PUASA DITINJAU DARI FALSAFAH DAN HIKMAH
Puasa Ditinjau dari Falsafah dan Hikmah: Makna yang Lebih Dalam dalam Ibadah Puasa
Puasa merupakan salah satu ibadah yang dianut oleh banyak agama di seluruh dunia. Selain sebagai kewajiban agama, puasa juga memiliki makna yang lebih dalam dari sisi falsafah dan hikmah. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi makna puasa dari perspektif filosofis dan hikmatik, yang mungkin tidak sering dibahas dalam konteks ibadah puasa.
Falsafah Puasa
Selain itu, puasa juga dipandang sebagai bentuk pengendalian ego. Dalam kehidupan sehari-hari, ego seringkali menjadi penghalang dalam hubungan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Dengan berpuasa, seseorang dapat melatih diri untuk mengatasi ego, mengurangi sifat-sifat negatif seperti keserakahan, kebencian, dan kedengkian, serta meningkatkan sifat-sifat positif seperti kasih sayang, toleransi, dan kepedulian terhadap sesama.
Falsafah puasa juga mengajarkan tentang pentingnya pengendalian waktu dan pengaturan prioritas. Dalam puasa, waktu makan dan minum menjadi terbatas, sehingga seseorang diharuskan untuk mengatur waktu dengan bijaksana. Hal ini mengajarkan nilai-nilai manajemen waktu, efisiensi, dan pengaturan prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, puasa dapat membantu seseorang untuk menjadi lebih produktif dan efektif dalam mengelola waktu dan aktivitas sehari-hari.
Hikmah Puasa
Dari segi mental, puasa dapat membantu melatih disiplin diri, ketekunan, dan ketahanan mental. Ketika seseorang berpuasa, mereka harus menghadapi tantangan untuk menahan diri dari makan dan minum selama periode tertentu. Hal ini memerlukan disiplin dan ketekunan untuk bisa bertahan. Selain itu, puasa juga dapat membantu membentuk ketahanan mental, di mana seseorang belajar untuk mengendalikan keinginan sejenak demi tujuan yang lebih besar, yaitu mendapatkan manfaat ibadah puasa. Dalam proses ini, seseorang belajar untuk menguasai pikiran dan emosi, serta mengontrol impuls untuk memuaskan nafsu duniawi. Hal ini dapat membantu meningkatkan kekuatan mental, mengurangi stres, dan meningkatkan ketahanan psikologis dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.
Selain manfaat fisik dan mental, puasa juga memiliki dimensi sosial dan spiritual yang sangat penting. Dalam konteks sosial, puasa dapat membantu memahami dan merasakan apa yang dialami oleh mereka yang kurang beruntung, yang mungkin harus berpuasa atau menghadapi keterbatasan dalam memperoleh makanan dan minuman. Hal ini dapat meningkatkan empati, kepedulian, serta membuka pikiran dan hati untuk lebih memahami kondisi sesama. Dalam konteks spiritual, puasa dianggap sebagai bentuk ibadah yang mendalamkan hubungan seseorang dengan Tuhan, memperkuat keimanan, ketakwaan, serta meningkatkan kualitas ibadah dan hubungan dengan Sang Pencipta.
Susunan tubuh manusia
Manusia tersusun dari benda (maddi) dan dari yang bukan benda (maknawi), yakni ruh atau spirit. Kedua-duanya bersatu untuk beberapa waktu, menurut kanun yang telah ditetapkan yang tidak dapat dipikirkan akal.
Jisim maddi tersusun dari pada benda-benda kasar. Orang yang dapat melihatnya, niscaya dengan tidak ragu-ragu menetapkan bahwa jisim itu akan hilang lenyap dan akan kembali kepada asalnya masing-masing.
Jiwa atau ruh bukan tersusun dari benda kasar. Karena itu tak dapatlah dihukum fana, atau kembali kepada asalnya.
Tubuh dan jiwa itu mempunyai tuntutan yang berpadanan dengan dirinya masing-masing dan dengan derajat kedu dukannya dalam ujud ini.
Tubuh tiada berbeda sedikit juga dari benda-benda yang lain. Tubuh itu menerima kurang, menerima lebih, menerima lemah, menerima kuat, menerima tersusun dan menerima terurai.
Lantaran itulah tubuh-tubuh membutuhi bahan-bahan yang menegakkan seamsal makanan, pakaian dan tempat kediaman. Adapun jiwa, maka tuntutannya tidak sama dengan tubuh.
Jiwa merindukan kemuliaan kebatinan; mengingini kesempurnaan peradaban dan berusaha mengetahui rahasia-rahasia alam di atasnya, alam yang nyata dan alam yang gaib.
apakah gerangan yang menghambat manusia memperoleh ketinggian rohani dan kesempurnaannya?
Tuhan telah menetapkan adanya perjuangan hebat antara tubuh dengan ruh. Maka mana di antaranya memperoleh kemenangan, dialah yang berkuasa dan hukum perintahnyalah yang berlaku.
Lantaran itu kita dapatlah manusia yang jiwanya dapat dikalahkan tubuhnya, berdaya upaya memenuhi kehendak syah- watnya dengan beraneka warna jalan dan usaha. Sebaliknya kita dapati orang yang dikalahkan tubuhnya oleh ruhnya, tiada memperdulikan lagi kepentingan tubuh.
Golongan orang-orang yang pertama dinamai "materialist" dan golongan yang kedua dinamai golongan "spiritualist."
Manakah golongan yang benar dari kedua golongan ini? Kedua-dua golongan ini salah, keliru dan sesat. Golongan materialist rugi dan golongan spiritualist juga demikian.
Supaya kita tegak di garis tengah yang tidak berat sebelah, perlulah kita memenuhi hak tubuh. Kita harus mewujudkan hak keadilan terhadap tubuh (jisim) yang tersusun dari pada benda-benda itu.
Demikianlah pula kita harus mewujudkannya terhadap ruh kita dengan kita dapat memenuhi kedua hal ini, dapat pulalah kita memperoleh kesempurnaan kemanusiaan kita. Kesempurnaan kemanusiaan itu ialah cita-cita (maksud Islam). Itulah tujuan yang haqiqy dari pada Islam.
Kebutuhan Tubuh Dan Kebutuhan Ruh
Tubuh membutuhi undang-undang yang khas baginya. yang harus dituruti dalam melaksanakan tuntutannya. Itulah dia peraturan-peraturan kesehatan yang telah diuraikan oleh para dokter panjang lebar.
Jiwa menghajati undang-undang yang harus ditaati olehnya supaya terhindar dari rintangan yang merintangi jiwa dan supaya dapatlah naik kepada kedudukan yang menjadi cita-citanya.
Undang-undang yang harus dituturi jiwa telah disusun Allah dengan perantaraan RasulNya menurut keadaan masa dan ke- hendaknya.
Ibadat yang ditetapkan Islam, sebenarnya, tidak sukar diberi tafsirnya (interpretasinya) oleh mereka-mereka yang mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup; karena ibadat-ibadat yang telah ditetapkan Islam terbagi kepada dua bahagian:
Pertama: Ibadat ijtima'iyah.Ibadat Ijtima'iyah, seperti zakat, hajji, maka faedah- nya melengkapi orang-orang yang mengerjakannya sendiri dan orang-orang yang lain (umum).
Ibadat-ibadat dzatiyah, seperti shalat dan shiyam, maka faedahnya, pada lahir mengenai yang mengerjakan ibadat saja.
Jiwa, seperti yang telah diterangkan, mengambil ujudnya langsung dari nur (cahaya) Ketuhanan. Lantaran itu manusia itu tak boleh menjadikan jizim (tubuh)nya yang kesat tebal ini hijab (dinding) yang mendindingi jiwa dari Tuhannya.
Hendaklah manusia berdaya upaya mengadakan hubungan langsung antara jiwa dengan Allah, supaya senantiasa mendapat siraman sinar nur Yang Maha Suci, supaya selalu jiwanya memperoleh tenaga baru dan sanggup mengatasi kehendak-kehendak tubuh,
Maka untuk memperoleh jalan mengadakan "hubungan lang- sung" antara jiwa dengan Allah, Islam memerintahkan kita bershalat dan bershiyam.
Kepentingan Puasa Bagi Jiwa
Puasa sebulan dalam setahun, terhadap jiwa, sama artinya dengan "riyadlah sanawiyah" (sport tahunan).
Peraturan-peraturan kesehatan tubuh menetapkan: supaya setiap buruh (orang yang bekerja) yang mau memelihara kesehatannya, meriadlah kan (bersport) diri sebulan lamanya dalam tiap-tiap setahun. Dalam sebulan itu, ia harus mengurangkan makanan jiwa dan mengurangkan pekerjaan yang memberatkan akal fikiran.
Peraturan-peraturan kesehatan ruh menetapkan: supaya tiap- tiap manusia melatih dirinya sebulan dalam setahun dengan jalan mengurangkan makanan tubuhnya. Kalau para dokter penyakit badan menetapkan: keperluan beristirahat dari pekerjaan otak sebulan lamanya dalam tiap- tiap setahun dengan alasan perlu mengganti tenaga-tenaga tubuh yang telah dipergunakan sebelas bulan lamanya, maka Dokter rohani berhujjah begini: Tenaga-tenaga jiwa yang diperoleh oleh manusia dalam berbimbang dengan kebendaan selama sebelas bulan, perlu diganti dengan mengurangkan makanan selama sebulan dalam setahun.
Dengan demikian tegaslah, bahwa maksud Islam dengan memfardlukan puasa ialah menghasilkan perimbangan antara tubuh hak dan hak jiwa supaya manusia itu menjadi manusia yang sempurna.
Beberapa Faham Yang Fasid Dari Orang Yang Meninggalkan Puasa
Mengingat dan menimbang yang demikian, heranlah kita memikiri keadaan manusia yang beri'tikad bahwa jiwanya kekal, melengahkan urusan jiwa, menyerobot hak jiwa, dan bahkan menghalangi jiwa mencapai makanannya.
Dia hanya memikiri kepentingan tubuh. Lantaran hak tubuh terlalu banyak diberikan, menanglah kebinatangan atas kemanusiaan.
Yang sangat mengherankan kita lagi, ialah persangkaan bahwa puasa itu melemahkan tubuh dan menghalangi bekerja.
Inilah suatu sangka yang fasid dan tidak beralasan. Sangka ini disebabkan karena kelemahan imanNya, disebabkan karena tidak dirasai kelezatan Islam oleh jiwanya.
Perhatikan keadaan para Shahabat yang sangat membanyakkan puasa.
Dalam tempo delapan puluh tahun, shahabat-shahabat itu dapat mencapai ketinggian yang tak dapat dicapai oleh bangsa Romawi dalam tempo delapan ratus tahun. Padahal bangsa Romawi diakui sungguh oleh dunia sebagai bangsa 'ilmu atau raja ilmu.
Boleh jadi ada yang mengatakan: Betapa didakwakan, bahwa ibadat-ibadat itu menghidupkan semangat, membangun, membina dan membawa ketinggian dunia ?
Bukankah ibadat-ibadat itu dimaksud untuk menanamkan benih kebencian kepada dunia dan benih kegemaran dan kecintaan kepada Akhirat.
Kita mengatakan: Orang yang berkata demikian, tiada mengetahui sedikitpun rahasia-rahasia Agama Islam. Tinjaulah kehidupan sosial Reformer Muhammad SAW. Betapa beliau telah menegakkan kemuliaan ummat Islam dan telah mendirikan sendi-sendi dan azas-azas kebenaran Islam?
Sehingga ummat Islam dahulu telah berdiri diatas segala ummat yang ada dipermukaan bumi ini, baik dalam soal 'Ilmu peperangan (strategy), pemerintahan, perindustrian, keuangan, perdagangan, maupun pertanian dan sebagainya.
Puasa Ditinjau Dari Sudut Ilmu Kesehatan
Segolongan manusia mengatakan: "Puasa itu merusakkan maidah dan melemahkan kesehatan."
Sebenarnya puasa itu amatlah utama dilakukan untuk memperoleh kesehatan asal saja segala adab-adabnya dipelihara dengan sesempurna-sempurnanya. Demikianlah kata seorang dokter ahli higiene.
Puasa yang dilebih-lebihkan makanan dan tidak menjaga peraturan-peraturan makan dan peraturan-peraturan waktunya itulah puasa yang mengakibatkan rusaknya pipa penghancur makanan.
Tegasnya puasa yang tiada dipelihara peraturan-peraturan makan, pasti menghasilkan penyakit dan bencana yang merusakkan perut besar.
Puasa itu sesungguhnya, bukanlah hanya berarti menahankan lapar di siang hari dan melepaskan dengan bebas selera makanan dan syahwat di malamnya. Hanya puasa itu, ialah puasa maidah dari yang mengganggunya dan mematahkan yang runcingan nafsu dari memasukkan berbagai rupa makanan yang sukar dihancurkan maidah dalam rongga perut.
Sebagaimana puasa mempunyai beberapa syarat keagamaan yang wajib dituruti, yang apabila tidak dituruti, dihukum telah merusak binasakan puasa, begitulah puasa itu mempunyai beberapa syarat kesehatan yang wajib dipelihara dan dita'ati dengan selengkapnya. Jika tidak dituruti, terjerem bablah orang yang berpuasa itu ke dalam lembah kemelaratan penyakit. Andainya terjadi yang demikian, maka bukanlah puasa itu yang bersalah dan tiadalah patut puasa yang disalahkan tetapi orang yang berpuasa itu sendiri yang rakus, yang dari kerakusannya terjadi bencana yang demikian padanya.
Puasa itu tidak diperintahkan dengan percuma, atau dengan maksud supaya manusia di waktu berbuka apa yang mereka ingini dengan tidak usah memperdulikan undang-undang, aturan-aturan dan tata tertib. Bukanlah sekali-sekali puasa itu diperintahkan supaya manusia melepaskan kekang nafsunya, menerkam berbagai makanan yang membangkitkan berbagai selera yang menyebabkan maidah penuh padat, sarat.
Kita dapati berbagai macam manusia di bulan Ramadlan, yang menyediakan makanan yang bermacam-macam juga minuman yang beraneka ragam untuk berbuka. Mereka tidak memelihara undang-undang makan dan syarat-syaratnya. Dengan karena itu, banyaklah di antara yang mendapat sakit. Sejak dari pukul lima, meja makan telah penuh sesak dengan halwa-halwa, kopi, coklat, mentimun, pisang, kelapa muda, mangga masak, sauh, jeruk, manggis, timpan dan sebagainya.
Begitu tabuh berbunyi, kita lihat tangan bermain di atas meja, mempermainkan garpu dan sendok . mereka memenuhkan maidahnya dengan rupa-rupa makanan. Mereka mengukur kesedapan makanan dengan lidah, bukan dengan ukuran perut. Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Al Miqdam ibn Madi kariba, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
حَسْبَ ابْنَ اَدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ، فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلْمَاءِ ، وَثُلُثٌ لِلتَّنَّفُّسِ
Karenanya wajiblah atas orang yang berpuasa:
- Mencukupi makanan dalam puasa sekedar yang perlu sahaja.
- Memakan makanan yang mudah hancur dikala berbuka, seperti kuah sup.
- Menyempurnakan makan sesudah shalat maghrib.
- Menyedikitkan makanan, jangan terlampau sangat kekenyangan.
نَحْنٌ قَوْمٌ لَانَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ
"Kami ini kaum yang tiada makan sebelum lapar dan apabila kami makan, sekali-kali tidak memadatkan perut."Tegasnya hendaklah kita bangkit terus dari meja makan biar nafsu masih merindukan makanan itu, dan hendaklah kita ingat bahwa mendurhakai syahwat berarti mempertahankan kesehatan dan kecerdasan akal. Berfirman Allah Rabbul Jalil :
"Makanlah kamu dan minumlah kamu, janganlah kamu berlebih-lebih- an, karena Allah tiada menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Ayat 30: S.7: Al 'Araf).Dan pepatah yang masyhur menetapkan
Ahli-ahli ilmu kesehatan telah memperoleh kepastian, bahwa penyakit-penyakit itu mempunyai perhubungan dengan makanan, lantaran itu pelajaran-pelajaran kedokteran sekarang dihadapkan kepada usaha mengobat dengan makanan dan para dokter lebih mengutamakan mengobat dengan makanan daripada mengobat dengan obat sendiri.
Kita persaksikan sendiri, para dokter lebih dahulu menasehati si sakit dengan pantangan (himyah) dan mengatur urusan makanannya; menerangkan sifatnya dan memelihara waktu-waktunya. Kerap kali orang-orang sakit itu diobati dengan makanan dan menahan diri dari padanya selama mereka sakit, Orang-orang yang berpenyakit maidahnya dan berpuasa, keluarlah mereka dari bulan puasa dengan kesehatan yang telah sempurna, sekiranya mereka menuruti syarat-syarat kesehatan dalam agama.
Maidah kita senantiasa payah dan letih dalam melaksanakan kewajibannya. Lantaran itu wajiblah ia memperoleh sedikit kela- pangan untuk melepaskan lelah, buat mengambil kembali kekuatannya yang telah hilang, bahkan kita berikan kepada maidah itu dengan kekuatan iradah kita, waktu yang cukup buat maidah untuk mengembalikan ketangkasannya. Maka bulan puasa itulah sebaik waktu untuk demikian itu.
Lantaran itu juga, maka kita tidak boleh meinaksakan maidah kita bekerja di bulan puasa lebih berat lagi dari bulan-bulan yang lain. Pelajarilah dengan sebaik-baiknya apa yang perlu dituruti di kala berbuka dan bersahur. Dan pelajarilah dengan sebaik-baiknya apa yang wajib dijauhi, supaya puasa kita itu memberi faedah kepada kesehatan dan memberikan tenaga kepada maidah.
Dalam kesimpulannya, puasa memiliki makna yang lebih dalam dari sisi falsafah dan hikmah. Dalam falsafah, puasa mengajarkan pengendalian diri, pengendalian ego, pengaturan waktu, dan pengaturan prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hikmah, puasa memberikan manfaat kesehatan fisik dan mental, melatih disiplin diri, ketahanan mental, serta memiliki dimensi sosial dan spiritual yang penting.
Oleh karena itu, dalam menjalani ibadah puasa, penting untuk memahami makna dan hikmah di baliknya, sehingga dapat menjalankannya dengan penuh penghayatan dan kesadaran, serta memperoleh manfaat yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari.