Soal Jawab Sekitar Puasa
Beberapa Hukum Sekitar Puasa
Kalau seseorang menikam dirinya, atau ditikam orang lain lalu sampai pisaunya itu ke dalam perut, rusaklah puasanya, Hukum ini tidak diperselisihkan ulama Syafi'iyah, walaupun sebahagian pisau berada di luar.
Apabila seseorang menelan ujung benang sedang sebagiannya tinggal di luar, maka jika ujung itu sampai ke dalam perut, batallah puasanya. Demikianlah yang masyhur dalam Mazhab Asy Syafi'i.
Jikalau seseorang memasukkan jarinya atau apa saja dalam duburnya, atau perempuan memasukkan jarinya atau apa saja kedalam duburnya, atau ke dalam qubulnya, walaupun sebahagian yang di masukkan itu tinggal di luar, batallan puasanya. Demikian pendapat Syafi'iyah.
Jika seseorang meneteskan air atau minyak, atau lainnya dalam telinganya, lalu sampai ke dalam otak, batallah puasanya. Demikianlah pendapat yang paling sahih dalam kalangan Syafi'iyah.
Menurut perkataan Abu Ali As Sindi. Al Qadli Husain, Al Faurani dan di sahihkan oleh Al Gazzali, tidak membatalkan puasa, sama dengan memakai selak.
Jikalau seseorang menelan sesuatu, walau sangat kecil seperti biji sawi, batallah puasa. Ketetapan ini tidak diperselisihkan ulama Syafi'iyah. Dan demikian pula pendapat Jumhur ulama. Menurut perkataan Al Mutawalli, yang demikian itu, batal puasa menurut ulama Syafi'iyah, tidak batal menurut Abu Hanifah.
Apabila tinggal sisa makanan di gigi, maka seyogialah dibersihkannya itu; karenanya, jika sampai waktu pagi masih ada sisa makanan di gigi, lalu ditelan dengan sengaja batallan puasanya. Ketetapan ini tidak diperselisihkan ulama Syafi'iyah. Demikian pula pendapat Malik, Abu Yusuf dan Ahmad. Menurut pendapat Abu Hanifah tidak batal. Dan menurut Zufar, batal, bahkan wajib kaffarat.
Menelan liur, tidak membatalkan puasa. Berkata Ulama Syafi'iyah: 'Menelan liur tidak membatalkan puasa, disyaratkan bahwa liur itu tidak bercampur dengan sesuatu yang lain dan bila bercampur, dan berobah warnanya, batallah puasa, dan disyaratkan pula liur itu belum keluar dari batas mulut belum meliwati bibir. Dan disyaratkan lagi liur itu tidak sengaja dikumpul, kemudian ditelan.
Jika seseorang bersikat gigi, dengan sikat yang basah, dan bercerailah sesuatu yang terlekat pada sikat itu, walaupun merupakan sisa air pada sikat itu, lalu ditelan, batallan puasa. Demikianlah ditegaskan oleh Al Faurani dan lain-lain.
Jikalau seseorang menelan liur orang lain, batallah puasanya. Dalam pada itu ada Hadits yang diriwayatkan Abu Daud yang menyatakan bahwasanya Nabi pernah mencium Aisyah dan menghisap lidahnya. Ulama Syafi'iyah menta'wilkan Hadits ini dengan mengatakan bahwasanya Nabi meludahkan air liur 'Aisyah, tidak menelannya,
Menelan dahak, yang tidak keluar dari batas mulut, tidaklah membatalkan puasa. Jika dahak itu turun dari otak, hingga sampai kepangkal kerongkongan, maka jika tidak dapat diludah dan turun ke dalam perut, tidaklah membatalkan puasa, tetapi jika sengaja ditarik ke dalam mulut kemudian ditelan, maka batallah puasa. Demikianlah pendapat Jumhur ulama. Dalam pada itu pengarang kitab Al Uddah dan Al Bayan, menerangkan ada pendapat yang tidak membatalkan, karena hal yang demikian itu masuk ke dalam hal-hal yang dima'afkan.
Apabila seseorang sengaja muntah, batallah puasanya, tetapi kalau tak dapat menahan muntah, tidak batal puasanya, Dua ketentuan ini tidak diperselisihkan Ulama Syafi'iyah. Me- ngenai muntah yang disengaja sendiri, ada dua pendapat ulama Syafi'iyah:
Pertama, Yang dipahamkan dari perkataan As Sirali, yaitu sengaja muntah itu sendiri mematalkan puasa.
Kedua: Kembali sesuatu dari muntah itu ke dalam perut.
Maka apabila seseorang muntah dengan bercungkil balik atau berhati-hati benar dan diyakinkan bahwa tak ada muntah yang kembali dalam perut, tidak batal puasanya. Demikianlah pendapat Imam Haramain. Apabila kita mengatakan bahwa muntah dengan sengaja. membatalkan puasa, maka wajiblah diqadlakan puasa wajib dan tiada dikenakan kaffarat.Barangsiapa sengaja muntah, batallah puasanya. Dalam pada itu tidak dikenakan kaffarat. Demikian menurut Asy Syafi'i. Demikian pulalah Mazhab Jumhur. Menurut Atha' dan Abu Tsaur, dikenakan qadla dan kaffarat.
Apabila seseorang menarik dahak dari perutnya dan meludahkannya, maka tidaklah batal puasanya. Demikianlah ditetapkan oleh Al Hannathi dan kebanyakan Ulama. Menurut nukilan Abu Muhammad Al Juwaini, dalam hal ini, ada dua pendapat: Yang paling sahih dari dua itu, perbuatan tersebut tidak membatalkan puasa. (Kedua) membatalkan puasa, sama dengan muntah.
Al Gazzali berkata: "Tempat keluar haraf "ha", masuk ke dalam bahagian perut; sedang tempat keluar "Kha" masuk bahagian luar. Pendapat Al Gazzali ini disetujui Ar Rafi'i,
Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy