Perwujudan Akad (Shuriyatul 'Uqud)
Shuriyatul 'Uqud (Perwujudan Akad)
Shuriyatul 'uqud (perwujudan akad) nampak nyata pada dua keadaan. Pertama, dalam keadaan muwadla'ah atau taljiah. Kedua, dalam keadaan hazl (main-main).
Muwadla'ah yang dimaksudkan di sini, ialah: "Kesepakatan dua orang secara rahasia untuk menyatakan yang tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga bentuk:
- Muwadla'ah pada asal akad.
- Muwadla'ah pada badal (pengganti) yang diperoleh nanti.
- Muwadla'ah pada orang (si pelaku).
Muwadla'ah pada pengganti benda yang dilakukan akad terhadapnya, ialah: "dua orang sepakat untuk menyebut mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib". Wali si pengantin lelaki dan wali si pengantin wanita sepakat untuk menyebut mahar dalam jumlah yang besar, sedang mereka sebenarnya telah bersepakat pada jumlah yang lebih kecil daripada yang disebutkan itu". Dibuat demikian untuk memperoleh kemegahanan bagi anaknya, mas kawinnya se- kian puluh ribu. Ini contoh muwadla'ah fil badal.
Muwadla'ah pada orang dinamakan isim musta'ar (nama samaran), ialah: Seseorang yang disuruh membeli sesuatu atas namanya dalam kenyataannya, namun untuk kemaslahatan orang lain pada batinnya. Kemudian setelah dia beli dan diatur segala-galanya itu, dia mengumumkan, bahwa segala akad yang telah dia lakukan, segala milik yang telah jadi miliknya, sebenarnya adalah milik orang lain itu. Dia hanyalah merupakan orang yang dipinjam namanya. Maka muwadla'ah dalam bidang ini sama dengan wakalah siriyah (perwakilan rahasia), yakni: masing-masing mereka sepakat menyembunyikan apa yang mereka rahasiakan itu.
Hazl, ialah: "ucapan yang diucapkan secara main-main atau secara istihza' (olok-olok) yang tidak dimaksud timbulnya suatu hukum daripadanya". Hazl ini berwujud dalam beberapa bentuk.
Pertama, dalam tasharruf qauly, yang dapat dilakukan dengan salah satu jalan.
- Adakalanya dengan jelas disebut dalam akad, oleh kedua- duanya, atau oleh salah satunya, seperti dikatakan: saya pura-pura menjualkan benda ini kepada engkau". Tegasnya dia sebut dalam akad. Atau dia sebut: "Pura-pura saya membeli ini dari anda".
- Adakalanya dengan muwadla'ah yang lebih dahulu dijanji- kan, seperti kesepakatan mereka bahwa akad yang dibuat itu hanya main-main (tidak sungguh-sungguh). c) Adakalanya kita ketahui dengan melihat kepada karinah- karinah yang menunjukkan bahwa akad itu dilakukan secara hazl, yang sebenarnya tidak dimaksudkan akad. Maka karenanya kita katakan bahwa akad hazl ini, sebe- narnya agad shury. Akad dalam bentuk kenyataannya, tidak dalam bentuk hakikinya. Akad hazl ini efeknya tidak mewujudkan hukum.
اعْمَالِ الكَلَامِ أَوْلَى مِنْ اهْمَالِهِ.
"Mempergunakan maksud perkataan adalah lebih utama daripada tidak mempergunakannya".Gejala-gejala yang menunjukkan kepada kecerdasan iradah mempunyai beberapa keadaan yang dengan keadaan-keadaan itu tak dapat kita pastikan tak ada iradah hakikiyah, sebagaimana tak dapat kita pastikan, bahwa iradahnya sejahtera dari gejala-gejala yang negatif.
Syawaibul iradah, (hal-hal yang mencederakan iradah) dalam pandangan fiqh Islam, dapat terjadi dari suatu sebab yang menyertai perwujudan akad, seperti paksaan yang dilakukan untuk akad, dapat pula terjadi karena suatu hal yang mendatang yang tidak terlihat di waktu melaksanakan akad, seperti dalam keadaan rusaknya sebagian benda yang dijual sebelum benda itu diserahkan oleh si penjual kepada si pembeli. Jelasnya, ada yang memang menyertai akad itu sendiri, sebagai iradah paksaan, ada yang nampak di dalamnya sesudah akad berlaku.
Sebab yang datangnya kemudian itu, menimbulkan kecederaan pada iradah yang dipandang sama dengan keadaan syawaib yang terjadi bersama-sama iradah itu, sama nilainya.
Kecederaan-kecederaan yang menganggu iradah (syawaib iradah) kembali kepada empat keadaan, yaitu:
- ikrah (cacat kehendak)
- khilabah (bujukan)
- ghalath (salah sangka)
- ikhtilatut tanfidz (cacat yang datang kemudian).
Khilabah, dalam masalah akad, ialah: "Seseorang aqid membujuk seorang dengan suatu cara yang dapat menarik hatinya untuk membeli. Andaikata tidak ada bujukan-bujukan itu tidaklah akan dibeli. Inilah yang dikatakan khilabah. Nabi saw. bersabda kepada Munqidz ibn 'Amr Al Anshary yang selalu terkicuh dalam mengadakan jual beli; karena dia seorang yang mudah sekali dipengaruhi. Nabi mengatakan kepadanya:
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لَآخِلَا بَةَ، وَلِيَ الْخِيَارُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ.
"Apabila engkau berjual beli, maka katakanlah: tak ada pengicuhan, dan aku berhak khiyar dalam tempo tiga hari".Hadits ini mengandung dua pengertian. Pertama, segala rupa khadi'ah dilarang dalam mubaya'ah dan khilabah ini adalah suatu larangan syara', walaupun tidak disyaratkan oleh orang yang mengadakan aqad itu sendiri. Maksud larangan ini adalah memberikan hak khiyar atau adanya hak khiyar bagi orang yang merasakan dirinya terkicuh. Maka dengan adanya hak khiyar ini boleh meneruskan akad dalam bidang yang bukan jual beli, disamakan juga dengan akad yang terjadi dalam jual beli.
Hal ini ditegaskan agar supaya kita tidak berpendapat, bahwa adanya hak ini kalau disebutkan oleh si pembeli: "la khilabah." Tidak usah disebut, otomatis dianggap sudah disebut. Maka setiap akad yang ada padanya khadi'ah dengan sendirinya dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan karena kalau tidak demikian mungkin orang mengambil dhahir yaitu adanya perkataan "La khilabah".?
Kedua, yang kita ambil daripada hadits la khilabah, ialah adanya khiyarrut tarawwi atau khiyar syarat. Hal ini perlu disyaratkan dalam akad. Dua pengertian ini masing-masingnya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Di antara contoh khilabah, ialah: adanya khiyanat, adanya tanajusy, adanya taghrir dan tad-lisul 'aib (menyembunyikan cacat). Khiyanat biasanya terjadi dalam buyu'ul amanah.
Taghrir dalam istilah fuqaha, ialah: memperdayakan atau membujuk, memikat dengan salah satu cara, baik perkataan maupun perbuatan yang bohong, yang palsu, untuk menarik hati salah seorang aqid untuk melaksanakan akad. Taghrir ini adakalanya pada harga yang dinamakan para fuqaha dengan taghrir qauly, dan ada kalanya taghrir fil washfi (taghrir tentang sifatnya), tentang cara penyifatan benda itu dikatakan oleh fuqaha dengan taghrir fi'li.
Tad-lisul 'aib, ialah: menyembunyikan cacat atau dalam istilah fiqh, akad barang yang ada cacat (aib) nya atau pada aqad mu'awadlah, seperti jual beli dan sewa-menyewa. Di sinilah terjadi tad-lisul 'aib. Barang itu ada cacatnya tetapi tidak diberitahukan, rumah itu ada bocornya tetapi tidak diterangkan.
Ghalath, ialah: Suatu persangkaan yang diangan-angankan oleh salah satu pihak, yang sebenarnya tak ada. Dan karena persangkaan itu dibuatlah akad, seperti orang yang membeli suatu barang karena menyangka barang itu baik, padahal sebenarnya barang itu buruk, atau barang tua. Seperti bermukharajah tentang bagian yang diper- oleh oleh salah seorang waris, umpamanya seorang waris menyangka bahwa bagiannya seperenam, maka dia memberikan bagiannya kepada beberapa yang lain, dengan menerima pembayaran dari waris-waris itu. Kemudian ternyata bahwa bagiannya itu bukan seperenam, tetapi sepertiga.
Sebenarnya persangkaan itu terdapat juga pada khilabah, walaupun berbeda sifatnya. Maka dalam hal ini dan yang sebandingnya kita menghadapi dua hal yang berlawanan, yang ada paradoknya, yaitu:
- a) Ihtiramul iradah, (menghormati iradah).
- b) Istiqrarut ta'amul (tetap berlakunya apa yang sudah di akadkan).
Menghargai iradah si aqid, mengharuskan kita mengiktibarkan iradah haqiqiyahnya. Maka apabila terjadi ghalath dalam iradah dhahiriyahnya, wajiblah kita pandang bahwa iradahnya tidak benar dan haruslah kita berikan kepadanya hak membatalkan akad. Akan tetapi kemaslahatan umum yang berlaku dalam bidang muamalah yaitu mashlahat istiqrarut ta'amul, harus merupakan hal yang tetap agar dapatlah masing-masing pihak memperoleh hasil dari muamalahnya.
Hal ini menghendaki supaya kita memegang iradah dhahiriyah, yaitu: ijab dan qabul dan menyampingkan ghalath yang terjadi dari salah satu aqid. Ini konklusinya. Mengingat hal ini, maka fiqh Islam tidak banyak memperhatikan masalah ghalath dalam akad dan tidak pula para fuqaha membicarakan masalah ghalath dalam akad secara khusus. Fiqh Islam berpegang kepada iradah dhahirah. Inilah per- bedaan fiqh Islam dengan hukum di Barat.
Masalah-masalah ghalath dalam fiqh Islam dibicarakan tersebar, karena kurangnya perhatian ulama di masa dahulu. Untuk menghadapi masalah ghalath dalam berbagai kitab yang besar itu, memerlukan kesungguhan kita sekarang ini.
Kemudian kapankah kesalahan atau ghalath si aqid dapat dipandang suatu cacat pada kehendaknya dan membolehkan dia membatalkan akad? Siapa saja yang meneliti masalah-masalah ghalat dalam fiqh mazhab empat, maka dia menemukan bahwa dalam masalah ini ada beberapa yang perlu diperhatikan dan kemudian dia dapat membuat suatu kesimpulan, pemuka mazhab tidak memandang ghalath sebagai suatu cacat yang membolehkan pihak-pihak itu membatalkan akad terkecuali dalam hal kesalahan yang nyata (innama yakunul ghalatu wadlihan).
Dalam hal ini iradah haqiqiyah dipandang nyata maka dia memberikan hak membatalkan akad yang salah. Yakni si aqid yang salah itu diberikan hak membatalkan akad. Itulah yang diharuskan oleh prinsip ihtiramul iradah Al aqdiyah. Yakni: di kala nyata bahwa kesalahannya itu memang kesalahan yang dapat diketahui dengan mudah dan tidak berlawanan dengan prinsip istiqrarut ta'amul. Karena aqid yang kedua yang tidak salah mengetahui benar, bahwa temannya adalah keliru, karena salahnya telah nyata. Dengan de- mikian, kedua prinsip-prinsip ini terpelihara pada masalah ghalath itu nyata. Inilah yang menjadi mazhab-mazhab yang berkembang di kalangan kita sekarang ini.
Dapat diketahuinya kesalahan si aqid menurut pendapat para fuqaha, ialah: apabila si aqid menegaskan kekeliruannya dalam masa mengadakan akad atau dapat diketahui maksudnya dengan melihat pada karinah dan dalil.
Jelasnya, adalah si aqid menyatakan kehendaknya dengan tegas seperti dia menentukan barang yang mau dibeli, atau diterangkan sifatnya dengan terang di waktu dia membeli.
Apabila terjadi kekeliruan pada jenis benda yang dibeli, seperti membeli mata cincin intan. Yang dimaksudkan mata cincin, kemudian ternyata intan itu bukan intan yang murni tetapi batu kaca. Atau dia membeli sekarung beras kemudian nyata bahwa yang ada di dalam karung itu adalah gandum. Maka dengan sendirinya menurut fiqh yang berkembang dalam mazhab Hanafi, akad yang demikian tidak sah sama sekali. Dan kalau terjadi kekeliruan pada sifat, haruslah diperhatikan hal ini:
Pertama, kalau yang dibeli itu ditentukan macamnya sedang benda itu tidak ada di waktu dilakukan akad atau ada, tetapi si pembeli tidak dapat meneliti sifatnya dengan baik seperti membeli wool dengan maksud wool itu buatan England. Kemudian nyata di waktu akad, bahwa wool itu buatan Jepang. Di dalam hal ini si pembeli boleh mengadakan khiyar. Dan ini di dalam fiqh dikatakan khiyarul washfi.
Kedua, apabila yang dibeli ada di tempat pembelian dapat dilihat dengan terang, baik warna ataupun bentuknya, maka pembelian ini dipandang sah, walaupun si penjual menyebut sifat yang lain. Seperti umpamanya: si penjual mengisyaratkan kepada sebuah motor yang ada di situ yang berwarna hijau. Dikatakan "ini motor hijau, saya jual kepada anda". Sedang motor itu berwarna hitam. Maka dalam hal ini penjualan itu sah, walaupun salah sebutan. Berdasarkan inilah para fuqaha menyatakan:
الْوَصْفُ فِي الْحَاضِرِ لَغْوٌ، وَفِي الْغَائِبِ مُعْتَبَرٌ.
"Sifat terhadap benda yang hadir dipandang sebagai tidak disebut, sedang terhadap benda yang tak ada di situ, dii'tibarkan".Kalau ada benda dihadapan kita, kemudian salah dalam menyebut sifatnya, tetapi si pembeli melihat motor itu menurut sifat yang sebenarnya, maka kesalahan kita ini dianggap laghwun, maka timbullah kaidah tersebut di atas.
Kesalahan-kesalahan yang diketahui dengan karinah atau dalil seperti ingin membeli seorang budak sahaya yang pandai membuat roti umpanya, dan budak yang dibeli itu dulunya terkenal sebagai seorang membuat roti, lalu diketemukan budak itu tidak bisa lagi mengerjakan hal itu, maka si musytari dapat membatalkan akad itu.
Ghalath yang tidak terang, tidak diiktibarkan oleh fiqh Islam. Karenanya orang yang menjual sesuatu permadani tanpa disebut apakah dia dari kapas, apakah dari katun, ataukah dia dari kain, kemudian tenyata bahwa permadani itu dari sutera, maka si penjual tidak mempunyai hak khiyar. Ini karena ghalath tidak terang.
Dalam fiqh Islam, kalau kita menganalisanya (menggalinya) dengan teliti terdapatlah beberapa ghalath yang dipandang uzur walaupun ia tersembunyi, yaitu:
1) Khiyarur ru'yah.Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
مَنِ اسْشْرَى مَالَمْ يَرْفَلَهُ الْخِيَارُ إِذَا رَأَى.
"Barangsiapa membeli apa yang belum dilihatnya, maka dia boleh berkhiyar setelah dia melihatnya".Dikehendaki dengan ruyah ialah "mengetahui dan melihat sesuatu menurut cara yang seharusriya". Bukan hanya sekedar melihat saja, tapi juga meneliti, membuka dan membolak balikkan. Sekedar melihat saja, itu bukan dikatakan ru'yah dalam masalah ini.
2) IjarahUmpamanya kita mengupah seorang wanita untuk menyusukan anak kita, kemudian ternyata susunya tidak baik untuk kesehatan, seperti sedang mengandung atau dia seorang wanita idiot yang nanti akibatnya akan mempengaruhi kejiwaan anak kita, maka ayah si anak boleh membatalkan akad ijarah ini.
3) Syufah
Ini termasuk ghalath yang dipandang uzur. Umpamanya seorang tetangga kita yang ingin menjual rumahnya atau menjual kebunnya, mengatakan, bahwa yang membeli rumah atau kebunnya itu ialah si A, karenanya kita pun diam, kita tidak membuat syufah, berdiam diri tidak mencegah. Kemudian, karena kita berdiam diri itu gugurlah hak kita mengadakan syufah. Tetapi kalau ternyata belakangan yang membeli itu bukan si A, namun si B, yang memang tidak kita senangi dan merasa akan menimbulkan kerusakan- kerusakan bagi kita kalau dia yang menempatinya, maka berhaklah kita mencegah penjualan itu." Tetapi kekeliruan dalam menanggapi hukum tidak dapat dinilai sama sekali. Umpamanya seseorang mengatakan: "O, saya tidak tahu itu tidak boleh; O, saya tidak tahu itu haram". Ini tidak dapat dianggap ghalath. Karena setiap muslim bermukim di daerah Islam dari luar negeri, itu boleh dia mengata- kan "saya tidak tahu". Kalau dia bermukim di daerah Islam, dia harus dipandang telah mengetahui hukum Islam."
Cacat-cacat yang terjadi pada akad, lantaran sebab-sebab yang mendatang, dinamakan ikhtilalut Tanfidz.
Melaksanakan apa yang dikehendaki oleh akad, adalah tahap kedua, yang dilakukan sesudah terjadinya akad yang sah. Sesudah terjadi akad yang dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, masing-masing aqid harus melaksanakan apa yang dikehendaki oleh akad itu.
Maka apabila salah seorang aqid ini enggan melaksa- nakan akad, tentulah dia dapat dipaksa dengan keputusan penga- dilan, berdasarkan kepada permintaan yang punya hak. Sesudah dia menjual, dia tidak mau menyerahkan benda yang dijual itu, padahal telah terjadi akad bai' yang sempurna. Dalam hal ini hakim dapat memaksa si penjual menyerahkan barangnya atas permintaan orang yang menuntut itu. Lantaran apa?
Mentanfidzkan akad masuk dalam pembahasan pengaruh akad sendiri. Karena mentanfidzkan akad yang sah, berarti mewujudkan apa yang telah dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak itu. Untuk tanfidz ini tidak diperlukan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam jual beli, diperlukan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam pentanfidzan hukum, tidak perlu lagi ada kesepakatan kedua belah pihak Ijbar gadla' atau ijbar qadla'i ini tidak mencederakan kesepa- katan yang diharuskan untuk terjadinya akad itu. Kesepakatan adanya akad itu sudah berlaku.
Dalam pada itu ada beberapa keadaan yang mencederakan tanfidz yang ada hubungannya dengan kesepakatan masing-masing pihak, yaitu di ketika hukum tidak dapat mewujud- kan pentanfidzan akad menurut bentuk yang telah diperoleh kesepa- katan masing-masing pihak. Dalam hal ini dianggaplah ada kecede- raan dalam pentanfidzan akad.
Keadaan-keadaan yang terjadi dalam bidang ikhtilalut tanfidz yang menimbulkan kekurangan pada kese- pakatan yang telah dilakukan, ialah yang dikatakan dalam istilah figh: Tafarruqush Shafaqah atau yang dinamakan tajri'atul aqdi, yaitu yang terjadi pada akad-akad muwadlah maliyah. Umpamanya, apabila seseorang membeli sesuatu, lalu sebagiannya rusak di tangan si penjual sebelum dapat diserahkan kepada si pembeli, maka jual beli pada waktu itu dipandang batal terhadap bagian yang telah rusak itu.
Dengan demikian berpecahlah shafaqah terhadap si pembeli, yakni: yang dibeli tidak semuanya, tapi sebagiannya saja. Dalam keadaan ini diberi hak kepada si pembeli membatalkan akad, atau mengambil bagian yang masih utuh, sesuai dengan haknya. Ini di waktu terjadi tafarruqush shafaqah."
Kemudian apabila tampak cacat pada benda yang dijual dan cacat itu tidak sengaja ditutup oleh si penjual dan tidak pula diketahuinya, maka yang demikian ini tidak masuk ke dalam cacat yang karenanya jual beli itu dapat dibatalkan. Hal ini dapat dimasukkan dalam bagian ghalath, dapat pula dipandang masuk ke dalam ikhtilalut tanfidz.
Oleh karenanya si pembeli berhak membatalkan, hak inilah dinamakan khiyarul 'aibi (batal akibat cacat).'"
Berdasarkan karangan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Pengantar Fikih Muamalat