Hadits Shahabat Nabi Ahli Al-Qur'an
MEMBACA AL-QUR'AN (AL-FATIHAH) MENURUT BACAAN IBNU MAS'UD DAN 'UBAY IBN KA'AB
692) Abdullah ibn 'Umar ra, berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : خُذُوْا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةِ، مِنْ ابْنِ أُمَ عَبْدِ فَبَدَأَ بِهِ، وَمُعَادِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَي بْنِ كَعْبٍ، وَسَالِمٍ مَوْلى أَبِي حُذَيْفَة
693) Abu Hurairah ra. menerangkan:
إِنَّ النَّبِيَّ قَالَ: مَنْ أَحَبِّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ
694) Anas ibn Malik ra, berkata:
قَالَ رَسُولُ الله ﷺ لِأُبَيٍّ: إِنَّ اللهَ أَمَرَ نِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: وَسَمَّانِي لَكَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَبَكَى
Rasulullah saw. berkata kepada Ubay ibn Ka'ab, sabdanya: "Ya Ubay, Allah memerintahkan aku membaca Al-Qur'an di hadapanmu (memperdengarkan bacaan kepadamu). Ketika itu Ubay bertanya: "Apakah disebutkan benar namaku, ya Rasulullah?" Nabi menjawab: "Ya." Mendengar itu Ubay pun menangis." (HR Al- Bukhary dan Muslim Al-Muntaqa 1: 408)SYARAH HADITS
Hadits (692) juga dinyatakan shahih oleh At-Turmudzy. Hadits ini menyatakan kebolehan kita membaca Al-Qur'an menurut qira'ah (cara baca) Ibnu Mas'ud.
Hadits (693) diriwayatkan juga oleh Al-Bazzar. Menurut penelitian Al-Haitsamy dalam Majma'uz Zawa'id, runtutan sanad Al-Bazzar dapat dipercaya. Al- Bazzar meriwayatkannya dari jalan Amar ibn Yazid, bukan dari jalan Abu Hurairah. Sanad yang bersambung kepada Abu Hurairah, lemah. Hadits ini menyatakan, kebolehan kita membaca Al-Qur'an menurut bacaan Ibnu Mas'ud.
Hadits (694) menyatakan keutamaan kita memperdengarkan bacaan kita pada orang-orang pilihan, walaupun kita lebih pandai dan menyatakan boleh menangis lantaran gembira.
Sebagian ulama tidak membolehkan kita membaca Al-Qur'an dengan selain dari qira'ah tujuh yang sudah terkenal. Mereka berkata: Bacaan-bacaan yang dinukilkan dengan jalan ahad (seorang dari seorang) tidak dapat dipandang sebagai Al-Qur'an.
Al-Jazari dalam An-Nasyr berkata: "Sebagian para muta'akhkhirin mengatakan bahwa Al-Qur'an hanya di-itsbat-kan (ditetapkan) dengan jalan mutawatir saja. Kalau kita turuti perkataan ini, berartilah kita harus membuang haraf-haraf (huruf) yang mereka perselisihkan. Derajat mutawatir tidak akan didapatkan pada sesuatu yang diperselisihkan itu. Saya condong kepada pendapat ini. Kemudian saya dapati, bahwa para salaf dan khalaf berpendapat lain dari pendapat yang dipegangi oleh sebagian muta'akhkhirin itu.
Abu Syamah dalam Al-Mursyidul Wajiz berkata: "Segolongan ahli qira'ah yang muta'akhkhirin muqallibin berpendapat, bahwa qira'ah tujuh itu, semuanya mutawatir dan semuanya wajib diyakini dari Allah. Kami berpendapat demikian juga terhadap sesuatu yang memang di-ijma'-kan, dan kami akui tidak semua, disepakati mereka. Tegasnya ada yang mutawatir dan ada yang ahad walaupun sedikit.
Apabila masalah qu'ah ini diteliti dengan seksama, terlepas dari belenggu taqlid, myatalah bahwa ulama Salaf dan Khalaf mengakui bahwa tidaklah semua qiraah tujuh itu mutawatir. Karena itu tidaklah ada bedanya antara ialah tujuh dengan sesuatu indah yang lain dari tujuh, asal sanad riwayatnya shahih.
Tegasnya, tiap-tiap qiraah yang sesuai dengan suatu undang-undang bahasa Arab walaupun hanya dengan sesuatu jalan saja dan sesuai juga dengan salah satu mushaf Utsman dan shahih pula sanad-nya, haruslah riwayat itu diterima, tidak boleh diingkari, baik riwayat itu diterima dari qiraah yang tujuh dan qiraah yang sepuluh, maupun dari yang selainnya.”
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Hukum Kiblat dalam Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 1 Masalah Membaca Al-Qur'an (Al-Fatihah) Menurut Bacaan Ibnu Mas'ud Dan 'Ubay Ibn Ka'ab