DZIKIR TASYAHUD SESUAI SUNNAH
753) Ibnu Mas'ud ra. berkata:
عَلَّمَنِي رَسُوْلُ الله ﷺ التَّشَهُّدَ كَفِّى بَيْنَ كَفَّيْهِ كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّوْرَةَ مِنَ الْقُرْآنِ التَّحِيَّاتُ لِله وَالصَّلَواتُ وَالطَّيِّبَاتِ السّلاََمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْكَ وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
754) Ibnu Mas'ud ra, menerangkan:
Nabi saw. bersabda: "Apabila salah seorang kamu duduk dalam shalat, maka hendaklah dia membaca: At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath thayyibatu. As-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh. As-salamu 'alaina wa 'ala "ibâdillâhish shâlihin. Maka apabila dia telah membaca yang demikian ini, maka pembacaan itu mencakup segala hamba yang shalih di langit dan di bumi. Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abdu- hu wa rasuluhu kemudian dia memilih sesuatu permohonan yang dikehendaki- nya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Shahih Muslim I: 151)
عَلَّمَنِي رَسُوْلُ اللهِ ﷺ التَّشَهُّدَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَعْلَمُهُ النَّاسَ التَّحِيَّاتُ للهِ
"Rasulullah saw. telah mengajarkan kepadaku tasyahhud dan menyuruh mengajari manusia. Yaitu: At-tahiyyatulillah." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 445)756) Ibnu Abbas ra berkata:
"Rasulullah saw. mengajarkan kami tasyahhud sebagaimana beliau mengajar kami surat-surat Al-Qur'an. Beliau membaca: "At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibâtu lillah. As-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatul- lâhi wa barakatuh. As-salamu 'alaina wa 'alâ 'ibâdillâhish shâlihin. Asyhadu an la ilaha illallah. Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah." (HR. Muslim dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 446).
SYARAH HADITS
Al-Hafizh berkata pula: "Saya tidak mengetahui dalam masalah tasyahhud, hadits yang lebih shahih, yang lebih sah sanad-nya, lebih terkenal perawi-perawinya daripada hadits Ibnu Mas'ud." Hadits ini menyatakan, lafazh tasyahhud inilah yang paling sah sanad-nya, yang paling banyak para sahabat mengucapkannya.
Hadits (754) menyatakan bahwa membaca tasyahhud adalah wajib, dan menyatakan kebolehan kita berdoa dengan sesuatu doa yang kita kehendaki sesudah tasyahhud. Khususnya sesudah tasyahhud akhir sebelum salam, bahkan hadits ini menyatakan keharusannya kita berdoa itu.
Hadits (755) menyatakan, lafazh tasyahhud yang paling shahih diriwayatkan dari Nabi oleh para muhadditsin.
Hadits (756) diriwayatkan juga oleh At-Turmudzy serta dipandang shahihnya dengan lafazh "salamun 'alaika." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah sama dengan riwayat riwayat Muslim, tetapi akhirnya berbunyi,"wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu." Diriwayatkan oleh Ahmad dan oleh Asy-Syafi'y dengan bunyi: "salamun'alaika" dan dengan bunyi "wa anna Muhammadan."
Tetapi menurut suatu riwayat dari Ahmad berbunyi: "assalaamu 'alaika" dan diriwayatkan oleh An-Nasa'y seperti riwayat Muslim; tetapi dengan bunyi: "asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluhu." Juga lafazh ini diriwayatkan oleh Ad- Daraquthny dalam salah satu riwayatnya dan Ibnu Hibban dalam shahih-nya dengan lafazh "assalamu 'alaika" dan "salamun 'alaika"
An-Nawawy berkata: "Harus ditakdirkan" dengan kata "wa dan" antara "at tahiyyatu dengan al mubarakatu dan antara ash shalawatu dengan ath thayyibatu." Hadits ini menyatakan, lafazh tasyahhud yang Nabi ucapkan menurut riwayat Ibnu Abbas.
Jumhur ulama menetapkan, bahwa tasyahhud akhir, wajib. Di antara yang mewajibkannya, 'Umar, Ibnu 'Umar, Ibnu Mas'ud, Asy-Syafi'y, Ahmad, Al-Hadi dan Al-Qasim.
An-Nawawy dalam Syarah Muslim berkata: "Kedua-dua tasyahhud, menurut pendapat Abu Hanifah, Malik dan jumhur fuqaha, sunnat hukumnya. Demikianlah pendapat An-Nashir, dari ulama Ahlul Bait. Dalam pada itu ada diriwayatkan dari Malik, bahwa beliau mewajibkan tasyahhud akhir.
Para ulama berlainan paham tentang lafazh tasyahhud yang afdhal. Kata Abu Hanifah, Ahmad, jumhur fuqaha dan ahlul hadits yang menguatkannya.
Asy-Syafi'y dan sebagian pengikut Malik berkata: "Yang utama tasyahhud Ibnu Abbas. Asy-Syafi'y berkata lagi sesudah meriwayatkan riwayat Ibnu Abbas: "Banyak hadits yang diriwayatkan mengenai hadits Ibnu Abbas, karena dia lebih sempurna. (Terdapat di dalamnya kalimat yang tidak terdapat dalam tasyahhud Ibnu Mas'ud). Mengingat lebih luas kalimatnya saya mengambil lafazhnya dengan tidak menyalahkan orang yang mengambil yang lain."
Sebagian ulama memilih tasyahhud Ibnu Abbas, karena munasabah (bersesuaian) dengan lafazh Al-Qur'an dalam firman Allah: "Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik...." (QS. An-Nur: 61)
Menurut Malik, yang utama, tasyahhud Umar, karena tasyahhud 'Umar diajarkan kepada hadirin di dalam masjid di atas mimbar dan tidak dibantah oleh seseorang. Lafazhnya serupa dengan lafazh Ibnu Abbas, hanya perkataan "al-mubarakātu” diganti dengan "az-zakiyyatu." Dalam suatu riwayat dari 'Umar terdapat perkataan "wahdahu la syarika lahu" sesudah "asyhadu an la ilaha illallah."
An-Nawawy berkata: "Seluruh ulama bermufakat tentang kebolehan kita membaca salah satu dari lafazh tasyahhud ini, asal yang diterima dari jalan yang shahih. Abu Thayyib ath-Thabary menukilkan ijma ulama atas yang demikian."
Perkataan Ath-Thahawy dalam kitabnya memberi pengertian, bahwa sebagian ulama mewajibkan kita ber-tasyahhud dengan lafazh yang diriwayatkan dari 'Umar. Segolongan ulama hadits dari golongan Syafi'iyah seperti Ibnul Mundzir memilih tasyahhud Ibnu Mas'ud. Ibnu Khuzaimah menyamakan kedua tasyahhud itu.
Tentang hal berdoa
Al-Hafizh berkata: "Menurut Al-Qaffal dalam fatwanya, meninggalkan shalat berarti memberikan mudharat kepada seluruh umat Islam."
Para mushalli membaca: "Allahummaghfir li wa lil-mu'minina wal-mu'minâti (= ya Allah berilah ampunan untukku, dan untuk para mukmin laki-laki dan perempuan)" dan ia membacakan dalam tasyahhud: "as-salamu 'alaina wa 'alâ 'ibädillähish- shalihin (= semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan para hamba Allah yang shalih)." Maka dengan meninggalkan shalat, berarti dia tidak memenuhi hak Allah, hak Rasul, hak diri sendiri dan hak umum umat Islam. Karena itulah besar sekali kemaksiatannya, lantaran meninggalkan shalat.
As-Subki berkata: "Di dalam shalat, selain ada hak Allah, terdapat juga hak-hak hamba. Orang yang meninggalkan shalat berarti mencederai hak semua umat Islam. Baik yang telah lalu, maupun yang akan datang. Hal ini ditanggapi dari kefardhuan kita membaca "as-salamu alaina wa'ala 'ibädillähish-shâlihîn."
Sebagian ulama menyunnatkan kita membaca basmalah sebelum at-tahiyyatu. Jumhur ulama membolehkan kita berdoa dalam shalat dengan apa yang kita kehendaki, baik mengenai urusan dunia, maupun mengenai urusan akhirat.
Ibnu Baththal berkata: "Hal yang tersebut ini berlawanan dengan pendapat An-Nakha'y, Thawus dan Abu Hanifah. Mereka berpendapat, bahwa tidak diperbolehkan berdoa dalam shalat, selain dengan doa yang terdapat dalam Al-Qur'an." Menurut yang kita dapati dalam kitab-kitab Hanafiyah, ulama Hanafiyah mem- bolehkan kita berdoa dalam shalat dengan doa-doa yang terdapat dalam Al-Qur'an atau dalam hadits, asal saja ada dinukilkan dari Nabi saw.
Ibnu Sirin berkata: "Tidak boleh berdoa di dalam shalat selain dengan doa yang mengenai urusan akhirat."
Ahluzh zhahir mewajibkan kita berdoa, sesudah tasyahhud. Hadits ini dapat dijadikan hujjah untuk itu.
Tidak ada perselisihan pahamn antara para ulama hadits tentang ke-shahih-an tasyahhud Ibnu Mas'ud. Di antara yang menetapkan demikian ialah Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah. Di antara yang menambah kuat hadits Ibnu Mas'ud dari yang lain ialah persetujuan Al-Bukhary dan Muslim mengenai ke-shahih-annya.
Yang lain, tidak mendapat persetujuan dari kedua-dua imam hadits ini. Perawi-perawinya seluruhnya kepercayaan dan tidak ada pula perselisihan di antara para perawinya dalam membunyikan lafazh, lagi pula hadits Ibnu Mas'ud, diterima dari Nabi secara talqin, sengaja diajarkan.
Oleh karena itu, pentahqiqan dalam masalah ini, mengutamakan lafazh Ibnu Mas'ud dari yang lain dan berpendapat, bahwa tambahan kalimat yang tersebut dalam lafazh Ibnu Abbas, dikandung juga pengertiannya dalam lafazh Ibnu Mas'ud. Pendapat An-Nakha'y, Thawus dan Abu Hanifah ditolak oleh hadits ini, demikian juga Ibnu Sirin yang hanya membolehkan kita berdoa mengenai urusan akhirat saja.
Sepanjang penyelidikan Al-Hafizh, para sahabat yang meriwayatkan lafazh tasyahhud dari Nabi, ada 24 orang shahabi.
Pengertian kalimat-kalimat tahiyyat
"Ar-tahiyyin" bermakna: kesejahteraan, keabadian, kebesaran, keselamatan dari bencana, dari penyakit, dan dari kekurangan harta milik. Boleh juga diartikan: segala rupa kehormatan dan kebesaran. "Ash-shalawatu" bermakna: shalat lima, segala rupa ibadah, segala doa dan segala rahmat."
Ath thayyibati" bermakna: segala tutur kata yang baik dan segala amal yang shalih.
Ada yang berpendapat bahwa at tahiyyatu, bermakna segala rupa ibadah lidah, ash-shalawatu, segala rupa ibadah anggota dan "ath-thayyibatu", segala ibadah yang berdasarkan harta.
Dikehendaki dengan rahmat Allah, ialah keikhasanannya, dan dikehendaki dengan berkat-Nya, ialah limpahan-limpahan kebajikan."