SYARAT-SYARAT MUADZIN
SYARAT-SYARAT MENJADI MUADZIN
392) AbuMusa Al-Asy'ary ra. berkata:
قَالَ النَّبِيُّ : فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنَ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيُؤْمَّكُمْ أَكْبَرَكُمْ
393) Abu Hurairah ra, berkata:
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: لا يُؤَذَّنُ اِلَّا مُتَوَضِّى
SYARAH HADITS
Hadits (393) ini mungathi' dan dhaif hukumnya. Hadits ini menyatakan, bahwa suci dari hadats kecil dan hadats besar adalah syarat sah adzan.
An-Nawawy dalam Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan, "Adzan tidak sah dilaku- kan oleh orang yang tidak Islam dan orang gila. Dianjurkan adzan diselenggarakan oleh orang yang merdeka, yang telah sampai umur, mengingat hadits "Yu-adzdzin lakuan khiyarukum" (diadzankan untukmu oleh orang yang terpilih di antara kamu)." dan sah adzan dilaksanakan oleh anak kecil yang telah mumayyiz.
Dinukilkan oleh Muhamili, bahwa Asy-Syafi'y memakruhkan adzan anak kecil. Al-Mawardi dan pengarang Al-Umdah mengatakan, "Baik anak itu telah murahiq (hampir sampai umur), atau belum, namun tetap disukai adzan dilakukan oleh mereka."
Ibnu Qudamah mengatakan, "Tidak sah adzan yang dilakukan oleh selain dari orang Islam yang berakal dan laki-laki. Adzan orang perempuan tidak dianggap. Beginilah madzhab Syafi'y dan Ahmad."
An-Nawawy mengatakan pula, "Menurut madzhab Asy-Syafi'y, adzan dan iqamat orang yang masih berjunub dan orang yang hadats kecil adalah sah, walaupun dimakruhkan." Demikian pula pendapat Hasan Bishri, Qatadah, Hammad ibn Sulaiman, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, Daud dan Ibnu Mundzir. Sebagian ulama mengatakan, "Adzan dan iqamatnya tidak sah. Di antara yang berpendapat demikian, Atha', Mujahid, Al-Auza'y dan Ishak.
Malik mengatakan, "Dianggap sah, Adzan dilakukan oleh orang-orang yang berhadats, tetapi tidak sah iqamatnya." Ibnu Qudamah mengatakan, "Ahmad tidak menyukai orang yang tidak suci beradzan. Jika adzan itu dilakukan oleh orang yang berjunub, harus diulangi."
Ibnu Hazm mengatakan, "Tidak boleh dibacakan adzan dan iqamat, melain- kan oleh orang yang telah baligh, lagi berakal dan Islam. Sah dilakukannya sambil berdiri, duduk, sambil mengendarai, menghadap kiblat atau tidak, dalam keadaan suci ataupun tidak. Dalam pada itu, tentulah yang utama dilakukan dalam ke- adaan suci, sambil berdiri, menghadap kiblat." Abu Hanifah, Sufyan, Malik, Daud dan Ulama-ulama lain, mengutamakan adzan sambil berdiri menghadap ke kiblat dan dalam keadaan suci.
Ibnu Mundzir mengatakan, "Semua ahli ilmu telah ijma', bahwa dianjurkan kita mengumandangkan adzan sambil berdiri."
Apabila ditinjau, bahwa hikmah adzan hanyalah sekedar untuk memberitahukan masuk waktu shalat, maka adzan anak kecil yang telah mumayiz sah. Tetapi setelah diperhatikan, bahwa adzan adalah ibadah yang hanya dihadapkan kepada orang yang telah mukallaf, maka perintah adzan baru diangga telah diselenggarakan, jika dikerjakannya oleh orang yang telah mukallaf. Tegasnya, tidak sah adzan, melainkan oleh seseorang yang dihadapkan perintah kepadanya dan ditunaikan pula dengan niat menyelenggarakan perintah Allah. Adzan orang kafir tidak dianggap sah, karena mereka tidak beriman. Adzan orang fasiq (Muslim durhaka) dibenarkan, karena mereka masih dapat dikatakan beriman. Kemudian karena tidak ada dalil yang memastikan Muadzin harus suci, maka adzan yang dilakukan oleh orang yang dalam keadaan berhadats kecil atau besar, sambil berdiri, duduk dan tidak menghadap kiblat adalah sah. Namun menghadap kiblat dan adzan dalam keadaan suci sangat diutamakan. Hadits Abu Hurairah yang menyatakan adzan tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak berwudhu.
Mengingat semuanya, hendaklah para imam menyuruh adzan kepada orang yang telah mukallaf, jangan kepada anak-anak walaupun dengan maksud mengajar dan mendidik.
Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Adzan dan Iqamat Tentang Adzan Dan Syarat-Syaratnya