Bukti Cinta Kepada Rasulullah
Jalan-Jalan untuk Membuktikan Cinta Terhadap Rasul
Banyak jalan untuk membuktikan cinta terhadap Rasul. Di antaranya:
- Pertama, menolong agama Rasul dengan perkataan dan perbuatan. Membela syariatnya, meneladani sifat-sifatnya, baik tentang kemurahan tangan, tentang mengutamakan orang lain atas diri sendiri, ataupun dalam hal sabar dan tawadu".
- Kedua, mengasihani umat Muhammad dengan tidak melihat kepada asal keturunan dan warna kulitnya. Membuat kebajikan dengan tulus dan ikhlas, berusaha menghasilkan kemaslahatan bagi umat dan mengeluarkan tenaga dan harta untuk penyiaran agama. Di samping itu harus pula berperilaku dengan adab-adab agama dan mengutamakan keridaan Allah atas hawa nafsu serta tidak memperdulikan keamarahan manusia dalam usaha mencapai keridaan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian dari pada itu tidak berhenti berdaya upaya mengikis bid'ah yang telah dilengketkan orang kepada Agama.
- Ketiga, memuliakan dan membesarkan (ra'dhim) Muhammad saw.
- Keempat, memuliakan keluarganya, istimewa Ummahatul Mukminin dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi perlu ditegaskan, bahwa memulia- kan keluarga Nabi bukanlah dengan jalan memandang bahwa mereka yang menamakan dirinya "Sayid" adalah orang yang istimewa, orang di luar batasan hukum, orang yang mempunyai kekuasaan gaib, orang yang pasti masuk ke surga tanpa amal. Yang dimaksud dengan keluarga Muhammad, ialah pengikut-pengikutnya yang mukhlishin.
- Kelima, memohon ampunan kepada Allah untuk para sahabat yang telah bertindak sebagai pelopor untuk keselamatan Agama dan Muhammad. Yang telah membantu Muhammad dalam usahanya menegakkan asas kedaulatan Islam dan menundukkan bangsa yang keras kepala ke bawah perintah Ilahi.
- Keenam, membanyakkan menyebut nama Muhammad dan mengucapkan shalawat untuknya di ketika orang menyebutkan namanya. Ketujuh, menyatakan rasa tunduk di kala orang menyebut nama Muhammad.
- Kedelapan, mencintai al-Qur'anul Karim dan al-Hadis asy-Syarif. Sebenarnya dengan ukuran cinta kepada al-Qur'an dan hadislah diukur dan disifatkan kadar cinta kita kepadanya Firman Allah swt قُلْ إِن كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ و Katakan olehmu ya Muhammad kepada mereka, jika kamu mencintai Allah. ikutlah akan daku, supaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Malia Kekal Rahmat-Nya. (Surat Ali Imran 31)
Keimanan seseorang akan Muhammad mengharuskan ia mengikutinya, mengamalkan segala yang beliau datangkan dari Allah, walaupun menyalahi hawa nafsu, atau tidak nyata kemanfaatannya jika dilihat selayang pandang. Bahkan sebenarnya keimanan akan dia, menghendaki lebih jauh dari itu. Yakni menghendaki mengikutinya dalam soal-soal yang disangka berlawanan dengan kemaslahatan. Orang yang mengikuti Rasul dalam soal-soal yang berlawanan dengan kemaslahatan para pengikut itu, kelak akan memperoleh berbagai faedah dan manfaat, walaupun mereka tidak merasakan bahwa ikutan itulah yang menjadi sebab diperolehnya faedah-faedah itu menurut hikmat dan sunnatullah. Sebenarnya jika kita mendalami penyelidikan ter- hadap nuntunan-tuntunan Ilahi, niscaya nyatalah hikmat dan rahasia perbuatan yang disangka berlawanan dengan kemaslahatan itu.
Rasul bersabda:
Perlu dijelaskan bahwa makna "mengikuti nur yang diturunkan kepadanya" yang tersebut dalam Surat al-A'raf/7.157, ialah mengikuti al-Qur'an.
Wahyu Tuhan yang disampaikan oleh Muhammad. Jelasnya yang dimaksud dengan cahaya (nur) ialah al-Qur'an. Makna "dan ikutilah dia", ialah bahwa umat diperintahkan mengikuti Nabi dalam mengamalkan maksud-maksud al-Qur'an, seperti mencontoh Nabi dalam sifat shalat, kaifiyatnya, bilangan waktunya, sirr dan jaharnya, panjang pendeknya, dan seperti mengikuti Nabi dalam sifat haji dan dalam sifat-sifat ibadat yang lain, yang diserahkan kepada Nabi menguraikannya terinci, sebab al-Qur'an hanya menyebutnya secara ringkas. Pun masuk ke dalam yang wajib diikuti ialah mengikuti ijtihad Nabi yang beliau istinbar-kan dari al-Qur'an. Itulah hal yang menyangkut masalah kemasyarakatan dan pemerintahan.
Sifat-sifat peraturan hukum:
- Bersifat ibadat, baik wajib, ataupun sunnah.
- Bersifat mafsadah yang ditegah kita mengerjakannya guna menolak kemelaratan, baik kemelaratan agama, seperti berdoa kepada yang selain Allah, makan binatang yang disembelih untuk selain Allah dan sebagainya ataupun untuk menghindarkan kemelaratan akal, tubuh, harta dan kehormatan, atau menolak kemafsadatan umum.
- Yang berhubungan dengan hak seseorang (baik hissi/kongkrit, maupun maknawi/abstrak) yang diperintahkan kita menunaikannya kepada yang empunya, seperti hak-hak pusaka, nafkah, seperti menggauli istri secara makruf dan seperti menepati janji.
Soal-soal yang Tidak Wajib Dilkuti
Soal-soal yang tidak wajib diikuti dengan persis, ialah hal-hal yang tidak berhubungan dengan hak Allah atau bak makhluk dan tidak pula mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemelaratan. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat adat, soal perusahaan, pertukangan, pertanian dan segala rupa ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman dan percobaan, bukanlah masalah hukum (tasyri') yang wajib ditaati. Suruhan atau larangan yang mengenai soal ini, jika ada, para ulama menamainya irsyad, petunjuk yang bersifat anjuran, kecuali jika larangan itu disertai ancaman.
Sabda Nabi Muhammad saw.
Lantaran itu para sahabat apabila ragu terhadap sesuatu penerangan dari Nabi, apakah penerangan itu berdasarkan wahyu ataukah berdasarkan pendapat Nabi sendiri, mereka bertanya meminta penjelasan lebih lanjut.
Contohnya ialah strategi Nabi dalam peperangan Badar, Nabi memerintahkan pasukan berhenti di suatu tempat yang tidak strategis. Seorang sahabi, al-Habbab Ibnul Mundzir, bertanya: "Apakah Rasul menyuruh pasukan berhenti di tempat ini berdasarkan wahyu perintah Allah, ataukah menurut pertimbangan Nabi sendiri yang memandang ini suatu muslihat peperangan".
Nabi menjawab bahwa perintah itu adalah berdasarkan pertimbangannya sendiri.
Al-Habbab menerangkan, bahwa menurut muslihat peperangan, pasukan tidak boleh berhenti di tempat itu, karena jauh dari air. Pendapat al-Habbab dibenarkan oleh Nabi, maka balatentara dan pasukan pun diperintahkan berhenti di tempat yang ditunjukkan al-Habbab.
Sesudah keterangan-keterangan di atas dipahamkan, maka perhatikan ulasan di bawah ini. Mentaati ulama, dengan mengharamkan apa yang mereka haramkan, menghalalkan apa yang mereka halalkan, padahal Nabi tidak memberi ketetapan apa-apa, berarti menjadikan ulama-ulama itu, sebagai nabi kedua. Imam Malik pernah berkata: "Pendapat seseorang boleh diterima dan boleh ditolak. Hanya Rasul saw. sendiri saja yang seluruh perkataannya harus diterima"
Imam Syafi'i berkata: "Para ulama sepakat menetapkan, bahwa apabila telah nyata Sunnah Rasul, tidak boleh lagi kita beramal dengan sesuatu pendapat yang lain".
Imam Ahmad menerangkan: "Apabila telah dikatakan ini penetapan Rasul, tidak boleh kita menyambutnya dengan perkataan tapi begini pendapat ulama".
Tegasnya, taklid kepada ulama dalam soal hukum, hanya dibolehkan sebelum nyata dan terang kepada kita Sunnah Nabi. Setelah Sunnah Nabi terang dan nyata tidak boleh lagi kita berpegang kepada pendapat ulama.
Umat Islam di masa yang akhir-akhir ini, hampir serupa umat Nasrani dan Yahudi dalam cara mereka berpegang kepada kitab-kitab. Umat-umat Nasrani merasa cukup dengan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak mengacuhkan lagi kitab-kitab yang lama. Umat Islam pada masa yang akhir-akhir ini demikian juga. Mereka merasa cukup berpegang dengan kitab-kitab yang dikarang lima enam ratus tahun yang lalu, tidak lagi mempertanian kitab-kitab yang dikarang oleh ahli-ahli abad kedua dan mige Mereka telah merasa cukup dengan mengaji kitab-kitab ulama, tidak mau membalakan tenaga dan pikiran untuk mempelajari al-Qur'an, kitab yang tidak dapat ditandingi oleh sesuatu kitab juga pun, baik oleh kitab-kitab yang sebelumnya, maupun oleh kitab-kitab bustan manusia sesudahnya.
Berdasarkan kewajihan mengikuti sunnah, maka seharusnya apabila membaca kitab-kitab fuqaha, baik lama maupun baru, menulis isinya dengan neraca (mizim) asyn Kitab Tuhan dan Sunnah Rasul. Hal ini perlu dilakukan, karena para fuqaha itu tidak dapat dipastikan semuanya benar dalam seluruh masalah yang mereka bahas walaupun usaha ijtihad mereka tetap mendapat pahala. Yang benar di antara perselisihan-perselisihan itu Hanya satu Abu Hanifah berkata: "Apabila ada hadis Rasul, saya letakkan atas batu kepalaku. Apabila ada sesuatu syara'; dari para sahabat, saya letakkan di atas batu kepalaku. Tetapi jika hanya ijtihad tabi'in, maka sebagaimana orang itu lelaki, kita pun lelaki." (Fahum rijal, wa nahnu rijal).
Derajat Cinta Sahabat Terhadap Nabi
Derajat manusia dalam mencintai Rasul berlebih berkurang. Ada yang derajat cintanya masih sangat sederhana dan ada pula yang jika disebut nama Nabi timbullah keinginan untuk melihat wajahnya, timbul keinginan untuk ber- juang dan memberikan segala sesuatu untuk kepentingan Muhammad saw.
Sebabnya derajat mencintai Nabi berlebih berkurang adalah lantaran tidak sama kadar memahami faedah dan manfaat yang diperoleh dari usaha Muhammad itu. Para sahabat telah memperoleh bahagian yang sangat sempurna dalam soal ini. Ada beberapa riwayat yang mengisahkan bagaimana besarnya rasa cinta sahabat terhadap Nabi.
Di antaranya dicuplik di bawah ini.
- Nabi mempunyai seorang sahabat yang bernama Sauban, bekas budak yang telah dimerdekakan. Sauban sangat mencintai Nabi. Dia tidak dapat menahan hati kalau lama tidak melihatnya. Pada suatu waktu ia tidak dapat melihat wajah Nabi beberapa hari lamanya. Lantaran itu, ia menderita perubahan tubuh. Mukanya pucat dan badannya kurus, tanda-tanda kegundah- an nampak nyata. Di ketika ia berjumpa dengan Rasul, ditanyalah kepadanya tentang schab perubahan pada tubuhnya itu. Sauban menjawab "Saya tidak sakit, cuma saja apabila saya terhalang anding wajah tuan saya tidak dapat menahan hati. Saya sangat takut di akhirat nanti saya tidak dapat memandang wajahmu, ya Rasulullah. Tuan di bm surga di tempat yang sangat tinggi. Saya tentu tidak dapat menyertai. Mendengar itu, Nabi pun meredakan hati Sauban dengan ujarnya: "Engian beserta orang yang engkau cintai." Maka turunlah ayat yang menerangkan bahwa orang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, ditempatkan setempat dengan orang-orang yang telah diberikan nikmat, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang jaleh
- Seorang wanita Madinah mendapat berita dari medan Perang Uhud yang menyatakan bahwa ayah, suami, saudara lelaki dari wanita itu telah gagar Wanita itu, bertanya: "Bagaimana keadaan Rasulullah?" Pertanyaan itu dijawab orang: "Rasulullah dalam keadaan selamat." Wanita itu meminta supaya ia dibenarkan melihat Rasul. Sesudah Rasul dipandang olehnya, ia pun berkata: "Segala bencana yang menimpaiku, kecil sekali kurasakan, kalau Rasul masih dalam sejahtera."
- Di kala penduduk Mekkah membawa Zaid Ibn Datsanah ke luar kota untuk dibunuh, mereka bertanya kepadanya: "Maukah engkau kami bawa pulang ke kota dan kami gantikan engkau dengan Muhammad?" Zaid menjawab: "Aku tidak senang Muhammad terkena duri di tempat- nya sekarang, konon lagi ia dibawa ke mari untuk dipenggal batang lehernya." Mendengar ucapan itu Abu Sufyan berkata: "Belum pernah aku melihat manusia mencintai sahabatnya, seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad."
- Bilal Ibn Abi Rabah di kala hendak menarik nafas yang terakhir, mendengar kawan-kawannya mengatakan: "Alangkah pedihnya hati kami." Mendengar itu Bilal menjawab: "Amboi, alangkah senangnya hatiku, tok aku akan menjumpai Muhammad." Kesakitan mati itu ditukar oleh kelezatan berjumpa dengan kekasih
Referensi: Buku Al-ISlam Jilid 1, Karangan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy