AZAN DAN PERKEMBANGANNYA
PERMULAAN ADZAN DAN PERKEMBANGANNYA
374) Ubaid ibn Umair Al-Laits ra. menerangkan:َاِنَّ عُمَرَ لَمَّا رَأَی الْأَذَنَ جَاءَ لِيُخْبَرَ النَّبِيَّ فَوَجَدَ الْوَحْيَ قَدْ وَرَدَ بِذَلِك فَمَا رَاعَهُ إِلَّا آذَانُ بِلَالٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ سَبَقَكَ بِذَالِكَ الْوَحْيُ
SYARAH HADITS
Hadits (374), diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Al-Marasil dan oleh Abdurrazzaq, derajatnya Mursal. Hadits ini menyatakan, bahwa penetapan adzan dan ketentuan-ketentuan lafazhnya bukanlah semata-mata berdasar kepada mimpi 'Umar atau lainnya. Penetapan adzan berdasarkan wahyu yang mensyariatkannya. Menurut riwayat Ishak, wahyu ini datang delapan hari sebelum 'Umar memimpikan adzan.Disebut dalam kitab Al-Adzan susunan Abu Syaikh, bahwa adzan diturunkan kepada Nabi beserta dengan ayat, "Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat di hari Jun'at, bersegeralah kamu pergi menghadiri jamaah-jamaah jum'at (dzikrullah)". Perintah adzan diturunkan bersama dengan perintah mendirikan shalat Jum'at.
Menurut sejarah, ketika Nabi tiba di Quba dalam perjalanan hijrah ke Madinah, beliau tinggal beberapa hari hingga pagi hari Jum'at (menurut riwayat beliau sam pai ke Quba pada hari Senin). Pada pagi hari Jum'at itu, Nabi berangkat dari Quba menuju ke Madinah, lalu berhenti di alur (lembah) Banu Auf serta mengerjakan shalat Jum'at di situ. Inilah Jum'at yang pertama sekali dikerjakan Nabi.
Ibnu Mundzir mengatakan, "Pada mulanya Nabi shalat dengan tidak beradzan. Sejak dari shalat yang difardhukan (setahun sebelum hijrah), sampai saat Nabi mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka umat Islam di Madinah tentang cara menyerukan umat dalam menghadiri jamaah." Ibnu Hibban menetapkan, bahwa adzan disyariatkan beserta dengan difardhukan shalat. Ringkasnya, ulama berbeda pendapat tentang penentuan permulaan adzan dalam Islam.Menurut pemeriksaan kami, pendapat Ibnu Mundzir adalah yang kuat. Riwayat Abu Syaikh lemah. Penetapan ini berdasar kepada riwayat Al-Bukhary, Muslim, At-Turmudzy, An-Nasa'y, dari 'Abdullah Ibnu Umar, ujarnya, "Orang- orang Islam ketika datang ke Madinah selalu berkumpul menanti-nantikan waktu shalat. Belum ada seseorang yang bertindak sebagai penyeru yang menyerukan mereka. Maka hal itu menjadi pembicaraan."
Pada suatu hari dalam tahun pertama (kedua) Nabi di Madinah, Nabi mengum- pulkan para sahabat untuk merundingkan soal, apakah yang harus dilakukan untuk memaklumkan masuk waktu dan mengajak orang ramai berkumpul ke masjid untuk mendirikan shalat dengan berjamaah? Di antara yang hadir mengusulkan supaya dikibarkan bendera untuk menyatakan, bahwa waktu telah masuk. Apabila bendera telah dikibarkan, hendaklah orang yang melihatnya memberi- tahukannya kepada umum. Usul ini tidak diterima Nabi saw.
Ada yang mengusulkan ditiup buq (terompet) yang terbuat dari tanduk sebagaimana yang biasa dipakai oleh bangsa Yahudi, pendapat ini juga ditolak Nabi saw. Kemudian ada yang meminta dibunyikan lonceng, sebagaimana yang dilakukan umat Nasrani. Nabi menolak pendapat ini dengan perkataannya, itu perbuatan Nasrani. Ada lagi yang meminta supaya dinyalakan api di atas bukit. Siapa yang melihat api yang menyala itu, hendaklah datang menghadiri jamaah. Permintaan ini ditolak Nabi, karena menyerupai perbuatan Majusi.
Kemudian "Umar memajukan pendapatnya, katanya, "Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik Anda menyuruh seorang penyeru menyerukan perkataan. "Telah datang waktu shalat, telah datang waktu shalat." Nabi menerima usul 'Umar ini lalu meminta Bilal ibn Abi Raba'ah dan Abdullah ibn Zaid meneriakkan perkataan-perkataan itu dengan berkeliling. Diriwayatkan oleh Said Ibnu Mansur, bahwa ucapan yang diteriakkan itu, ialah Ash-shalatu jami'ah.
Suatu malam, 'Abdullah ibn Zaid tidur. Dalam keadaan separuh jaga terlihat olehnya seseorang laki-laki datang kepadanya membawa lonceng. Maka 'Abdullah meminta supaya lonceng itu dijual kepadanya. Orang yang membawa lonceng itu bertanya, "Untuk apakah lonceng ini bagi Anda?" Abdullah menjawab: "Kami memukulkan untuk tanda memaklumkan shalat kepada umat Islam." Mendengar jawaban tersebut, pembawa lonceng berkata, "Maukah Anda saya tunjukkan cara yang lebih baik daripada memukul lonceng itu?" Abdullah menjawab: "Itu baik sekali." Pembaca lonceng berkata, "Kalau demikian, kumandangkanlah, Allahu Akbar, hingga akhirnya, ketika masuk tiap-tiap waktu."
Pada paginya, pergilah Abdullah ibn Zaid menemui Nabi, mengabarkan mim- pinya. Bersabdalah Nabi: "Mimpi itu, mimpi yang benar." Kemudian Nabi menyuruh mengajarkan adzan itu kepada Bilal, mengingat bagus dan nyaringnya suara bilal. Ketika Bilal hendak mengumandangkan bunyi adzan datanglah 'Umar kepada Nabi memberitakan, bahwa beliau juga memimpikan adzan yang diimpi- kan 'Abdullah ibn Zaid.
Nabi mempunyai dua Muadzin. Pertama, Bilal ibn Abi Rabah, kedua, 'Abdullah ibn Ummi Maktum.
Rasulullah menyuruh (istimewa di bulan Ramadhan), membaca dua kali adzan untuk Shubuh. Yang pertama, untuk membangunkan orang yang masih tidur untuk sahur. Yang kedua, untuk shalat Shubuh. Yang pertama dilakukan sebelum masuk Shubuh, dan yang kedua dilakukan sesudah masuk waktu Shubuh.
Memberitahukan kepada kepala negara yang menjadi imam, bahwa adzan telah dikumandangkan dan mempersilakannya untuk shalat
Di masa Nabi, Abu Bakar, 'Umar dan 'Ali tidak ada tugas memberitahukan yang tetap kepada kepala negara tentang sudah dikumandangkan adzan dan mengajaknya untuk shalat. Kalau imam kebetulan dalam menyelesaikan sesuatu urusan, kemudian datang Muadzin menerangkan, bahwa jamaah telah berkumpul, maka hal ini tidak dijadikan adat yang resmi. Permulaan orang yang melakukan kebiasaan memberitahukan kepada kepala negara ialah Muawiyah. Beliau menyuruh Muadzin memberitahukan kepadanya, bahwa jamaah telah berkumpul.
Sekali peristiwa pernah 'Umar didatangi Abu Mahdzurah dan mengatakan, "Ashshalatu ya mukminin, hayya 'alash shalah hayya 'alal falah." Mendengar itu "Umar berkata: "Apa engkau gila? Apakah tidak cukup seruanmu yang telah kamu serukan, perlu apa engkau datang lagi!"
Di masa Bani Umayah, Muadzin setelah beradzan pergi memberi salam kepada khalifah, atau kepada pembesar-pembesar negara yang bertanggung jawab di suatu daerah. Salam Muadzin itu berbunyi, As-salamualaika ya aiyuhal amir, wa rahmatullah wa barakatuh, hayya 'alash shalah.
Sesudah itu, kembalilah Muadzin ke masjid membaca iqamat serta keluarlah khalifah atau amir mengimami jamaah. Kebiasaan ini dipakai juga oleh khalifah-khalifah Bani 'Abbas. Adat ini ditinggalkan sesudah para khalifah dan para amir tidak mau menjadi imam shalat.
Adzan Jum'at pada mulanya, dikumandangkan ketika imam atau khatib telah duduk di atas mimbar sesudah memberikan salam kepada hadirin. Keadaan ini tetap berlaku di masa Nabi, Abu Bakar, 'Umar. Di masa Utsman, umat Islam telah banyak, kesibukan pasar telah menghebat, Utsman lalu menyuruh supaya dikumandangkan adzan sebelum waktu Jum'at masuk, di Az-Zaurak (suatu tempat di dalam pasar Madinah) untuk mengingatkan penduduk pasar bahwa waktu shalat telah hampir tiba. Adzan yang pertama yang telah disyariatkan Nabi, tetap berlaku sebagaimana semula, dibacakan Muadzin di pintu masjid yang berhadapan dengan mimbar.
Kemudian di masa Hisyam ibn Abdil Malik memegang tampuk khalifah, beliau memindahkan adzan Az-Zaurak ke atas menara dan memindahkan adzan yang diucapkan di pintu masjid, ke dalam masjid dekat mimbar.
Tegasnya, memindahkan adzan dari pintu masjid ke dekat mimbar, yang dilakukan Hisyam sekarang terus dituruti oleh sebagian besar pemimpin masjid ditanah air kita, bid'ah hukumnya. Karena hal itu menghilangkan hikmah dan faedah adzan. Adzan dekat mimbar masjid, tidak memberi faedah kepada orang yang jauh dari masjid.
Kemudian adzan hari Jum'at menurut sunnah Nabi hanya satu, yaitu ketika imam telah naik mimbar dilakukan di pintu masjid (di menara), bukan di dekat mimbar Dari riwayat di atas ini, nyatalah bahwa adzan mulai disyariatkan pada tahun kedua hijriyah di Madinah.
Ketika adzan mulai diperdengarkan, Yahudi Madinah mengolok-olokkan dan mencemoohkannya. Berkenaan dengan itu, Allah menurunkan ayat, "Apabila kamu menyerukan umat kepada shalat orang-orang yang ingkar itu akan mengolok-olokkan dan mempermain-mainkan. Demikianlah keadaan kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (QS. Al-Maidah [s]: 61).
Rasul tidak pernah sekali pun meninggalkan adzan, baik di kala beliau berada di kampung, maupun ketika beliau dalam perjalanan, siang, maupun malam. Dengan demikian, bahwasanya adzan adalah suatu syiar agama yang nyata.
Kemudian ditegaskan, bahwa di masa Utsman, para Muadzin dijadikan empat orang. Sebagian ulama Syafi'iyah, tidak memperbolehkan kita mengadakan di suatu masjid lebih dari dua orang.
Referensi: