Asmaul Husna dan Bahaya Ilhad Terhadapnya
Hakikat Ilhad terhadap Asmaul Husna
Hakikat ilhad (pengingkaran dan penyimpangan) terhadap nama-nama Allah adalah memalingkannya dari kebenaran yang lurus. Bisa dengan menyekutukan nama Allah untuk tuhan yang lain, seperti perbuatan orang-orang musyrik yang memberikan nama untuk tuhan (berhala) mereka dari sifat Allah, padahal hanya Allah yang berhak menyandang nama tersebut. Misalnya, al-Laata (nama berhala) berasal dari lafazh Ilaah, dan 'Uzza berasal dari al-'Aziiz, serta Manaah berasal dari al-Mannaan.
Orang musyrik yang menjadikan makhluk sebagai sesembahannya-menamai berhala-berhala tersebut dengan nama-nama yang mengandung sifat-sifat rububiyah dan uluhiyah. Dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai sebuah pembenaran untuk menyembahnya.
Kelompok yang paling besar dalam melakukan ilhad adalah al-ittihadiyyah (wihdatul wujud) yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah adalah makhluk itu sendiri, maka setiap nama yang terpuji maupun tercela, menurut mereka, ditetapkan sebagai nama Allah. Sungguh, Allah Mahasuci dari perkataan mereka itu.
Ada juga ilhad dengan menafikan sifat-sifat Allah dan menetapkan nama-nama yang tidak ada hakikatnya, seperti yang diyakini golongan Jahmiyyah dan kelompok pecahannya.
Ada pula yang mengingkari dan menolak asmaul husna tersebut secara mutlak, sekaligus mengingkari adanya Allah, seperti yang diperbuat orang-orang zindik dari golongan filosof. Mereka adalah orang-orang mulhid yang telah menyimpang dari jalan yang benar dan menuju jalan Neraka Jahim.
Ibnul Qayyim berkata: "Di dalam al-Qur-an Allah berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَبِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Ilhad pada asmaul husna adalah memalingkan nama-nama tersebut, beserta hakikat dan makna yang dikandungnya, dari kebenaran yang telah ditetapkan baginya. Makna ilhad sendiri diambil dari makna kata mail (miring/condong) seperti ditunjukkan oleh huruf-huruf pada kata tersebut, lam-haa-daal. Sebagai bukti, dari huruf-huruf ini kita temui kata al-lahd, yaitu belahan di sisi kubur yang menyerong ke bawah. Begitu juga ungkapan al-Mulhidu fid diin, yaitu yang berpaling dari kebenaran kepada kebathilan.
Ibnu as-Sikiit berkata: 'al-Mulhid adalah orang yang berpaling dari kebenaran, dengan memasukkan padanya sesuatu yang bukan bagian darinya.' Kata lain yang terbentuk dari kata al-lhad ini adalah al-multahid yang merupakan bentuk mufta'al dari kata tersebut. Kata ini disebutkan dalam firman-Nya:
... وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا
... Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya.' (QS. Al-Kahfi: 27)
Makna kata multahad pada ayat di atas adalah orang yang Anda bisa berpaling kepadanya, berlari, berlindung, dan mengharap dengan sangat kepadanya, dari yang lainnya. Orang Arab berkata: 'Iltahada fulan ila fulan' maksudnya, fulan berpaling kepada orang yang lainnya.
Apabila hal ini telah dipahami, maka dapat disimpulkan bahwa penyimpangan terhadap asmaul husna ada beberapa jenis:
Pertama: Memberi nama berhala dengan nama-Nya, seperti orang-orang musyrik yang menamakan berhala mereka laata yang diklaim berasal dari al-Ilaah, dan 'Uzza dari al-'Aziiz. Mereka memberikan nama ini kepada berhala sebagai tuhan. Ini adalah ilhad yang paling nyata. Mereka memalingkan nama-nama Allah kepada berhala dan tuhan-tuhan mereka yang bathil.
Kedua: Menamakan Allah dengan nama yang tidak layak dengan kebesaran-Nya, seperti tindakan orang Nasrani yang menamai-Nya dengan al-Abb atau bapak, dan tindakan filosof dengan menamai-Nya muujiban bidzaatih (wajib bagi Dzatnya) atau 'illatun faa'ilah bith-thab' (sebab yang melakukan secara alamiah) dan yang lainnya.
Ketiga: Mensifati Allah dengan hal-hal yang menunjukkan kekurangan, padahal Dia Mahabesar lagi Mahasuci dari segala kekurangan, seperti perkataan yang paling jahat dari orang Yahudi: "Innahu faqiir" (Allah adalah fakir) dan perkataan mereka bahwa dia beristirahat setelah menciptakan makhluk-Nya.
Selain itu, mereka berkata:
"... Tangan Allah terbelenggu', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu...." (QS. Al-Maa-idah: 64)
Perbuatan-perbuatan yang serupa dengan itu termasuk ilhad pada asma dan sifat Allah.
Keempat: Menolak makna dari nama-nama-Nya dan mengingkari hakikatnya, seperti perkataan golongan Jahmiyyah dan pengikutnya bahwasanya nama-nama Allah tak lain adalah lafazh yang kosong yang tidak mengandung sifat dan makna. Mereka memberikan kepada-Nya nama as-Samii', al-Bashiir, al-Hayy, ar-Rahiim, al-Mutakallim, dan al-Muriid.
Namun, mereka berkata: Tiada kehidupan bagi-Nya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada perkataan, dan tiada kehendak yang berdiri dengan-Nya. Ini adalah bentuk pengingkaran yang paling besar pada nama-nama Allah, baik ditinjau secara akal, syara', bahasa, maupun fithrah.
Ilhad seperti ini bertolak belakang dengan ilhad kaum musyrikin yang memberikan nama dan sifat-Nya (yang mulia) untuk berhala mereka. Sedangkan Jahmiyyah menolak sifat kesempurnaan-Nya, dan mengingkari maknanya. Bagaimana- pun juga, kedua-duanya memang melakukan penyimpangan pada asma Allah.
Lebih lanjut, golongan Jahmiyyah dan pengikutnya berbeda-beda dalam ilhad ini. Sebagian dari mereka ada yang bersikap sangat ekstrim. Ada pula yang pertengahan, sedangkan yang lainnya penyimpangannya tidak seperti dua kelompok sebelumnya. Setiap orang yang mengingkari salah satu sifat yang telah dikukuhkan oleh Allah untuk diri-Nya atau oleh Rasulullah, berarti dia telah melakukan penyimpangan dan pengingkaran terhadap nama Allah tersebut. Selanjutnya terserah kepadanya, apakah sedikit melakukannya ataupun banyak (kedua-duanya sama-sama dosa).
Kelima: Menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk- Nya. Allah Mahasuci dari semua ini. Ilhad ini bertolak belakang dengan ilhad kaum Mu'aththilah yang menolak dan mengingkari kesempurnaan pada Allah. Adapun kelompok yang kelima ini, mereka menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk.
Semua perbuatan di atas adalah ilhad, hanya saja jalan mereka berbeda-beda. Allah menyelamatkan pengikut Rasul-Nya dan para pewarisnya yang senantiasa melaksanakan sunnahnya dari semua itu.
Golongan yang selamat ini tidak menyifati-Nya, kecuali dengan sifat yang telah Dia kukuhkan untuk diri-Nya. Mereka tidak mengingkari sifat-Nya, tidak menyerupakan- Nya dengan sifat makhluk-Nya dan tidak berpaling dari apa yang diturunkan kepada rasul-Nya, baik secara lafazh maupun makna.
Sebaliknya, mereka meyakini dan menetapkan nama- nama dan sifat-sifat bagi-Nya, dan menolak penyerupaan Allah dengan segala makhluk. Dalam hal ini, pengakuan mereka terhadap nama dan sifat Allah tersebut tidak terjerumus pada penyerupaan dengan makhluk, dan penyucian mereka terhadap Allah tidak terjerumus pada penafian terhadap nama dan apa yang dikandungnya. Tidak seperti orang yang menyembah- Nya seolah-olah ia menyembah berhala, atau manafikan nama dan sifatnya hingga seolah-olah ia menyembah sesuatu yang tidak ada.
Ahlus Sunnah adalah pertengahan di antara kedua golongan tersebut, sebagaimana ummat Islam merupakan pertengahan di antara ummat agama lain. Pelita ilmu mereka dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.
Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahaya-Nya dan memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaan-Nya dan mengikuti Rasul-Nya. Sesungguhnya Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan do'a hamba-Nya.
Dalam Badaa-i'ul Fawaa-id, Ibnul Qayyim, telah menyebutkan dua puluh faedah pada asmaul husna dan berkata di akhirnya: "Ini adalah dua puluh faedah sebagai tambahan kaidah yang telah kami mulai pada pembagian sifat-sifat Allah. Anda harus mengetahuinya dan memeliharanya lalu menerangkan tentang asmaul husna jika Anda mendapatkan l hati yang berakal, lidah yang berkata, dan tempat yang menerima (Anda telah paham, bisa menerangkan dan ada yang mau mendengarkan). Jika tidak, diam adalah yang terbaik bagimu. Masalah Rububiyyah (ketuhanan) lebih agung dan lebih mulia dari yang terlintas di hati dan yang diungkapkan lidah:
"... Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui." (QS. Yusuf: 76)
Sehingga berakhirnya ilmu kepada Dzat yang meliputi segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya. Semoga Allah memberikan pertolongan terhadap komentar (ta'liq) syarh asmaul husna dengan karunia-Nya, memelihara kaidah-kaidah ini yang terhindar dari ilhad pada asma-Nya, dan ta'thil pada sifat-Nya. Dialah al- Mannaan (Yang Maha Memberi) dengan karunia-Nya. Allah yang memiliki karunia yang agung.
Referensi Berdasarkan Buku Syarah Asmaul Husna Karangan Dr.Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qathani