HADITS MENGHADAP KIBLAT DALAM SHALAT
MENGHADAP KIBLAT DALAM SHALAT
602) Abu Hurairah ra, berkata:فَاِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ
Nabi saw bersabda: Apabila kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah." (HR. Al-Bukhary dan Muslim, Al-Muntaga 1: 343)603) Ibnu Umar ra, berkata:
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ إِذْجَاءَهُمْ آتِ فَقَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدْ أَنزَلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ فَاسْتَقْبَلُوْهَا، وَكَانَتْ وُجُوْهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدِرُوْا إِلَى الْكَعْبَةِ
"Suatu hari ketika kaum muslimin shalat Subuh di masjid Quba, datanglah seorang laki-laki sambil berkata: bahwasanya kepada Nabi saw., telah diturunkan pada malam ini Wahyu yang menyuruh menghadap kiblat (Ka'bah). Karena itu, menghadaplah ke arahnya. Mereka yang sedang shalat itu pun menghadap ke kiblat, sedang hadapan mereka ketika itu, ke arah Syam (Syria), mereka memu- tarkan diri mereka ke Ka'bah." (HR. Al-Bukhary dan Muslim, Al-Muntaqa 1: 343)604) Anas ibn Malik menerangkan:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّى نَحْوَبَيْتَ الْمَقْدِسِ فَنَزَلَتْ: قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهَكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ , فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِي شَلَمَةَ وَهُمْ رُكُوْعٌ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَقَدْ صَلُّوا رَكْعَةً فَنَادَى إِلَّا أَنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوَّلَتْ فَمَالُوْا كَمَاهُمْ نَحْوَ الْقِبْلَةِ
"Bahwasanya Rasulullah saw. pada suatu hari sedang shalat menghadap Baitul Maqdis, maka turunlah firman Allah: Sesungguhnya kami melihat bolak-balik mukamu ke langit, maka biarlah kami memalingkan kamu ke arah kiblat yang kamu senangi? Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Seorang laki-laki dari golongan Bani Salamah yang mendengar wahyu itu, ketika pulang melalui segolongan manusia yang sedang shalat Subuh, dan telah masuk ke rakaat kedua maka berserulah dia: "Ketahuilah, maka kiblat telah dialihkan. Maka mereka yang sedang shalat itu pun memalingkan mukanya ke arah kiblat (Ka'bah)." (HR. Muslim, Al-Muharrar: 41)SYARAH HADITS
Hadits (602), menyatakan bahwa menghadap kiblat dalam shalat adalah kewajiban yang difardhukan. Tegasnya, hadits ini mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat.
Hadits (603), menyatakan bahwa orang di luar shalat, boleh mengajarkan orang yang sedang shalat suatu hadits adalah hal yang berhubungan dengan shalat.
Hadits (604), diriwayatkan juga oleh Ahmad, dan Abu Daud. Hadits ini menyatakan, bahwa suatu hukum baru menghapuskan hukum lama belum wajib berlaku melainkan sesudah hukum tersebut sampai kepada yang berhak menerimanya. Yakni, kewajiban menjalankan tuntutan hukum ialah ketika hukum itu sampai kepada kita, bukan dari keluarnya perintah. Sebelum hukum yang baru tersebut sampai ke kita, kita masih tunduk kepada ketentuan hukum yang lama.
Ahli ijtihad mengatakan, "Menghadap kiblat dalam shalat adalah wajib, tidak ada perbedaan." Asy-Syaukani mengatakan, "Ulama Islam semuanya, menetapkan bahwa menghadap kiblat dalam shalat menjadi syarat sahnya shalat, kecuali jika tidak sanggup melakukannya, seperti ketika ketakutan dan dalam perang yang sengit dan di shalat sunnat dalam safar yang dikerjakan di atas kendaraan."
Pengarang Ta'liq Al-Muntaga mengatakan, "Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Al-Bara ibn Azib, Rasulullah saw, shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis bebe- rapa waktu, mulai dari datang perintah shalat hingga 16 atau 17 bulan Nabi bermukim di Madinah. Dalam masa itu, Nabi tetap berkeinginan, agar kiblat shalat dipalingkan ke Ka'bah."
Suatu hari, turunlah ayat "Sungguh Kami melihat mukamu bolak-balik ke langit, maka biarlah Kami hadapkan mukamu ke arah Masjidil Haram." Sejak itu Nabi menghadap ke arah Ka'bah. Ketika Nabi saw. berbuat demikian, mengocehlah kaum sufaha (kaum Yahudi). Mereka mengatakan, gerangan apakah yang memalingkan Muhammad dan sahabatnya dari kiblat mereka selama ini?" Ocehan itu dijawab Allah dengan Firman-Nya: "Katakanlah bahwa Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang la kehendaki dari hamba-Nya ke jalan yang lurus dan lapang." Dalam jamaah Nabi, ketika itu ada seorang yang bernama Ubbad ibn Basyar. Setelah selesai dari shalat, ia pulang. Dalam perjalanannya, ia singgah di masjid kepunyaan kaum Anshar yang masih menghadap Baitil Maqdis. Ubbad mengatakan, "Saya telah shalat beserta Nabi saw. menghadap Ka'bah, tidak lagi menghadap Baitil Maqdis. Ketika orang yang sedang shalat tersebut mendengar katanya, berpalinglah mereka ke arah Ka'bah."
Pengarang Aunul Ma'bud mengatakan, "Suatu hari, di bulan Rajab tahun kedua hijriyah, ketika matahari telah tergelincir dan Nabi saw. hendak mengerjakan shalat Zhuhur, datanglah perintah menghadap Ka'bah."
Fathul Bari mengatakan, "Pergantian kiblat diterima oleh Nabi saw. ketika akan shalat Zhuhur. Tersiarnya berita ke seluruh kota Madinah ketika telah masuk waktu Asar, dan sampainya berita itu ke Quba (satu kampung yang jauhnya 3 mil dari Madinah) adalah pada shalat Subuh besoknya. Ubbad ibn Basyar dari Bani Salamah, yang menyampaikan kepada penduduk Quba. Penduduk Madinah yang menerima berita itu, Banu Amer ibn Auf. Penduduk Quba, terdiri dari Banu Haritsah."
Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat nya mengatakan, "Suatu hari, Nabi saw sedang shalat Zhuhur dan masih menghadap ke Baitil Maqdis, datanglah perintah menghadap ke arah Ka'bah. Waktu itu, Nabi saw. baru shalat dua rakaat. Dengan datangnya perintah itu, Nabi kemudian berpaling ke Ka'bah dan semua jamaah di belakangnya pun mengikutinya."
Hukum menghadap kiblat tidak diperdebatkan, karena ditunjukkan oleh beberapa dalil.
Dalil pertama adalah nash Al-Qur'an.
Kedua, sunnah mutawatirrah.
Ketiga, ijma' yang mu'tabar.
Cukup banyak dalil yang menyatakan, bahwa menghadap kiblat adalah wajib, kecuali:
- Ketika tidak sanggup.
- Ketika sangat ketakutan (ketika shalat khauf).
- Ketika shalat sunnat yang dikerjakan di dalam safar di atas kendaraan.
Ibnu Hazm mengatakan, "Menghadap arah Ka'bah dengan muka dan jasad, adalah fardhu bagi orang yang shalat, kecuali jika shalat sunnat di dalam kampung, bukan ketika berhalangan." Ibnu Hazm mengatakan, "Menghadap arah Ka'bah dengan muka dan jasad adalah fardhu bagi orang yang shalat, kecuali jika shalat sunnat di atas kendaraan.
Orang yang tidak sanggup menghadap kiblat karena ada gangguan sakit yang parah atau takut, atau terpaksa, diperbolehkan menghadap ke mana saja, dan hendaklah ia berniat menghadap Ka'bah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang batalnya shalat yang disengaja menghadap arah selain Ka'bah, bahkan dikafirkan mereka yang shalat dengan sengaja menghadap ke arah lain. Adapun orang jahil (tidak mengerti), orang sakit, orang ketakutan dan yang terpaksa, maka shalat yang dilakukan dengan menghadap ke arah yang lain adalah sah. Karena mengingat firman Allah: "Allah tidak memberati seseorang, melainkan sekedar kesanggupannya." (HR. Al-Bukhary/Muslim).
Asy-Syaukani mengatakan, "Perintah menghadap kiblat menunjukkan. kepada wajib menghadapnya, berdosa orang yang tidak menghadapnya. Tetapi suruhan tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk menjadikannya syarat. Suruhan tidak dapat diambil dalil menjadi persyaratan, kecuali jika kita memegang kaidah: Diperintahkan mengerjakan sesuatu, berarti mencegah kebalikannya." Kemudian Asy-Syaukani membawa beberapa dalil yang menegaskan, bahwa menghadap kiblat bukan syarat.
Faedah mengetahui perbedaan pendapat ulama adalah jika dikatakan menghadap kiblat sebagai syarat, maka wajib bagi mereka yang shalat menghadap selain kiblat (walaupun karena salah ijtihad, tidak tahu), untuk mengulangi shalatnya. Jika dikatakan bukan syarat, maka tidak disuruh mengulangi shalatnya lagi.
Menurut penyelidikan kami, menghadap kiblat adalah syarat sah shalat bagi yang sanggup dan yang mengetahui kiblat. Bagi mereka yang tidak sanggup, atau tidak mengetahui arah kiblat, maka menghadap kiblat tidak dijadikan syarat. Yakni tidak disuruh mengulangi shalatnya.