunat, kecuali berniat di malam hari. Begini pulalah pendapat Al Muzani dan Abu Yahya Al Balakhi. Menurut nukilan Ibnul Mundzir, Malik mengecualikan orang yang terus menerus berpuasa. Dia boleh berniat di siang hari.
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy