Doa Yang Dibaca Diakhir Shalat
DOA-DOA YANG DIBACA DI DUBUR (AKHIR) SHALAT
778) Sa'ad ibn Abi Waqash ra. menerangkan
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنَ الْبُحْلِ وَأَعُوذُبِكَ الجُيْنِ وَأَعُوذُبِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْدَالِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَأَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْر.
779) Zaid ibn Arqam ra berkata:
كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَقُوْلُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ أَنَا شَهِيْدٌ أَنَّكَ أَنتَ الرَّبُّ وَحْدَكَ لا شَرِيْكَ لَكَ , اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ , اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ أَنا شَهِيدٌ أَنَّ الْعِبَادَ كُلُّهُمْ إِخْوَةٌ , اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ اجْعَلْنِي مُخْلِصًا لَكَ وَأَهْلِي فِي كُلِّ سَاعَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ اِسْمَعْ وَاسْتَجِبْ. اللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ نُوْرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قَالَ سلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ رَبِّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ اللهُ أَكْبَرُ الْأَكْبَرُ حسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ الله أَكْبَرُ الْأَكْبَرُ
"Rasul saw, membaca di dubur (di penghujung) tiap-tiap shalat: Allahumma rabbana wa rabba kulli syai'in ana syahidun annakar-rabbu wahdaka lå syarika laka. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai'in ana syahidun anna Muhammadan abduka wa rasûluka. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai'in ana syahidun annal-'ibada kullahum ikhwatun. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai'in ijalni mukhlishan laka wa ahli fi kulli så'atin minad dun-ya wal akhirati, ya dzal jalali wal-ikram, isma' wastajib. Allahu akbarul-akbar. Allahumma nûrus sama- wati wal ardhi, Allahu akbarul-akbar. Hasbiyallahu wa ni'mal wakil. Allahu akbarul-akbar, Ya Allah Tuhan kami, Tuhan segala sesuatu (makhluk), saya bersaksi bahwa Engkau adalah tuhan yang Esa, tidak ada sekutu bagi Engkau. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan segala sesuatu, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu, Ya Allah Tuhan kami, Tuhan segala sesuatu, saya bersaksi bahwa semua hamba adalah bersaudara. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan segala- sesuatu, jadikanlah aku dan keluargaku orang yang ikhlas (beribadah) kepada-Mu dalam setiap waktu di dunia dan di akhirat, hai Pemilik keagungan dan kehormatan, dengarkan dan penuhilah (permohonan kami). Allah Mahabesar dari segala yang mahabesar, ya Allah Cahaya langit dan bumi. Allah Mahabesar dari segala yang mahabesar. Cukuplah bagiku Allah sebagai Zat Pemberi nikmat dan wakil. Allah Mahabesar dari segala yang maha besar." (HR. Abu Daud dan An-Nasa'y; Nailul Authar II: 351)780) Abu Umamah ra. berkata:
قِيْلَ : يَارَسُوْلَ اللهِ ﷺ أيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعْ ؟ قَالَ: جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ.
"Pernah ditanya kepada Rasul tentang doa yang lebih didengar Allah (yang paling dapat diharapkan mustajabnya). Maka Nabi menjawab: "Doa yang dipanjatkan di tengah malam dan doa yang dipanjatkan menjelang shalat fardhu." (HR. At- Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 469)SYARAH HADITS
Hadits (779) sanadnya, dha'if. Hadits ini menyatakan bahwa Nabi membaca doa ini di dubur (di penghujung) shalat.
Hadits (780) ini hasan. Hadits ini menyatakan bahwa doa yang paling dekat untuk diperkenankan Allah, ialah doa di tengah malam dan doa yang diucapkan di penghujung shalat.
Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa-nya berkata: segala hadits yang dikenal oleh para ulama hadits, baik yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad mengatakan bahwa Nabi berdoa di belakang shalat sebelum beliau keluar dari shalatnya. Nabi menyuruh para sahabatnya berbuat demikian. Tidak ada dinukilkan dari Nabi, bahwa Nabi berbuat demikian.
Tidak ada dinukilkan dari, bahwa Nabi apabila telah shalat jamaah berdoa sesudah shalat bersama mereka, baik di shalat Shubuh, maupun di shalat Ashar ataupun di shalat-shalat lain. Keterangan-keterangan yang shahih hanya menegaskan, bahwa Nabi menghadap para makmum sesudah selesai shalat dan berdzikir dan mengajarkan mereka kaifiyat berdzikir.
Demikianlah sunnah Nabi yang telah berjalan dari tahun ketahun. Dan itulah yang munasabah (sesuai) karena mushalli itu, sedang bermunajat kepada Tuhannya. Maka berdoa dan memohon sebelum habis shalat sebelum bersalam, semasih dalam bermunajat itulah yang lebih aula (utarna), lebih patut daripada memohon dan meminta sesudah selesainya urusan munajat, yaitu sesudah bersalam.
Mengenai berdzikir sesudah salam, maka itu sebagai cermin yang sudah dilincinkan, sebagai ditegaskan oleh 'Aisyah sendiri; bahwa shalat itu, adalah nur (cahaya) yang gilang-gemilang, dia melicinkan hati, jiwa, semisal orang melicinkan cermin.
Perkataan "dubur" dapat bermakna "akhir sesuatu." Dapat pula bermakna, masa yang mengiringi sesuatu itu, sebagaimana dubur manusia dan dubur binatang (berada di penghujung badannya). Demikian juga perkataan "aqib" = ujung tumit, atau ujung sesuatu." Dapat diartikan suku yang terakhir dari sesuatu dan dapat diartikan "masa", atau "sesuatu yang mengiringinya", sama dengan perkatan "aqibul insan", yakni tumitnya, ujung kakinya sebelah belakang. Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad berkata "Berdoa sesudah salam dari shalat, sambil menghadap kiblat, atau menghadap makmum, jelas tidak dikerjakan oleh Nabi.
Dan tidak ada diriwayatkan daripadanya, menentukan waktu berdoa sesudah Shubuh dan Ashar. Akan tetapi, disukai bagi seseorang yang membaca dzikir-zikir yang diterima Nabi saw. sesudah shalat supaya bershalawat juga sesudah dzikir-zikir itu. Sesudah itu, barulah dia berdoa, dengan apa yang ia kehendaki. Dengan demikian, jadilah doanya sesudah dzikir dan shalawat, bukan di belakang shalat lagi."
Al-Hafizh di dalam Fathul Bari berkata: "Mengatakan bahwa Nabi tidak berdoa sesudah shalat tertolak, karena telah shahih, bahwa Nabi saw, ada mengatakan kepada Mu'adz: "Janganlah kamu tinggalkan di dubur shalat, ucapan Allahumma a'innî 'ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika." Dan kalau orang me- ngatakan: dikehendaki dengan dubur shalat, akhir sukunya, yakni sebelum bersalam bukan sesudah shalat, kami menjawab bahwa telah di-ijma'kan, bahwa yang dikehendaki dengan dubur shalat dalam masalah dzikir itu, dapat juga dipahamkan dari perkataan Ibnul Qayyim, bahwa beliau menafikan "Nabi berdoa dengan cara menghadap kiblat, sesudah salam." Adapun sesudah berpaling, sesudah menghadapi makmum menghadapi arah yang lain dari kiblat. Ibnul Qayyim tidak menegaskan adanya, Ibnul Qayyim memandang bagus, kita berdoa sesudah shalat, asal didahulukan sesuatu dzikir dan sesudah shalawat.
Ash-Shan'any dalam Subulus Salam berkata: "Dubur memang boleh dimaksud akhir suku sesuatu, sebagai boleh juga sesuatu yang mengiringinya. Dalam soal berdoa ini, dimaksud yang mengiringi sesuatu. Bukan akhir sukunya. Dan dikehendaki dengan shalat adalah shalat fardhu.
Muhammad Al-Fiqqi dalam Ta'liq Bulughul Maram, cenderung kepada pentarjihan Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ibda' oleh Ali Mahfuzh, bahwa Nabi saw. tidak pernah duduk sambil menghadap makmum dengan membaca doa dan diaminkan oleh para makmum baik sesudah Shubuh maupun sesudah Ashar ataupun di shalat yang lain. Jelas sudah, bahwa para muhaqqiqin berselisihan pendapat dalam mentahqiqkan makna "dubur shalat."
Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, dua ulama besar yang sangat terkenal, men-tarjih-kan arti "akhir suku dari shalat" dalam masalah berdoa. Al-Hafizh men-tarjih-kan arti sesudah selesai shalat.
Menurut pentahqiqan kami, adalah sebagai berikut: Dalam masalah berdoa, maka yang dimaksud dengan "perkataan dubur", ialah akhir shalat sebelum salam, dan dalam soal dzikir masa yang mengiringi shalat, langsung sesudah shalat. Demikian juga makna "aqib." Para ulama yang menempatkan doa-doa sesudah bersalam, memaknakan dubur shalat dengan masa sesudah bersalam dan mengartikan 'aqib dengan "sesudah."
Ringkasnya, hendaklah kita ucapkan doa-doa yang kita maksud untuk memohon kepada Allah sebelum bersalam; karena masa inilah yang sangat layak kita pergunakan untuk berdoa. Dan hendaklah kita letakkan dzikir, tasbih, tahlil dan istighfar yang Nabi ucapkan di dubur shalat, sesudah bersalam, karena di sinilah yang lebih layak kita mengenang Allah, yaitu sesudah selesai bermunajat, sebagai kelanjutan dari kenangan atas selesainya kita bermunajat itu.
Nabi saw. memakai perkataan "dubur shalat", yang mengandung dua arti, adalah supaya mengesankan bahwa doa itu sedapat mungkin dapat kita ucapkan sebelum bersalam, sebelum mengakhiri upacara munajat, disebabkan sesuatu sebab, umpamanya kita shalat dengan berjamaah, atau ada sesuatu hal yang menghendaki kita lekas bersalam, maka untuk mengejar keluputan itu, hendaklah kita lakukan dengan kita dahuluinya dengan dzikir dan shalawat. Sekiranya Nabi bermaksud tegas, supaya doa-doa itu dibaca sesudah salam, tentulah Nabi memakai perkataan "ba'da" = sesudah.
Sekiranya tidak ada ijma' yang menetapkan, bahwa dzikir itu dibaca sebelum salam, tentulah kita dibolehkan juga meletakkannya sebelum salam, berdasarkan kepada perkataan dubur itu.
Menurut riwayat Ath-Thabrany, Nabi membaca di dubur shalat: "Allahumma rabba jibrilla wa mika-îla wa israfila a'idznî min harrin nâri wa min 'adzâbil qabri = wahai Tuhanku, wahai Tuhan dari Jibril, Mikail, dan Israfil, lindungilah daku dari panas api neraka dan 'azab kubur."
Di salam Musnad Ahmad dan Musnad ath-Thabrany, diterangkan, bahwa Nabi membaca: Allahumma ashlih li dini wa wassi' li dari wa barik li fi rizqi wahai Tuhanku, perbaikilah untukku agamaku dan luaskanlah untukku rumahku dan berkatilah rezekiku."
Namun demikian, jika kita membacakan doa-doa yang diterima dari Nabi dengan maksud dzikir, tidaklah diperlukan kita untuk mendahuluinya dengan dzikir dan shalawat.
Menurut penegasan Al-Hafizh, bahwa Nabi membaca doanya (jika beliau membaca sesudah salam) adalah ketika telah menoleh kepada makmum, atau telah berpaling dari menghadap kiblat. Hal ini didasarkan kepada nash yang menerangkan, bahwa Nabi sebentar saja menghadap kiblat sesudah bersalam segera menghadap makmum.
Doa-doa tsana' (seruan yang mengandung sanjung dan pujian), sama dengan dzikir. Doa yang dimaksud benar-benar kita letakkan sebelum salam, ialah doa-doa thalab (seruan yang mengandung permohonan).
An-Nawawy berkata: "Menurut Asy-Syafi'y dan ashhab-nya, bahwa kita dibolehkan berdoa dengan sesuatu doa yang dikehendaki, baik mengenai urusan dunia maupun urusan akhirat. Walaupun yang mengenai urusan akhirat lebih disukai kita doakan dalam shalat.
Boleh juga kita berdoa dengan yang ma'tsur, sebagaimana kita boleh berdoa dengan yang tidak ma'tsur. Abu Hanifah dan Ahmad, berkata: "Tidak dibolehkan kita berdoa dalam shalat, melainkan dengan doa-doa yang terdapat dalam Al-Qur'an saja, atau yang sebanding."
Al-Abdari berkata: "Sebagian ulama berpendapat jika kita memohon kelezatan seperti memohon untuk memperoleh perempuan yang cantik, maka batal shalat. Mereka membandingkan hukum ini kepada hukum tidak boleh men- tasymit-kan orang bersin dan menjawab salam dalam shalat.
Pentahqiq telah menegaskan, mana paham yang terkuat dalam masalah ini. Tegasnya, tidak ada halangan kita berdoa dengan sesuatu doa yang kita kehendaki, walaupun umpamanya memohon istri yang cantik, berdasarkan hadits "dan hendaklah ia doakan, apa yang dikehendaki oleh hatinya", yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim dan An-Nasa'y.
Bolehkah kita berdoa dengan bahasa yang bukan bahasa Arab
An-Nawawy telah menjawab pertanyaan ini dalam kitabnya, Syarh Al- Muhadzdzab, ujarnya: "Wajib atas segala mukallaf, mempelajari takbir dan dzikir shalat dalam sebutannya yang asli (bahasa Arab). Tidak boleh dibaca terjemahan Al-Fatihah; karena menghilangkan kekuatan bahasa atau kemu'jizatan lafazh Al- Qur'an. Adapun selain dari lafazh-lafazh yang wajib dibaca, maka bagian ini terbagi dua: (a) doa, dan (b) bukan doa.
Doa yang lafazhnya diterima dari Nabi, boleh dibaca terjemahannya oleh orang yang belum sanggup mempelajari lafazh Arab-nya. Dalam pada itu ada juga yang mengatakan, boleh kita bacakan terjemahannya. Mengenai doa yang tidak diterima dari Nabi, doa disusun sendiri, menurut mazhab Asy-Syafi'y, tidak boleh disebut dari bahasa yang selain dari bahasa Arab. Tetapi kalau diarabkan lebih dahulu boleh.
Pengarang Al-Hami, berkata: "Orang yang tidak mengetahui bahasa Arab, boleh berdoa dengan bahasanya sendiri. Kalau dia mengetahui bahasa Arab, baik- lah ia baca dalam bahasa Arab itu. Tetapi kalau ia bawakan juga doa-doa itu dalam bahasanya sendiri, sah juga shalatnya."
Yang tidak boleh dibacakan terjemahannya, ialah ucapan-ucapan yang diwajibkan, seperti tasyahhud dan salam."
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Sifat-sifat Shalat Nabi Masalah Doa Yang Dibaca Diakhir Shalat