SIKSA BAGI ORANG MENINGGALKAN SHALAT
291) 'Ubadah ibn Shamit ra. berkata:
"Rasulullah saw. bersabda: Allah telah memfardhukan atas hamba-hamba-Nya shalat lima waktu. Barangsiapa yang mengerjakannya dengan sempurna; tidak menyia-mylakan sesuatu dari shalat itu karena menyepelekan hak shalat, maka baginya ada jaminan (perjanjian Allah) akan memasukkannya ke dalam surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya tidak ada baginya jaminan (perjanjian) Allah akan memasukkan ke dalam surga. Jika Allah kehendaki, Allah ampunkan dosanya dan jika Allah kehendaki Allah mengazabkannya." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y dan Ibnu Majah; Al-Muntaga 1: 191)
292) Abu Hurairah ra, berkata:سَمِعْتُ رَسُول الله يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاتُ الْمَكْتُوبَةُ فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلَّا قَبْلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍِ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمَلَتِ الفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ يَفْعَلُ بِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الْمَفْرُوضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ
"Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya permulaan amal yang dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat, ialah shalat maktubah (shalat lima). Jika sempurna shalatnya itu, disempurnakanlah urusan shalat baginya. Jika tidak sempuma shalat maktubahnya, dikatakan kepada pemeriksa: Coba periksa shalat sunnatnya. Jika ada shalat sunnatnya, disempurnakanlah shalat maktubahnya dengan shalat yang sunnat itu. Demikianlah dilakukan terhadap segala amalan-amalannya yang lain." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y dan At-Turmudzy; Al-Muntaga 1: 193).293) Ubadah ibn Shamit ra, berkata:
قَالَ رَسُولُ الله : مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنْ عَيْسَى عَبْدُ اللهِ وكَلِمَتُهُ الْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةَ وَالنَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ
"Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengaku bahwa tidak ada Tuhan selain dari Allah sendiri-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad utusan-Nya, bahwa Isa hamba Allah dan kalimah-Nya yang dicampakkan kepada Maryam dan suatu ruh dari pada-Nya, bahwa surga, neraka benar adanya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga menurut keadaan amalannya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaga 1: 193)294) Abu Hurairah ra berkata:
قَالَ النَّبِيُّ : أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِنِي مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
"Rasulullah saw bersabda: Orang yang paling berbahagia di hari kiamat, dengan syafaatku, ialah orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan hati yang tulus bersih, kokoh terpateri dalam lubuk jiwanya." (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 195)295) Utsman ibn 'Affan ra, berkata:
"Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mati sedang dia meyakini benar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, masuklah dia ke surga." (HR. Muslim; Shahih Muslim h 26)
296) Jabir ra, berkata:ِقَالَ رَسُولُ الله بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاة
"Rasulullah saw, bersabda: Di antara ciri-ciri yang membedakan seseorang hamba (muslim dengan kafir) ialah meninggalkan shalat." (HR. Al-Jama'ah selain dari Al-Bukhary: Al-Muntaqa 1: 191)297) Buraidah ra. berkata:
ْسَمِعْتُ رَسُولَ الله يَقُولُ: الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَن تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Perjanjian (batas) yang diletakkan antara kita umat Islam dengan orang kafir ialah shalat. Maka barangsiapa mening- galkan shalat kafirlah dia." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y dan At-Turmudzy: Al-Muntaga 1: 191)298) 'Abdullah ibn Amar ra. berkata:
"Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memelihara shalat dengan sebaik-baiknya, maka shalat akan menjadi nur baginya yang akan menerangi jalan, burhan yang menguatkan hujjahnya dan tenaga melepaskan diri di hari kiamat. Barangsiapa tidak memelihara shalat dengan sebaik-baiknya, maka tidak ada baginya nur, burhan dan tidak ada yang melepaskan diri dari azab di hari kiamat. Dia dikumpulkan pada hari beserta Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay ibn Khalaf." (HR. Ahmad; Al- Muntaga 1: 191)
299) Abdullah ibn Syaqiq Al-Uqaili ra, berkata:
"Sahabat Rasul saw. semuanya menetapkan, bahwa: amalan orang yang meninggalkannya bisa dianggap kufur, hanyalah shalat." (HR. At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 191)
SYARAH HADITS
Hadits (290) ini dipandang shahih oleh Ibnu Qaththan dan Al-Iraqi. Hadits ini menyatakan bahwa kekurangan-kekurangan dalam menunaikan amalan fardhu dapat disempurnakan oleh amalan-amalan sunnat (nawafil). Dan menyatakan pula bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tidak dikufurkan karena mengingat kekurangan fardhu-fardhu itu, boleh karena tidak mengerjakan sebagiannya, boleh pula karena kekurangan sifat-sifat yang menyempurnakannya.
Hadits (293), menyatakan bahwa seseorang yang telah mempercayai adanya Allah dan kerasulan Muhammad serta mempercayai Isa sebagai hamba Allah dan kalimat-Nya dan Ruh-Nya; mempercayai surga, neraka, niscaya ada jalan untuk masuk ke surga, walaupun amalan-amalannya jauh dari sempurna.
Hadits (294), menyatakan bahwa orang yang mengucapkan kalimat syahadat (la ilaha illallah) dengan setulus hatinya, memperoleh syafaat Nabi saw, di hari kiamat.
Hadits (295), menyatakan bahwa seseorang yang telah bersyahadat, berarti telah ada baginya jalan untuk masuk ke surga.
Hadits (296), menyatakan bahwa meninggalkan shalat, menjadi kafir.
Hadits (297) juga diriwayatkan Abu Daud, An-Nasa'y, At-Turmudzy dan Ibnu Majah. At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini hasan shahih." Hadits ini juga diri- wayatkan oleh Ibnu Majah. At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini hasan shahih." Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan Al-Hakim dalam Al- Mustadrak. Ibnul Qayyim mengatakan. "Hadits ini diriwayatkan menurut syarat Muslim (shahih)." Hadits ini menyatakan bahwa yang membedakan antara orang Islam dengan orang kafir ialah shalat. Apabila seseorang meninggalkan shalat, maka ia menjadi kafir.
Hadits (298), Al-Hafizh Al-Mundziri mengatakan, "Sanadnya baik." Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hadits ini menyatakan bahwasanya pada hari kiamat shalat adalah nur bagi orang yang mengerjakannya.
Ibnul Qayyim dalam Ash-Shalah: "Disebutkannya empat tokoh kesesatan yang tersebut dalam hadits ini adalah untuk memberi pengertian dengan secara halus bahwa:
- Orang yang meninggalkan shalat, karena disibukkan oleh harta, dikum- pulkan beserta Qarun.
- Orang yang meninggalkan shalat, karena mabuk kekuasaan, dikumpul- kan beserta Fir'aun.
- Orang yang meninggalkan shalat, karena kesombongan dalam pemerin- tahan, dikumpulkan beserta Hamman; dan
- Orang yang meninggalkan shalat, karena dilalaikan perniagaan, dikum- pulkan dalam golongan Ubay ibn Khalaf
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebut hadits ini dalam At Talkhish dengan tidak mencacarkannya. Hadits ini menyatakan bahwa seluruh sahabat hanya mengkufurkan orang yang meninggalkan shalat saja.
Ulama Islam tidak berselisih paham tentang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, lantaran mengingkari kefardhuannya, kecuali jika orang itu baru saja memeluk agama Islam (belum lama mempelajari Islam untuk mengetahui hukum-hukumnya).
Mengenai orang yang meninggalkan shalat karena kemalasannya, tetapi mengakui kefardhuannya, para ulama berlainan-lainan pendapat. Ada yang meng- hukumkan kafir orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Ada yang tidak mengkafirkan, hanya memfasikkan saja.
Golongan yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat fardhuIbnu Abi Syaibah mengatakan, Rasulullah saw. telah bersabda: "Barangsiapa meninggalkan shalat, kafirlah dia."
Muhammad ibn Nasher Al-Marqazi mengatakan, Aku mendengar Ishak ibn Rahawaih mengatakan, "Telah shahih hadits dari Nabi bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir."
Diriwayatkan dari Hammad ibn Zaid, dari Ayyub, katanya: "Meninggalkan shalat adalah kufur. Tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini." Muhammad Ibnu Hazmin mengatakan, "Telah dinukilkan dari 'Umar, Abdurrahman ibn Auf, Muadz ibn Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat yang lain bahwa orang yang mening- galkan satu shalat fardhu dengan sengaja hingga keluar waktu shalat, hukumnya kafir dan murtad."
Al-Mundziri mengatakan, "Segolongan sahabat besar dan tabiin, mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga luput waktunya. Di antara para imam-imam madzhab berpendapat demikian, ialah 'Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ishak ibn Rahawaih, Ibnu Mubarak, An-Nakha'y, Al-Hakam, Ibnu Uyainah, Ayyub As-Sakhtayani, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan lain-lain."
Golongan yang tidak mengkufurkan orang yang meninggalkan shalat
Golongan Asy-Syafi'y, Maliki dan golongan Itrah menetapkan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, asal tetap mengaku kefardhuannya, hukumnya tidak kafir, walaupun mereka dihukum mati jika tidak mau bertobat.
Abu Hanifah mengatakan, segolongan ulama Kuffah dan Al-Muzani: "Orang yang meninggalkan shalat, hukumnya tidak kafir, hukumnya hanya dianggap sebagai orang yang durhaka saja."
Hujjah yang dikemukakan oleh kedua belah pihak
Golongan yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat berhujjah (ber alasan) dengan hadits (296, 297, 298, 299) dan dengan hadits-hadits yang sernakna dengannya, dan masih banyak lagi. Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada lahir hadits. Mereka tidak mentakwilkannya.
Golongan yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, berhujjah dengan firman Tuhan: "Bahwasanya Allah tidak mengampuni dosa syirik (dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia) dan mengampuni segala dosa selain itu." Mereka ber- alasan pula dengan hadits (290, 291, 292, 293 dan 294). Hadits (296) sampai hadits (298) mereka takwilkan.
Mereka mengatakan, "Yang dimaksudkan dengan kufur oleh hadits-hadits ter- sebut ialah, kufur nikmat (mengingkari nikmat Tuhan seru sekalian alam)." Sebagian mereka berkata: "Yang dimaksud dengan kekafiran, ialah kemungkinan mem- bawa kepada kekafiran, atau menyerupai perbuatan orang kafir atau mengakibatkan dihukum dengan hukuman yang sama bagi orang kafir (dibunuh)."
Selain itu, ulama berlainan pendirian tentang seseorang yang hanya mengucapkan dua kalimat syahadat atau la iaha illallah saja. Apakah ucapan itu dengan sendirinya, menjadi jaminan dia masuk ke dalam surga, atau ucapan itu berkait dengan berbagai tugas dan kewajiban lain?
Asy-Syaukani mengatakan, 'seluruh ulama, baik dari Asy'ariyah, Maturidiyah, maupun dari Mu'tazilah berpendapat bahwa hadits-hadits yang menerangkan orang yang mengucapkan: la ilaha illallah, masuk ke surga masih dikaitkan dengan mengerjakan tugas-tugas agama yang diwajibkan Allah dan dengan catatan tidak mengerjakan suatu dosa besar dan telah bertobat. Mereka berpendapat, bahwa semata-mata mengucapkan dua kalimah syahadat tidak memastikannya masuk ke surga. Mereka berbeda pendapat tentang kekal atau tidaknya orang yang menger- jakan dosa besar yang tidak bertobat, dalam neraka. Sedang dia pernah meng- ucapkan dua kalimah syahadat."
Kaum Mu'tazilah menetapkan bahwa orang yang demikian, adalah kekal dalam neraka. Golongan Asy'ariyah menetapkan tidak kekal. Orang itu dimasuk- kan ke dalam neraka sekedar karena banyak dosanya. Kemudian dipindahkan ke dalam surga. Ringkasnya semua ulama berpendapat, bahwa tidak semata-mata orang yang mengucap kalimah syahadat menjadi jaminan masuk surga.
Diriwayatkan dari Ibnu Musayyab, ujarnya "Ketetapan yang terkandung dalam hadits tersebut adalah ketika belum lagi difardhukan berbagai bentuk fardhu yang lain." An-Nawawy mengatakan, "Hadits ini terlalu ringkas (magmal), tidak terinci se- cara jelas. Karena itu perlu kepada ulasan dan penjelasan. Maka makna: barangsiapa membaca kalimah la ilaha illallah, masuk surga, ialah membaca kalimah dan menunaikan segala hak dan fardhunya." Pendapat ini dipegang oleh Hasan Bisri. Al-Bukhary mengatakan, "Dengan mengucapkan kalimah itu saja bisa masuk surga, adalah jika diucapkan ketika menyesali perbuatan maksiat, bertobat kemudian mati sebelum sempat mengerjakan suatu dosa yang lain."
An-Nawawy mengatakan, "Hadits yang berkenaan dengan soal ini dapat kita kompromikan dengan jalan menetapkan bahwa yang dikehendaki dengan berhak masuk surga bagi mereka yang mengucapkan kalimah tauhid, ialah masuk sesudah mendapatkan azab di neraka."
Masalah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, telah ditahqiqkan Ibnul Qayyim dalam kitab Ash-Shalah. Di bawah ini kami nukilkan beberapa hal yang dipandang perlu saja.
Untuk mengetahui mana yang benar dari dua aliran paham yang telah diper- debatkan para mujtahidin, kita hendaknya lebih dahulu mengetahui hakikat iman dan hakikat kufur. Sesudah kita mengetahui hakikat iman dan kufur, barulah sah kita menetapkan kekafirannya, atau tidak kekafirannya; karena iman dan kufur adalah dua hal yang berlawanan, apabila hilang salah satunya, maka yang lain akan menggantikannya. Mengingat bahwa iman, adalah suatu pokok dasar yang mempunyai beberapa cabang dan tiap-tiap cabang dinamaikan juga iman (sebagaimana orang menamakan pelepah kelapa dengan pelepah kelapa) shalat pun menjadi sebagian dari iman.
Zakat, haji, puasa dan amalan-amalan batin, seperti malu, menyerahkan diri kepada Allah, takut akan Allah, adalah sebagian dari iman juga; karena semuanya berpokok pada iman. Cabang-cabang iman ada yang menghilangkan seluruh iman, ada yang tidak Ada pula beberapa cabang (rangka) yang dihubungkan kepada cabang-cabang yang menghilangkan sebagian iman. Bila iman dianggap satu sistem, maka cabang iman adalah sub sistemnya.
Demikian pula keadaan kufur. Kufur juga mempunyai pokok dan cabang, sebagaimana cabang-cabang iman dinamakan iman, maka begitu pula cabang-cabang kufur dinamakan kufur, sebagaimana menjadi cabang atau bagian bagi kufur.
Sesungguhnya cabang-cabang iman ada yang berupa ucapan lidah dan ada yang berupa perbuatan anggota. Demikian juga cabang-cabang kufur, ada yang berupa ucapan dan perbuatan serta tingkah laku. Di antara cabang-cabang iman baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, ada yang menjadikan hilangnya seluruh iman. Sebaliknya ada beberapa ucapan dan perbuatan yang menjadi cabang kufur, bila dilakukan menjadikan kekafiran.
Hakikat iman terdiri dari ucapan dan amalan anggota. Ucapan-ucapan tersebut dibagi menjadi:
- Ucapan hati (jiwa) seperti i'tikad:
- Ucapan lidah (lisan), seperti menyebut dua kalimat syahadat.
- Amalan hati seperti niat, dan ikhlas;
- Amalan anggota, seperti shalat.
Apabila iman dihukum hilang karena kehilangan amalan hati, seperti hilangnya cinta kepada Allah dan hilangnya rasa tunduk patuh kepada-Nya, maka tidaklah diingkari jika dikatakan: telah hilang iman disebabkan oleh hilangnya amalan anggota tubuh seperti shalat Istimewa jika shalat itu ditinggalkan karena tidak cinta lagi kepada Allah, dan tidak tunduk patuh. Tidak cinta dan tidak menurut (mengikut) itu, membawa kepada tidak diakuinya lagi pengakuan yang membe- narkan dengan hati, sekiranya hati (jiwa) mentaati dan menuruti, tentu tampak tandanya pada anggota yakni anggota mengikuti dan menuruti (mengerjakan se gala yang diperintahkan dan menjauhkan segala yang dicegah). Tidak menuruti dan mentaati, mewujudkan tidak membenarkan. Harus diketahui bahwa hakikat iman, ialah: membenarkan dengan hati yang dituruti oleh ketaatan anggota. Demikian juga kedudukan makrifat. Bukanlah makrifat semata-mata mengetahui dan menge- nali. Makrifat ialah mengakui dan mengenali yang disertai oleh bekerja dan mengikuti.
Pengertian kufurKufur terbagi menjadi dua
- Kufur amali; dan
- Kufur juhudi dan inadi
Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena keterangan dari beberapa hadits bahwa Nabi saw. menamakan mereka demikian. Hanya kekafiran yang diberikan kepada orang yang meninggalkan shalat, kufur amali; bukan kufur itiqadi. Demikian yang dimaksudkan oleh para sahabat dalam menamakan orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan si kafir.
Para sahabat yang lebih mengetahui maksud Al-Qur'an, dengan kedudukan Islam dan kedudukan kufur dan segala yang melazimi Islam (iman) dan kufur itu. Hendaknya kita jangan menerima berbagai macam pendapat dalam soal ini, selain yang diperoleh dan diterima dari sahabat. Para mutaakhirin banyak memberikan pemahamanan tentang hal ini. Karena itu, mereka terbagi menjadi dua bagian:
- Golongan yang mengeluarkan orang yang mengerjakan dosa besar dari iman (Islam) dan menghukum mereka dengan kekal abadi dalam neraka.
- Golongan yang menyatakan, bahwa mereka yang meninggalkan shalat, masih dihukum sempurna imannya (Islamnya).
Syirik terbagi dua, ada yang mengeluarkan kita dari agama, yaitu syirik akbar, ada yang tidak mengeluarkan kita dari agama, yaitu syirik ashghar. Demikian juga keadaan nifaq. Ada nifaq i'tiqadi, ada juga nifaq amali. Nifaq i'tiqadi mengeluarkan kita dan agama. Nifaq amali, tidak mengeluarkan kita dari agama, kecuali jika nifaq amal itu telah mengakar pada jiwa. Apabila nifaq amal telah terhunjam kokoh dalam lubuk jiwa manusia, mungkin bisa mengeluarkan manusia dari iman. Walaupun manusia masih shalat, puasa dan mengakui dirinya muslim.
Apabila seseorang mempunyai suatu rangkai dari rangkaian iman, atau bebe rapa rangkaian, kadang-kadang dinamakan mukmin, terkadang tidak (belum) dina makan mukmin. Sebagaimana apabila seseorang mempunyai suatu rangkai dari rangkaian kufur, terkadang orang itu dinamakan dengan kafir dan terkadang tidak. Karena dengan tidak adanya seseorang mempunyai suatu rangkai iman, belum tentu dinamakan kafir. Umpamanya seseorang yang mengetahui sedikit dari ilmu kedokteran, tidak dinamakan dokter walaupun ilmu yang ada padanya itu diakui ilmu kedokteran
Adapun inti pembicaraan kita ialah untuk menentukan: apakah shalat adalah syarat sah iman
Berbagai dalil yang telah dibentangkan dalam masalah ini, menunjukkan kepada tidak diterimanya amalan-amalan seseorang jika orang tersebut tidak shalat. Shalat adalah kunci dari sebuah pintu. Shalat adalah pokok modal. Mustahil seseorang memperoleh laba dan untung jika tidak bermodal. Maka apabila seseorang meninggalkan shalat, merugilah dia dalam semua perniagaannya. Hal ini telah disyaratkan Rasul dengan sabdanya: "Jika shalat disia-siakan tentulah yang selain dari shalat, lebih-lebih lagi ia sia-siakan." Bersabda pula Nabi saw: "Amal yang paling mula sekali diperhatikan pada hari kiamat ialah: shalat."
Ringkasnya, dapat kita pahami dari uraian-uraian ulama, bahwa seseorang yang meninggalkan shalat satu atau dua kali, maka tidak dihukurn kafir yang bisa mengeluarkannya dari agama, atau bahkan mengekalkannya di dalam neraka. Tetapi, apabila terus-menerus tidak shalat, maka itulah tanda iman sudah tidak bersemi di dalam jiwa; dan merupakan tanda bahwa pengakuannya sudah tidak benar. Inilah yang menyebabkan ia kekal dalam neraka.
Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Hukum Mengerjakan Shalat