Pengertian Akad nikah
Pengertian Nafadzu 'aqdin nikah
Nafadzu 'aqdin nikah, ialah: akad itu menghalalkan mut'ah zaujiyah antara suami istri itu dan mewajibkan atas masing-masingnya, hak dan iltizam secara timbal balik".
Kebalikan dari nafadz, ialah mauquf. Akad mauquf tidak menghasilkan natijah sejak terjadinya, tidak otomatis menghasilkan natijah, tetapi dia mungkin terjadi pada masa belakangan. Walaupun akad itu shahih, namun natijahnya masih ditangguhkan, belum berlaku, karena ada mani' (halangan) yang menghalangi berlakunya natijah itu. Akad mauquf ini ada beberapa macam.
Ulama-ulama Hanafiyah yang membahas masalah ini mengembalikan kepada tiga puluh delapan macam. Tidak disebutkan satu persatu. Dalam pada itu yang merupakan inti hanya tujuh saja.
Pertama, akad yang dilakukan dengan jalan ikrah (paksaan). Ini menurut pendapat Zufar dari teman-teman Abu Hanifah. Aqad bilikrah menurut pendapat Zufar, mauquf; bukan fasid. Ini perlu dibahas karena ada juga yang mengatakan aqad ikrah itu fasid menurut sendirinya. Menurut Zufar, bukan fasid, tetapi mauquf. Bila nanti si penjual membenarkan apa yang dilakukan, menjadi sahlah penjualan itu.
Kedua, akad anak kecil yang mumayyiz yaitu bila dia bertindak membuat sesuatu yang mungkin mendatangkan manfaat dan mungkin pula sebaliknya, dia menjual sesuatu atau membeli sesuatu. Akadnya juga mauquf. Tergantung pada pertimbangan wali, lantaran ia masih dipandang nagishul ahliyah. Maka wali atau washilah yang harus bertindak.
Ketiga, akad si safih yang mahjur 'alaih. Safih, ialah: "Orang yang memboroskan hartanya dan menghabiskannya, pada jalan-jalan yang tak dibenarkan akal". Dia dihajr oleh hakim walaupun dia telah tua. Dengan karena itu dia dipandang sama dengan anak kecil yang mumayyiz.
Keempat, akad si madin, akad orang ada hutang, yang hutangnya menghabiskan hartanya. Apabila si madin mengadakan suatu akad terhadap hartanya, maka akadnya mauquf kepada pertimbangan hurama' (orang-orang yang memberikan hutang kepadanya).
Hal ini hanya berlaku sesudah adanya keputusan hakim. Kalau hakim sudah memutuskan bahwa si madin tidak boleh bertindak apa-apa terhadap hartanya, maka kalau dia bertindak sesudah itu, niscaya akadnya itu mauquf kepada pertimbangan ghurama'nya. Maka andaikata dia bertindak sebelum ada keputusan hakim, yang tidak membolehkan dia bertindak, maka tindakannya itu bukanlah aqad mauquf, tetapi aqad nafidz berlaku.
Kelima, sakit mati (maridl maradlal maut). Apabila seseorang sedang sakit yang diakhiri oleh kematiannya, bertabarru' dengan sesuatu jalan tabarru' umpamanya hibah, ataupun washiyah dengan yang lebih dari sepertiga harta, maka tabarru'nya tidak berlaku pada yang lebih dari sepertiga harga itu. Hal ini adalah jika tabarru' itu untuk yang bukan waris.
Jika tabarru' itu untuk salah seorang waris, maka semua tabarru'nya yang walaupun sepertiga harta, mauquf atas persetujuan para waris yang lain. Tabarru'nya ini dipandang sama dengan washiyahya. Tabarru' orang sakit yang membawa kematiannya, kepada waris-warisnya itu dipandang sama dengan washiyah. Washiyah untuk para waris menurut jumhur ulama tidak sah, mengingat hadits la washiyyata liwaritsin.
Dan jika hutangnya menghabiskan hartanya, maka tabarru'nya mauquf kepada persetujuan para da'inin. Walhasil akad si sakit yang dilakukan di dalam sakit yang membawa mautnya, adalah akad mauquf.
Keenam, tasharruf (perbuatan hukum) orang murtad dari Islam, bukan murtad dari agama lain ke dalam Islam.
Segala akadnya yang berkenaan dengan mu'aqadlat maliyah, seperti menjual harga ataupun tabarru', seperti waqaf, hibah dan washiyat, dalam masa riddahnya (murtad) dan segala tasharrufnya dalam masa riddahnya, terhadap harta, dipandang mauquf, oleh jumhur ulama. Ini sering ditekankan oleh jumhur ulama.
Apabila dia kembali kepada Islam barulah dipandang sah apa yang dilakukan dalam masa riddahnya itu. Jika dia mati atau dia dibunuh atau pergi ke Darul Harbi, dan hakim menyatakan, bahwa dia telah menggabungkan diri ke Darul Harbi, batallah akad-akadnya itu dan segala tasharrufnya.
Ini menurut Abu Hanifah. Adapun Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al Hasan berpendapat: "Bahwa tasharruf orang murtad sama dengan yang tidak murtad". Barangkali inilah yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini. Dalam hal ini beliau-beliau ini berlawanan pendapatnya dengan pendapat gurunya Abu Hanifah."
Ketujuh, Aqad fudluly, yaitu: "akad yang dilakukan oleh orang yang bertindak pada hak orang lain tanpa disuruh, atau diminta bertindak". Ini yang dinamakan dengan fudluly.
Bertasharruf pada harta orang lain dapat dengan adanya niyabah syar'iyah, seprti wali anak kecil bertindak atas nama anak kecil dengan jalan niyabah syar'iyah, (pengganti yang dibenarkan oleh syara') adakala dengan adanya niyabah qadlaiyah, seperti washi yang bertindak atas nama hakim, adakala dengan dengan niyabah 'aqdiyah, seperti wakil.
Jika tidak ada hal-hal yang disebutkan ini, tidak ada niyabah syar'iyah, niyabah qadla'iyah dan tidak ada niyabah aqdiyah, maka tindakannya dipandang tindakan fudlul. Karenanya, tindakan- tindakannya itu mauquf kepada persetujuan orang yang bersangkutan sendiri. Kalau dibenarkan jadi, kalau tidak dibenarkan, tidak jadi.
Referensi berdasarkan Tulisan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Yang berjudul Pengantar Fikih Muamalat