Hadits Qunut Dalam Shalat Shubuh
QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH DAN DALAM SHALAT FARDHU YANG LAIN KETIKA TERJADI BENCANA
801) Abu Malik Al-Asyja'i ra berkata:قُلْتُ لِأَبِي : يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَّ هَا هُنَا بِالْكُوفَةِ قَرِيْبًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ مَا كَانُوا يَقْنُتُوْنَ؟ قَالَ: إِيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ.
"Saya berkata kepada ayah saya: "Ayah. Kamu pernah shalat di belakang Rasul saw., di belakang Abu Bakar, di belakang 'Umar, di belakang 'Utsman dan 'Ali di Kufah, hampir lima tahun apakah beliau-beliau itu ada membaca qunut?" Ayahku menjawab: "Ketahuilah anakku bahwa yang demikian itu, muhdats (perbuatan yang diada-adakan). (HR. Ahmad dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 501)802) Anas ibn Malik ra. menerangkan:
803) Anas ibn Malik ra. berkata:
"Qunut itu dibaca dalam shalat Maghrib dan Shubuh." (HR. Al-Bukhary; Al- Muntaqa 1: 502)
805) Abu Hurairah ra. menerangkan:
"Nabi saw. apabila berdoa terhadap seseorang, atau untuk seorang, beliau berqunut sesudah rukuk (boleh jadi Abu Hurairah berkata): "Apabila Nabi telah membaca: sami'allāhu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, beliau mengucapkan: Allahumma anjil walidabnal walidi wa salamatabna häsyimi wa "ayyāsyabna abi rabi'ata wal mustadh'afina minal mu'minina. Allahummasydud wath'ataka 'ala mudhara waj'alha 'alaihim sinîna kasinî yûsufa. Kata Abu Hurairah: Nabi men-jahar-kannya. Dan Nabi membaca di akhir shalatnya (shalat fajar). "Allahummal'an fulânan wa fulânan (dua buah golongan dari golongan- golongan Arab). Nabi ucapkan yang demikian itu sehingga Allah turunkan ayat: "laisa lakal minal-amri syai'un." (HR. Ahmad dan Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 503, 504)
"Sewaktu Nabi saw. shalat 'Isya tiba-tiba Nabi sesudah membaca sami'allâhu liman hamidah membaca: Allâhumma najjil walidabnal walidi. Allahumma najjil mustadh'afina minal mu'minina. Allâhummasydud watha'ataka 'ala mudhara. Allâhummaj'al-ha 'alaihim sinîna kasinî yûsufa." (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 505)
قَنَتَ رَسُولُ اللهِ ﷺ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاة إِذْ قَالَ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرِ، يَدْعُو عَلَيْهِمْ عَلَى حَيٍّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانٍ وَعُصَِيَّةَ وَيُؤْمِنُ مِنْ خَلْفَه.
"Rasulullah telah ber-qunut sebulan lamanya terus-menerus dalam shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya, dan Shubuh di akhir tiap-tiap shalat, sesudah beliau membaca sami'allāhu liman hamidah dari rakaat yang akhir. Beliau doakan terhadap suatu golongan dari Bani Sulaim, terhadap Ri'il, Dzakwan Ushayyah. Semua orang yang di belakangnya membacakan amin." (HR. Ahmad dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 505)SYARAH HADITS
Hadits (801) ini kata At-Turmudzy: shahih. Ibnu Majah meriwayatkan juga hadits ini dengan lafazh yang maknanya "Apakah beliau-beliau itu membaca qunut pada shalat fardhu?" Sedang An-Nasa'y meriwayatkan dengan lafazh yang maknanya: "Saya (ayah Abu Malik Al-Asyja'i) telah shalat di belakang Rasul saw. Beliau tidak berqunut. Saya telah pula shalat di belakang Abu Bakar. Beliau ini pun tidak ber-qunut. Saya telah shalat di belakang 'Umar. Beliau juga tidak ber-qunut dan saya shalat di belakang 'Utsman. "Utsman juga tidak ber-qunut. Sebagaimana saya telah shalat di belakang 'Ali yang juga tidak ber-qunut. Sesudah itu ayah Abu Malik Al-Asyja'i berkata: "Ketahuilah hai anakku, bahwa qunut itu bid'ah."
Hadits ini menyatakan bahwa qunut secara tetap tidaklah disyariatkan.
Hadits (802), diriwayatkan juga oleh Muslim, An-Nasa'y dan Ibnu Mujah dengan lafazh: "Nabi ber-qunut sebulan lamanya, berdoa atas beberapa golongan Arab." Kemudian telah sebulan itu beliau tinggalkan. Menurut lafazh Al-Bukhary yang bermakna" Nabi ber-qurut sebulan lamanya ketika banyak para qurra' (ahli ilmu baca/penghafal Al-Qur'an) dibunuh musuh. Aku tidak pernah melihat Nabi segundah itu hatinya, lantaran gugurnya para penghafal Al-Qur'an itu."
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dalam Shahih-nya dari Anas ra., bahwa golongan Ri'il, Dzakwan, Ushayyah dan Banu Lahyan meminta bala bantuan (pasukan) dari Nabi. Maka Nabi mengirimkan untuk membantu mereka tujuh puluh orang Anshar yang kami namakan para qarı, yang pekerjaannya mencari kayu api untuk dijual untuk keperluan hidup, pada siang hari dan mengerjakan shalat malam pada malam hari. Ketika mereka telah sampai ke Bi'ri Ma'unah (nama suatu tempat) mereka yang tujuh puluh itu dibunuh oleh golongan tersebut. Ketika Nabi mendengar berita itu, ber-qunut-lah beliau sebulan lamanya, memohon agar Allah membinasakan kaum pengkhianat itu.
Ada riwayat yang menerangkan, bahwa Nabi ber-qunut selama lima belas hari. Dalam riwayat yang mansyhur, yang banyak dan yang shahih, Nabi ber-qunut hanya sebulan lamanya.
Hadits ini menyatakan bahwa qunut itu, tidak disyariatkan dalam segala shalat, tidak dalam shalat Shubuh, tidak dalam shalat lain secara tetap.
Hadits (803) juga ada diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan At-Turmudzy serta dinyatakan shahih oleh At-Turmudzy. Hadits ini menyatakan bahwa Nabi pernah ber-qunut dalam shalat Maghrib dan shalat Shubuh.
Hadits (804) menyatakan bahwa qurut untuk mengutuk musuh, telah di-masukh-kan. Qunut yang masih disyariatkan, hanyalah qunut ketika ada bencana, untuk memohon pertolongan untuk mereka yang mempertahankan kebenaran (agama, negara dan umat) dan memohon kemusnahan tentara musuh. Selain dari itu ada juga ber-qurut memohon terhindar dari bala bencana.
Hadits (805) menyatakan bahwa kita boleh berdoa dalan qunut untuk kemuslihatan orang-orang lemah semoga Allah melepaskan mereka dari tangan musuh. Dikiaskan kepadanya kebolehan berdoa untuk keselamatan dari segala rupa bencana dengan tidak dibedakan antara orang yang lemah dengan yang tidak.
Hadits (806) diriwayatkan oleh Al-Bukhary. Menurut suatu lafazh yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim, Abu Hurairah berkata: "Saya mendekatkan kepada shalat Rasul saw." Dalam riwayat Al-Isma'ili disebutkan: "Shalat saya, paling dekat kepada shalat Rasul saw." Maka Abu Hurairah yang berkata demikian ber-qunut pada rakaat yang akhir dari shalat 'Isya' dan Shubuh sesudah membaca: "sami'allāhu liman hamidah" Abu Hurairah memohon kebajikan untuk para mukmin dan memohon kebinasaan untuk orang kafir.
Dalam riwayat Ahmad terdapat perkataan "dan shalat Ashar di tempat" dan shalat 'Isya'. Menyatakan bahwa disyariatkan qunut ketika timbul suatu bencana yang menimpa masyarakat Islam (atau sebagian umatnya).
Hadits (807), menurut riwayat Ahmad yang satu lagi, Ibnu 'Abbas berkata: "Nabi mengutus delegasi itu untuk menjalankan da'wah Islamiyah atas permintaan dari golongan-golongan itu sendiri. Namun mereka secara khianat dan kejam telah dibunuh. Ikrimah berkata: "Inilah permulaan qunut di dalam Islam." Hadits ini menyatakan bahwa qunut nawazil (bala-bencana) tidak dikhususkan di dalam shalat Shubuh saja, akan tetapi dikerjakan dalam segala shalat. Hadits ini menyatakan pula bahwa qunut itu dilakukan sesudah rukuk dalam berdiri i'tidal, bukan dalam berdiri membaca Al-Fatihah.
Ulama Syafi'iyah berkata: "Menurut sunnah, hendaklah qunut, dibaca dalam rakaat yang kedua dalam shalat Shubuh, mengingat riwayat Anas, bahwa Nabi ber-qunut sebulan lamanya, memohonkan kehancuran kaum-kaum durjana. Kemudian Nabi meninggalkan qunut. Adapun qunut dalam shalat Shubuh, beliau terus-menerus mengerjakannya, sehingga beliau meninggal dunia. Tempat qurut ini adalah sesudah bangkit dari rukuk dalam i'tidal, mengingat riwayat, bahwa pernah ditanyakan kepada Anas: "Apakah Nabi ber-qunut dalam shalat Shubuh?" Anas menjawab: "Ya" Ditanya lagi: "Sebelum rukuk atau sesudahnya?" Anas menjawab: "Sesudah rukuk."
Menurut sunnah, hendaklah dibaca:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَّيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ سُبْحَانَكَ وَتَعَالَيْتَ، وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ.
Allahummahdini fiman hadait. Wa 'afini fiman 'afait. Wa tawallani fiman tawal- lait. Wa bå rikli fimâ athait. Wa qini birahmatika syarra mâ qadhait. Fa innaka taądhi wa là yuądha 'alaik. Wa innahu laa yadzillu man-walait. Wa là yaïzzu man 'adait. Tabārakta subhanaka wa ta'alait. Wa shallallahu wa sallama 'alan nabiyyi= "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku beserta orang-orang yang telah Engkau tunjuki, 'afiatkanlah kau beserta orang-orang yang telah Engkau 'afiatkan, pimpinlah aku beserta orang-orang yang telah Engkau pimpin, berkatilah untukku segala apa yang telah Engkau berikan. Dan peliharalah aku dari kejahatan apa yang Engkau telah tetapkan; sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan; tak ada yang dapat menetapkan atas Engkau. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau musuhi. Maha Agung Engkau, Mahasuci Engkau, wahai Tuhan kami dan Mahatinggi Engkau dan puji sanjung kepada Nabi (Muhammad)."Lafazh ini diucapkan berdasarkan kepada riwayat Al-Hasan ibn 'Ali ujarnya: "Rasul telah mengajarkan kepadaku lafazh ini untuk kubacakan dalam shalat witir."
Asy-Syirazy berkata: "Jika seseorang membaca lafazh yang diriwayatkan dari 'Umar, maka itu baik. Juga lafazh itu diriwayatkan oleh Abu Rafi'i, ujarnya: 'Umar telah ber-qunut sesudah rukuk dalam shalat Shubuh. Aku dengar beliau membacakan:
Disukai pula kita bershalawat kepada Nabi pada akhir qunut, mengingat riwayat dari Al-Hasan dan shalat witir, bahwa beliau membaca: "tabârakta wa ta'älaita wa shallallahu 'alan nabiyyi wa sallama."
Juga disukai supaya para makmum, mengaminkan doa qunut itu, mengingat riwayat Ibnu 'Abba bahwa Rasul ber-qunut dan orang yang di belakangnya mengaminkan. Dan disukai bagi makmum pula membaca sendiri kalimat-kalimat sanjung karena kalimat-kalimat itu tidak diaminkan.
Tentang hal mengangkat tangan dalam qurut, tidak diperoleh suatu nash pun. Menurut mazhab Asy-Syafi'y, tujuan tidak diangkat tangan di waktu membaca queut, mengingat bahwa Nabi tidak mengangkat tangannya, selain di tiga tempat: dalan doa meminta hujan, dalam meminta pertolongan dan di malam 'Arafah; dan karena mengingat pula bahwa qunut itu doa yang dibaca dalam shalat.
Lantaran itu tidaklah disukai kita mengangkat tangan, serupa dengan doa dalam duduk tasyahhud. Adapun selain dari shalat shubuh maka tidaklah dibaca qunut kalau tidak ada hajat yang tertentu. Apabila urmat Islam ditimpa suatu bencana, hendaklah mereka ber-qunut dalam shalat fardhu, berdasarkan riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi tidak ber-qunut, melainkan untuk berdoa untuk seseorang atau atas seseorang. Adalah Rasul saw. setelah membaca: "sami'allâhu liman hamidah" membaca "rabbana lakal hamdu." Sesudah itu barulah berdoa. Demikian perkataan Asy- Syirazy.
An-Nawawy berkata: "Qunut dalam shalat Shubuh sesudah bangkit dari rukuk rakaat kedua, adalah sunnat dalam pendapat kami tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat). Nukilan dari Abu Ali bahwa Ibnu Abi Hurairah, seorang ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'y tidak ber-qunut dalam shalat Shubuh, tidaklah dapat dipandang mazhab kami." Mengenai qunut di shalat fardhu yang lain, ada tiga pendapat dalam mazhab kami:
Pertama, pendapat yang sah lagi masyhur dan dikuatkan oleh jumhur ulama kami, bahwa jika masyarakat Islam tertimpa bencana umum, seperti kemarau, wabah penyakit dan sebagainya, hendaklah kita ber-qunut. Kalau tidak ada keperluan, kita tidak ber-qunut.
Kedua, disukai kita ber-qunut dalam segala shalat, walaupun tidak ada sesuatu bencana yang sedang menimpa. Demikianlah pendapat Abu Hamid dalam kitab Ta'liq-nya
Ketiga, tidak disukai kita membaca qunut sama sekali. Qunut dalam shalat-shalat sunnat tidaklah disukai. Asy-Syafi'y dalam Al-Umm dalam bab shalat hari raya ketika menerangkan hal bacaan, berkata: "Tidak ada qunut dalam shalat hari raya dan shalat minta hujan, tetapi kalau seseorang ber-qunut di masa tertimpa sesuatu bencana, saya tidak membencinya (saya tidak memakruhkan)."
Mengenai tempat qunut, menurut pendapat Al-Baghawy, adalah sesudah rukuk. Kalau dibaca sebelum rukuk, tidak sah. Apabila qunut itu ditinggalkan hendaklah melakukan sujud sahwi. Demikian adalah nash Asy-Syafi'y dalam Al- Umm.
Menganai lafazh qunut, hendaklah ditambah "fa" pada kalimat "innaka." Maka dibacalah "fa innaka" dan ditambah "wa" pada kalimat "innahuu laa yadzillu." Maka dibacalah "wa innahū là yadzillu." Lafazh ini diriwayatkan oleh Abu Daud, At- Turmudzy, An-Nasa'y dan lain-lain, dengan sanad yang shahih, Kata At-Turmudzy, hadits ini hasan. Dan tidaklah diterima dari Nabi saw. tentang lafazh qunut yang lebih baik daripada ini.
Menurut riwayat Al-Baihaqy dari Muhamad ibn Hanafiyah, bahwa beliau itu berkata: "Inilah doa yang diucapkan oleh Ayahku (Ali ibn Abi Thalib) dalam qunut shalat fajar. Al-Baihaqy berkata: Doa ini, berdasar kepada beberapa riwayat yang Nabi ajarkan untuk qunut shalat Shubuh dan qunut shalat witir.
Kalimat yang delapan ini, itulah yang dinashkan oleh Asy-Syafi'y, dalam kitab Mukhtashar Al-Muzany. Beliau mencukupkan sebanyak itu. Akan tetapi kalau ditambah perkataan "wa là ya'izzu man 'adaita" sebelum "tabarakta rabbanā wa ta'alaita" dan ditambah "astaghfiruka wa atūbu ilaika", maka hal itu dibolehkan. Dernikianlah pendapat Abu Hamid dan Al-Bandaniji. Menurut pendapat Abuth Thayib tidak boleh ditambah perkataan "wa la ya'izzu man 'adaita."
Ulama-ulama Syafi'iyah berkata: Kalau yang membaca qunut itu imam, maka hendaklah dia menjama kan lafazhnya, seperti ia membaca: "Allahummahdinā."
Dalam mazhab kami ada dua pendapat mengenai lafazh-lafazh qunut ini:
Pertama, pendapat yang shahih lagi masyhur dan yang dikuatkan oleh Jumhur Ulama kami, bahwa tidaklah dimustikan lafazh-lafazh ini untuk dibaca sebagai qunut, boleh dibaca doa yang lain.
Kedua, diharuskan lafazh-lafazh ini untuk qunut, serupa dengan kalimat- kalimat tasyahhud, tidak boleh diganti. Demikianlah pendapat Imamul Haramain, Al-Ghazaly dan Muhammad ibn Yahya. Kalau dibaca yang lain, tidaklah dipandang cukup dan harus dilakukan sujud sahwi.
Pendapat yang tidak menentukan dengan lafazh ini, membolehkan kita membawa doa yang ma'tsur, dan yang tidak ma'tsur. Jika dibaca ayat Al-Qur'an yang menjadi doa, atau serupa doa, seperti akhir surat Al-Baqarah, cukuplah sudah. Kalau dibaca yang bukan doa tidaklah mencukupi. Para ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa qurut dengan qunut 'Umar, juga dipandang baik.
Lafazh qurut menurut Al-Baghawy, yang diriwayatkan dari Atha' dari 'Ubai- dillah ibn 'Umar, bahwa 'Umar ber-qunut sesudah rukuk dengan ucapan "Allâhum- maghfir lana walil-mu'minina wal-mu'mināti wal-muslimina wal-muslimâti wa allif baina qulübihim wa ashlik dzāta bainihim wanshurhum 'ala aduwwika wa 'aduwwihim Allahummal'an kafarata ahlil kitābilladzina ya-shuddûna 'an sabīlika wa yukadzdzibūna rusulaka wa yugatilúna auliāka. Allahumma khalif baina kalimâtihim wa zalzil aqdâmahum wa anzil bihim ba'sakalladzi la tarudduhu 'anil-qaumil mujrimîna. Bismillahir Rahmanir Rahim. Allahumma innä nastaīnuka wa nakhla'u wa natruku man yafjuruka. Bismillahir Rahmanir Rahim. Allahumma iyyāka na budu wa laka nushalli wa nasjudu wa ilaika nas'a wa nahfidu wa nakhasyā "adzābaka wa narju rahmataka innā 'adzābakal jidda bil kuffaari mulhaqon." Di dalam riwayat ini, qunut ini dibaca sebelum rukuk dalam shalat fajar. Al-Baihaqy berkata: "Orang yang meriwayatkan dari 'Umar tentang qunut-nya sesudah rukuk, lebih banyak. Diantaranya Abu Rafi (Nufai' seorang tabi'i besar), Ubaid ibn 'Umar dan 'Utsman an-Nahdi.
Ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa lebih baik dikumpulkan qunut 'Umar ini dengan qunut yang sebuah lagi. Kalau dicukupkan dengan salah satunya saja, hendaklah dicukupkan dengan qunut yang pertama itu, kalau shalat sendiri, atau dengan Jamaah yang suka dipanjangkan shalatnya. Untuk masa sekarang, lebih baik perkataan "adzdzib kafarata ahlil kitaabi", diganti dengan "adzdzibil kafarata."
Menurut mazhab yang shahih dalam mazhab kani, disukai kita bershalawat untuk Nabi di akhir qunut. Menurut pendapat Al-Baghawy, tidak disukai kita memanjangkan qunut, sebagaimana tidak disukai kita memanjangkan tasyahhud awal.
Orang yang membaca Al-Qur'an sebagai qunt, haruslah bersujud sahwi. Mengenai masalah mengangkat tangan dalam qunut, maka menurut pendapat (pilihan) Asy-Syrazy, Al-Qaffal dan Al-Baihaqy, tidaklah disunnatkan. Menurut pendapat Abu Zaid Al-Marwazy dan beberapa ulama yang lain, di antaranya Al-Baihaqy, disukai kita mengangkat tangan.
Mengenai masalah menyapu muka sehabis ber-qunut, maka menurut pen- dapar Abuth Thayib, Abu Juwaini, Al-Ghazaly, disukai. Akan tetapi menurut pendapat Al-Baihaqy, Ar-Rafi'i dan beberapa ahli tahqiq yang lain, tidak disukai. Inilah pendapat yang shahih. Al-Baihaqy berkata: "Saya tidak menerima riwayat tentang menyapu muka sesudah membaca qurut dari seseorang ulama salaf.
Yang ada diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf, ialah tentang mengangkat tangan, ketika berdoa di luar shalat, tidak diperoleh dasarnya, baik dari hadits, atsar maupun qiyas, karena itu lebih utama apabila kita tidak mengangkat tangan dan tidak menyapu muka.
Apabila imam membaca qunut, maka di antara ulama Syafi'iyah, ada yang tidak suka qunut-nya di-jahar-kan. Pendapat yang lebih shahih, di-jahar-kan. Adapun si munfarid, maka disukai dia membaca dengan suara yang lemah.
Apabila imam tidak men-jahar-kan, hendaklah makmum, membaca sendiri dengan sirr. Dan kalau imam men-jahar-kan, hendaklah, makmum mengaminkan dalam lima lafazh saja. Mulai dari lafazh "fa innaka tagdhi" hendaklah makmum membaca sendiri atau berdiam saja. Demikianlah mengenai qunut Shubuh.
Adapun qunut- qunut pada shalat lain, maka ada yang berpendapat, supaya di-israr-kan di shalat sirr dan di-jahar-kan di dalam shalat jahar. Menurut pendapat yang benar, hendaklah di-jahar-kan. Demikianlah pendapat kalangan Syafi'iyah.
Pendapat ulama-ulama Malikiyah
Ibnu Rusyd berkata: "Para ahli ijtihad berselisihan pendapat tentang qunut. Menurut pendapat Malik, qunut dalam shalat Shubuh, mustahab (disukai). Menurut pendapat Asy-Syafi'y, sunnat. Abu Hanifah berpendapat bahwa qunut dalam shalat Shubuh, tidak dibolehkan. Qunut itu, menurut pendapat Abu Hanifah tempatnya dalarn shalat witir."
Segolongan ulama menyunnatkan kita ber-qurut dalam shalat. Segolongan yang lain berpendapat, bahwa qunut itu dikerjakan dalam bulan Ramadhan saja (dalam shalat witir). Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa qunut itu di nishfu (pertengahan) yang kedua dari bulan Ramadhan. Ada juga yang berpendapat di nishfu yang pertama. Malik juga berpendapat di nishfu yang pertama.
Malik menyukai supaya qunut itu dibaca menurut lafazh yang diriwayatkan dari 'Umar. 'Abdullah ibnu Daud berkata: "Barangsiapa tidak ber-qunut dengan qunut Umar, janganlah dia shalat di belakangku." Menurut mazhab Malik, qunut itu dibaca secara israr (dibaca sendiri sendiri).
Pendapat-pendapat ulama Hanbaliyah
Ibnu Qudamah berkata: "Tidaklah disunnatkan qunut pada shalat Shubuh dan tidak pada yang selainnya, kecuali dalam shalat witir saja. Demikian pula pendapat Ats-Tsaury dan Abu Hanifah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud dan Abud Darda'. Malik ibn Abi Laila, Al-Hasan Ibnu Shahih dan Asy-Syafi'y mengatakan: "Disunnatkan qurut dalam shalat Shubuh di segala zaman. Karena Anas berkata: Rasulullah senantiasa ber-qunut dalam shalat Shubuh, sehingga beliau wafat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad Juga karena ada diriwayatkan, bahwa 'Umar ber-qunut dalam shalat Shubuh di hadapan segolongan para sahabat.
Kami ulama Hanbaliyah berpegang kepada riwayat Muslim, yang menegaskan bahwa: "Nabi hanya sebulan saja ber-qunut (berdoa) untuk kebinasaan suatu golongan Arab, kemudian Nabi meninggalkannya. Juga kami berpegang kepada riwayat Abu Hurairah dan Abu Mas'ud yang sama maksudnya dengan hadits yang diriwayatkan Muslim.
Diriwayatkan oleh Abu Malik Al-Asyja'y, ujarnya: saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang shalatnya ketika menjadi makmum di belakang Rasul, Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali di Kufah selama lebih kurang lima tahun, apakah beliau-beliau itu ber-qunut? Ayahku menjawab Ber-qunut itu adalah bid'ah. At-Turmudzy berkata: Hadits ini hasan shahih. Dialah yang di- amalkan oleh kebanyakan ulama."
An-Nakha'y berkata: "Permulaan orang yang ber-qunut dalam shalat Shubuh, ialah 'Ali. Beliau ber-qunut memohon kemenangan ketika menghadapi pertempuran. Diriwayatkan oleh Sa'id dalam Sunan-nya dari Husyaim dari Urwah Al- Hamdani dari Asy-Syafi'y, ujarnya: "Ketika 'Ali ber-qunut dalam shalat Shubuh, para hadirin menolaknya, maka 'Ali berkata: "Kami perlu memohon pertolongan dalam menghadapi musuh."
Selain itu, Abu Hurairah memberitakan, bahwa Rasulullah tidak qunut dalam shalat Shubuh, melainkan ketika berdoa untuk suatu kaum.
Penerangan Abu Hurairah ini diriwayatkan oleh Sa'id. Hadits Anas yang menerangkan bahwa Nabi tetap ber-qunut dalam shalat Shubuh, mungkin sekali yang dikehendaki olehnya, ialah melamakan berdiri. Melamakan berdiri itu (di dalam berdiri i'tidal), dinamakan qunut juga.
Adapun qunut 'Umar, mungkin dilakukannya dalam waktu-waktu ada bencana. Kami berpendapat demikian mengingat, bahwa kebanyakan riwayat menandaskan bahwa 'Umar tidak ber-qunut dalam shalat Shubuh. jika terjadi bencana, barulah imam (kepala negara atau para penguasa) ber-qunut dalam shalat Shubuh. Demikianlah nash Ahmad.
Al-Atsram berkata: "Saya dengar Abu Abdullah menjawab pertanyaan tentang hal qunut Shubuh. Beliau berkata: Apabila terjadi bencana atas kaum muslimin, barulah imam (kepala negara atau penguasa), ber-qunut di dalam shalat Shubuh dan diaminkan oleh orang-orang yang di belakangnya. Tidaklah sekali-kali qunut itu dibaca oleh masing-masing orang yang shalat, sebagaimana tidak dibaca dalam shalat-shalat yang selain dari Shubuh."
Pendapat-pendapat ulama HanafiyahUlama-ulama Hanafiyah tidak membenarkan kita ber-qunut, selain dari qurut shalat witir. Ibnul Humman telah mentahqiqkan masalah ini dalam Fat-hul Qadir, dan beliau menerangkan, bahwa hadits-hadits qurut dalam shalat Shubuh adalah dha'if.
Pendapat-pendapat beberapa mujtahidin lain
Sufyan ats-Tsaury berkata: "Jika seseorang ber-qunut dalam shalat fajar, maka perbuatannya dipandang baik. Jika tidak ber-qunut, maka perbuatannya dipandang baik juga. Ats-Tsaury sendiri tidak ber-qunut.
Ibnul Mubarrak, tidak menyunnatkan qunut dalarn shalat Shubuh. Ibnul Hazam berkata qunut itu, sesutau perbuatan yang baik dan dilakukan dalam berdiri i'tidal di rakaat yang akhir dari setiap shalat fardhu. Shubuh dan selainnya dan dalam shalat witir. Oleh karena itu tidak ada keberatan kita mening- galkannya. Ucapan yang dibaca itu ialah: "Allahummahdinî, hingga. wa ta'aalaita". Sesudah itu hendaklah seseorang berdoa untuk orang-orang yang dia kehendaki dan boleh dia menyebut nama-nama mereka. Kalau dilakukan sebelum rukuk tidak batal shalatnya.
Menjelaskan tempat ber-qunut
Asy-Syafi'y, Ahmad, Ishaq dan menurut suatu riwayat dari Malik, bahwa tempat qurut adalah pada waktu berdiri i'tidal. Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari riwayat 'Ashim ujarnya: "Saya bertanya kepada Anas tentang qunut, apakah sebelum rukuk atau sesudahnya. Anas menjawab: "Sebelumnya."
Sebagian ularna membolehkan kita ber-qunut sebelum rukuk dan memboleh- kan kita ber-qunut sesudahnya. Penetapan ini, diriwayatkan oleh pengarang Al-Muhfim dari 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud dan segolongan sahabat.
Dasar-dasar yang kuat dipegang oleh 'Umar yang menyunnatkan qunut Shu- buh secara tetap, ialah perkataan Anas "fa amma fis-shubhi fa lam yazal yaqnutu hatta faragad-dun-ya" maka adapun dalam shalat Shubuh, terus-menerus beliau ber-qunut sehingga beliau meninggalkan dunia ini."
Hadits ini disahkan oleh Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Al-Baihaqy. Al-Raihaqy telah memaparkan sejumlah hadits dan atsar, yang menguatkan mazhab Asy-Syafi'y, ujarnya: "Bab ini menyatakan tentang terus-menerus ber-qunut dalam shalat Shubuh." Diberitakan oleh Anas, bahwa Nabi senantiasa membaca qunut dalam shalat Shubuh, sehingga beliau wafat. Diriwayatkan dari jalan Thariq, ujarnya: "Saya shalat Shubuh di belakang 'Umar. Saya mendengarnya membaca qunut."
Diberitakan dari Ubaid ibn Umair ujarnya: Saya mendengar 'Umar ber-qunut dalam shalat Shubuh di Mekkah. Kedua-dua riwayat ini menurut Al-Baihaqy, shahih. Diperoleh riwayat yang shahih, bahwa 'Ali, membaca qunut dalarn shalat Shubuh. Menurut riwayat Abu Raja" dari Ibnu 'Abbas, bahwa beliau ber-qurnut dalam shalat Shubuh. Riwayat ini shahih. Demikian kata Al-Baihaqy.
Hujjah-hujjah yang didatangkan oleh Al-Baihaqy yang menjadi sandaran (pegangan) segala ulama yang menyunnatkan qunut, baik An-Nawawy, maupun selainnya dari ulama-ulama Syafi'iyah, dalam shalat Shubuh, dengan secara tetap telah dibahas, dengan cara yang sangat teliti oleh Ibnu Turkumani.
Ibnu Turkumani berkata: Bagaimanakah dapat dikatakan, bahwa sanad hadits Anas yang menerangkan Nabi ber-qunut terus-menerus dalam shalat Shubuh, itu baik dan shahih, padahal perawi yang meriwayatkannya dari Abu Rabi' ialah: Abu Jafar, Isa ibn Mahan ar-Razi, seorang perawi yang diragukan? Menurut pendapat Abu Zur'ah, orang ini banyak waham (lemah dan membuat kesalahan).
Ibnu Turkumani telah membahas segala dalil yang dibawakan oleh Al-Baihaqy dalam menguatkan hadits Anas tersebut. Semua dalil itu, dinyatakan dha'if dari segi perawinya.
Mengenai hadits yang diterima dari Thariq, dari Ubaid ibn 'Umar, juga tidak dapat di-shahih-kan; karena di dalam sanad-sanadnya terdapat perawi Al-Hasan ibn Muhammad Al-Bahari. Menurut pendapat Ibnul Jauzi, dia seorang pendusta. Menurut pendapat Ad-Daraquthny, orang itu adalah seorang yang suka men- campurkan yang baik dengan yang buruk.
Menurut pendapat Ibnu Ar-Razi, orang itu tidak dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian nyatalah bahwa riwayat-riwayat itu, tidak shahih. Yang shahih, yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Umar, yaitu tidak ber- quonut; segala jalan yang dipaparkan oleh Al-Baihaqy dari 'Umar, tidak lepas dari pembicaraan.
Riwayat yang diterima dari 'Ali dapat dipandang shahih, karena mudhtharab. Yang shahih diriwayatkan dari Ali ialah bahwa beliau hanya ber-qunut dalam musim peperangan.
Mengenai riwayat dari Ibnu Abbas tidak ber-qunut dalam shalat Shubuh. Disebut dalam Tahdzib Ath-Thabary bahwa Sa'id ibn Jubair berkata: "Saya shalat beserta Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas, shalat Shubuh, maka kedua beliau itu, tidak ber-qunut." Sa'id ibn Jubair berkata: "Qunut itu bid'ah. Aku dengar Ibnu 'Umar berkata demikian." Mengingat bahwa lebih banyak orang yang meriwayatkan dari pada Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak ber-quut, utamalah kita berpegang pada riwayat itu dari berpegang kepada riwayat orang seorang yang meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ada ber-qunut.
Ibnul Qayyim berkata: "Keinsafan yang diridhai oleh orang alim yang munshif (sadar), ialah: menetapkan bahwa Nabi pernah ber-qunut dan pernah tidak ber-qunut. Tidak pernah mengerjakan qunut, lebih banyak dari pada mengerjakannya. Nabi harnya ber-qurut ketika ada bencana untuk berdoa bagi sesuatu kaum dan atas sesuatu kaum. Setelah doa beliau terkabul, beliaupun meninggalkan qunut.
Tegasnya, Nabi ber-qunut karena keperluan yang mendatang. Apabila keperluan yang mendatang itu hilang, beliaupun meninggalkan qunut. Hadits Anas semuanya shahih, tidak saling bertentangan. Tetapi perkataan Anas tersebut haruslah diartikan bahwa yang dimaksud Nabi senantiasa qurut sehingga beliau wafat, adalah beliau memanjangkan berdirinya ketika i'tidal.
Memang Nabi memanjangkan shalat fajar atas shalat yang lain. Semua ulama mengetahui, bahwa Nabi me- nyeru Tuhannya dan menyanjung-Nya, dalam i'tidal. Ini adalah qunut. Oleh karena qurut yang dipahami fuqaha hanya doa "Allahummahdini" dan mereka mendengar bahwa Nabi terus-menerus ber-qurnut dalam shalat fajar, mereka pun berpendapat bahwa qunut yang Nabi lakukan itu, ialah pembacaan "Allahummahdini" dan inilah saja yang dibantah oleh jumhur ulama.
Mustahil sekali kalau Rasulullah tetap membaca doa "Allahummahdini" setiap shalat Shubuh dalam i'tidal-nya, dengan suara nyaring, diaminkan pula oleh sahabatnya sampai tidak diketahui oleh semua ummat, bahkan tidak diketahui oleh jumhur sahabat.
Asy-Syaukany berkata: "Telah terjadi permufakatan untuk menafikan qunut dalam empat shalat: Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, Jika tidak ada sebab. Perselisihan ulama terjadi dalam masalah qurut di shalat Shubuh dan witir.
Sekiranya sah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny, Abdul Razzaq, Abu Nu'aim, Ahmad, Al-Baihaqy dan Al-Hakim serta dishahihkan, uplah bagi yang me- nyunnatkan untuk mematahkan keterangan ulama-ulama yang tidak menyunnat- kan.
Hadits itu diterima dari jalan Abu Jafar ini. Al-Hafizh berkata: riwayat yang telah lalu ini, ditentang oleh riwayat Al-Khatib dari jalan Qais dari Ashim, yang berbunyi: "Kami bertanya kepada Anas, sehubungan dengan adanya orang-orang yang mengatakan, bahwa Nabi terus-menerus ber-qurut dalam shalat Shubuh. benarkah itu? Anas menjawab: Mereka bohong. Sebenarnya Nabi hanya ber-qunut sebulan lamanya berdoa atas segolongan musyrikin. Qais perawi hadits ini tidak dituduh dusta. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahih-nya dari jalan Sa'id dari Qatadah dari Anas, bahwa Nabi tidak ber-qunut, melainkan apabila berdoa untuk sesuatu kaum, atau atas sesuatu kaum.
Apabila kita memperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh beberapa muhaqqiq ini, maka kita condong untuk berpegang kepada pentahqiqqan Ibnul Qayyim, atau kepada pendapat Ibnu Hazm. Yang menjadi titik berat pentahqiqan mereka ialah bahwa Nabi tidak secara tetap membaca qunut Shubuh dengan diaminkan oleh makmum. Mengekalkan yang demikian, menurut pentahqiqan kami, itulah yang dinyatakan bid'ah oleh golongan yang mem-bid'ahkannya.
Lafazh qunut mempunyai sepuluh arti: pertama: doa kedua: khusyuk; ketiga ibadah; keempat: tha'at; kelima: menegakkan tha'at; keenam: mengakui kehambaan diri; ketujuh: tidak berbicara-bicara dalam shalat, kedelapan: berdiri dalam shalat, kesembilan: melamakan diri dalam shalat, kesepuluh: kekal mengerjakan tha'at.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Sifat-sifat Shalat Nabi Masalah Qunut Dalam Shalat Shubuh Dan Dalam Shalat Fardhu Yang Lain Ketika Terjadi Bencana