KEHARUSAN MENIKAH BAGI YANG MAMPU
KEHARUSAN MENIKAH BAGI YANG MAMPU
3143) Ibnu Mas'ud ra. menerangkan:
قَالَ رَسُولُ الله : يَا مَعْشَرَ الشَّابَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَرَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Rasulullah saw, bersabda: "Wahai jamaah pemuda, barang siapa diantara kamu yang sanggup membelanjai rumah tangga (sanggup beristeri) maka hendaklah dia beristeri, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memejamkan mata dan lebih dapat memelihara nafsu syahwat dan barang siapa tiada sanggup beristeri, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya berpuasa itu adalah untuk meredam gejolak syahwat." (HR. Al-Jama'ah; Al-Muntaqa 2: 493)3144) Sa'ad ibn Abi Waqqash ra. menerangkan:
345) Anas ibn Malik ra, menerangkan
قَالَ بَعْضَهُمْ لا أَروجُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ أُصَلِّي، وَلاَ أَنَامُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ أَصُوْمُ وَلَا أَفْطِرُ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ فَقَالَ: مَابَالُ أَقْوَامٍٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا؟ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ: وَأُصَلِّي وأنَامُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاء فَمَنْ رَغِب عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّى
"Sebagian sahabat Nabi saw. berkata kepada sesamanya: "Saya tidak mau beristeri. Sebagian yang lain berkata: "Saya akan shalat terus-menens sepanjang malam, dan tidak tidur dan yang lain berkata pula: "Saya akan terus menerus berpuasa tidak berbuka-buka. Maka sampailah kabar itu kepada Nabi saw., lalu Nabi saw. bersabda: "mengapakah orang-orang berkata begini dan begini, padahal saya ber- puasa, berbuka, shalat, tidur dan mengawini perempuan. Maka barang siapa benci kepada sunnahku dia bukanlah dari golonganku." (HR. Al-Bukhari dan Muslim; Al-Muntaqa 2: 494)3146) Atha' ibn As-Saib menerangkan:
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلَ زَوَّجْتَ ؟ قُلْتُ: لَا قَالَ: تَزَوَّجْ، فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا
"Ibnu Abbas ra, berkata kepada Sa'ad ibn Zubair: "Apakah engkau mau berister? Dia menjawab: "Tidak" Ibnu Abbas ra. berkata: "Beristerilah, karena orang yang paling baik dari ummat ini ialah yang banyak isteri." (HR. Ahmad dan Bukhari; Al-Muntaga 2: 494)3147) Samurah ra, menerangkan
أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِِ وَقَرأَ قَتَادَةُ: ولَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Nabi saw. melarang kita ber-tabattul (menghindari perkawinan sama sekali). Qatadah seorang perawi hadits ini membaca: "Walaqad arsalná rusulan min qablika waja'alná lahum azwajam wadzurriyyatan dan sesungguhnya Kami telah utus beberapa Rasul sebelummu dan Kami telah jadikan bagi mereka isteri dan keturunan." (HR. At-Turmudzy dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 2: 494)SYARAH HADITS
Hadits (3143) menyatakan bahwa bernikah bagi orang yang mampu membelanjai rumah tangga, dan mempunyai nafsu syahwat, adalah wajib. Orang yang tidak mempunyai kesanggupan beristeri lantaran tidak mempunyai penghasilan hendaldah berpuasa. Atau menyatakan bahwa orang yang telah sampai kepada masa berjima' dan sanggup melakukannya, hendaklah beristeri. Dan kalau tidak sanggup beristeri hendaklah berpuasa.Hadits (3144) menyatakan bahwasanya Rasulullah saw. tidak membenarkan para sahabat menjauhkan diri dari beristeri untuk tekun beribadah.
Hadits (3145) menyatakan bahwa yang disyariatkan dalam beribadah ialah: kita mengerjakannya dengan tidak terlalu memaksakan diri, karena hal itu meng- akibatkan kita tidak mampu mengerjakannya dengan sempurna. Hadits ini juga menyatakan pula bahwa orang yang mengutamakan rahbariyah (tidak beristeri), adalah orang yang tidak menyukai sunnah Nabi saw.Hadits (3146) menyatakan bahwa orang yang paling baik diantara ummat Muhammad saw, ialah orang yang paling banyak isteri.
Hadits (3147) Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dan Ibnu Majah. Menurut At- Turmudzy hadits ini hasan gharib. Tentang adanya Al-Hasan mendengar hadits ini dari Samurah, diperselisihkan ulama. Hadits ini menyatakan bahwasanya Nabi saw. melarang para shahabat ber-tabatud, yakni menjauhkan diri dari kelezatan-kelezatan dunia dan syahwat-syahwat keduniaan, untuk menghabiskan seluruh waktu guna beribadah.
Para ulama membagi hukum nikah kepada lima bagian:
- Sunnah, yaitu: bagi mereka yang mempunyai nafkah untuk bernikah dan mempunyai kemampuan untuk itu dan membelanjai isteri, serta khawatir dirinya akan terjerurnus ke dalam perzinaan. Bagi mereka menikah adalah sunnah menurut jumhur ulama dan wajib menurut golongan Hanbaliyah. Pendapat golongan Hanbaliyah disetujui oleh Abu Awanah Al-Isfarayini dari golongan Syafi'iyah. Dan demikianlah pendapat Daud dan pengikut-pengikutnya. Ibnu Hazm berkata: "Diwajibkan bagi semua orang yang sanggup beristeri atau memelihara budak, dia wajib bernikah atau mengawini budaknya. Jika dia tidak sanggup beristeri atau mengawini budak, hendaknya ia membanyakkan puasa. Demikian pendapat golongan ulama salaf. Dalam riwayat Ahmad, bemikah wajib bagi orang yang sanggup, hanyalah apabila dia takut akan terjerumus ke dalam pezinaan. Alasan Jumhur untuk menyunnahkan saja, ialah karena Allah membolehkan kita memilih antara beristeri dan memelihara budak sedang beristeri itu tidak wajib dengan ijma'. Kalau demikian beristeripun tidak wajib. Dalam pada itu mengemukakan ijma' di sini, tiada benar, karena Daud dan Ibnu Hazm membantah pendapat yang menyunnahkan.
- Mereka yang tidak mempunyai keinginan kawin dan tidak mempunyai belanja, terhadap mereka dimakruhkan.
- Mereka yang mempunyai belanja, tetapi tidak mempunyai nafsu kawin. Terhadap mereka, menurut Asy-Syafi'y dan Jumhur Ashhabnya, lebih utama tidak beristeri, walaupun tidak makruh jika ia bernikah. Menurut Abu Hanifah, sebagian Ashhab Asy-Syafi'y dan Ashhab Malik, lebih utama bernikah.
- Mereka yang tidak dapat memenuhi hak isteri, tidak dapat menyetu buhinya dan tidak dapat menafkahinya, terhadap mereka ini, haram ber nikah.
- Mereka yang tidak mempunyai nafsu kawin, tetapi isteri tidak keberatan bila si suami tidak memenuhi haknya. Terhadap mereka ini makruh hukumnya. Dan lebih-lebih lagi makruh apabila karena perkawinan dia meninggalkan sesuatu tha'at yang telah biasa dikerjakannya.
Al-Qadhi yadh berkata: "Terhadap mereka yang diharap akan mempunyai keturunan, disunnahkan untuk bemikah, walaupun dia tidak mempunyai nafsu untuk bersetubuh. Demikian pula terhadap mereka yang mempunyai keinginan untuk bercumbu dengan isteri dengan cara-cara yang lain dari persetubuhan Terhadap mereka yang tak ada mempunyai hasrat kepada para perempuan, mubah hukumnya, jika si isteri tidak merasa keberatan.
Para ulama berselisih pendapat tentang apakah nikah itu ibadah atau bukan.
Golongan Syafi'iyah mengatakan, nikah itu bukan ibadah. Karenanya apabila seseorang berazar untuk menikah, maka nazamya tidak sah.
Golongan Hanafiyah menetapkan, bahwa nikah adalah suatu ibadah.
Menurut Al-Hafizh, tiap-tiap nikah yang dimaksud untuk memelihara diri dari perzinaan, haruslah kita pandang ibadah.
Para ulama berhujjah dengan perkataan Nabi saw. "Fa innahu lahu wijaaun" untuk membolehkan kita menggunakan obat, guna menghilangkan syahwat. Dalam pada itu Al-Baghawy berkata: "Obat yang boleh dipakai hanyalah obat yang mengurangi rangsangan saja, bukan yang menghilangkan syahwat sama sekali.
Sebagian ulama berkata: Anjuran Nabi saw supaya orang yang tak sanggup mengongkosi pembelanjaan rumah tangga, supaya berpuasa, menunjukkan bahwa istina' itu haram. Seandainya istinna' itu mubah, tentu Nabi saw. tidak menyuruh kita berpuasa.