HUKUM MENOLAK ORANG YANG BERLALU DALAM BATASAN SUTRAH
MENOLAK ORANG YANG BERLALU DALAM BATASAN SUTRAH CARA MENOLAK DAN HIKMAHNYA
872) Ibnu 'Umar ra. menerangkan:إِنَّ
النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلَّى فَلاَ يَدْعُ اَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
873) Abu Sa'id Al-Khudry ra. berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: إِذَاصَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَحْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعَهُ: فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَا تِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
874) Abu Juhaim 'Abdullah ibnul Harits ibnush Shummah Al-Anshary berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : لَوْ يُعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي المُصَلَّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّبَيْنَ يَدَيْهِ. قَالَ أَبُو النَّضَرِ : لَا أَدْرِي، قَالَ: أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْسَنَةً
Rasul saw. bersabda: "Sekiranya orang yang berlalu (lewat) di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui apa yang akan menimpa dirinya maka ia berhenti selama empat puluh lebih baik baginya dari pada berlalu di hadapan orang yang sedang shalat itu." Abu Nadhir berkata: "Saya tidak ingat lagi apa yang Nabi katakan, apakah empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun." (HR Al-Jama'ah; Al-Muntaqa 1: 510)875) Katsir ibn Abi Katsir Muththalib ibn Abi Wada'ah menerangkan:
إِنَّ الْمُطَلِّبَ بْنَ أَبِي وَدَاعَةَ رَأَى النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّى مِمَايَلِي بَابَ بَنِي سَهْمٍ وَالنَّاسُ يَمُرُّوْنَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سُتْرَةٌ
"Muthalib ibn Abi Wada'ah melihat Nabi saw. shalat, di dekat pintu Bani Sahem, padahal orang-orang berlalu (lewat) di hadapannya. Tidak ada sutrah antara keduanya." (HR Ahmad dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 511)876) Al-Muththalib ibn Abu Wada'ah berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ إِذَا فَرَغَ مِنْ سَبْعِهِ جَاءَ يُحَاذِى بِالرُّكْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فِي حَاشِيَةِ الْمَطَافِ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَافِ أَحَدٌ
"Saya melihat Nabi apabila selesai dari melakukan thawaf yang tujuh putaran beliau kemudian pergi sehingga menghadap ke dekat rukun (sudut Ka'bah). Kemudian beliau shalat dua rakaat di pinggir tempat orang mengerjakan thawaf; tidak ada sutrah antara Nabi dan orang-orang yang thawaf itu." (HR Ibnu Majah dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 511)SYARAH HADITS
Hadits (872) diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqy dengan lafazh yang maknanya: "Janganlah kamu shalat melainkan dengan menghadap kepada sutrah dan janganlah kamu membiarkan seseorang berlalu di hadapan kamu. Jika dia membangkang, hendaklah kamu membunuhnya, karena beserta orang itu ada temannya yakni setan." Al-Mundziry dalarm At-Targhib berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya."
Hadits (872) menyatakan bahwa membiarkan seseorang berlalu di hadapan kita yang sedang shalat, adalah haram dan menyuruh kita menolak orang itu dengan cara halus. Tetapi kalau dia tidak mau dengan tolakan halus, maka kita boleh menolaknya dengan kasar sampai ke derajat membunuhnya.
Hadits (873) menyatakan bahwa apabila seseorang telah meletakkan sutrah di hadapannya, maka dibolehkan baginya menolak orang yang berlalu di hadapannya, bahkan dia dibolehkan membunuh orang yang berlalu itu, apabila ia tetap ngotot hendak berlalu.
Hadits (874) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah. Al-Mundziry dalam At-Targhib mengatakan hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Bazzar dengan lafazh yang maknanya antara lain: "Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sekiranya orang yang berlalu di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui apa yang akan menimpa atas dirinya, tentu dia berdiri empat musim kharif (musim antara panas dengan dingin), itu lebih baik baginya dari pada berlalu di hadapan orang yang shalat."
Perawi-perawi hadits ini terdiri dari perawi-perawi yang shahih. At-Turmudzy berkata: "Diriwayatkan dari Anas ra. bahwa beliau berkata: "Seorang kamu berhenti seratus lamanya, lebih baik dari berlalu di hadapan orang yang sedang shalat."
Juga hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa'.
Hadits ini menyatakan bahwa berlalu di hadapan orang yang sedang shalat, adalah salah satu dosa besar yang menjerumuskan pelakunya masuk ke dalam neraka. Dalam hadits ini tidak dibedakan antara shalat fardhu dan shalat sunnat.
Hadits (875) diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud. Dalam sanad hadits ini, ada seorang perawi yang tidak dikenal. Hadits ini menyatakan bahwa berlalu di hadapan orang yang sedang shalat yang tidak menegakkan sutrah di depannya, tidak membatalkan shalat orang itu. Hadits ini menyatakan pula, bahwa menegakkan sutrah, tidak wajib.
Hadits (876) di dalam sanad-nya terdapat seorang yang tidak terkenal. Hadits ini menyatakan bahwa berlalu di hadapan orang yang sedang shalat yang tidak menegakkan sutrah (di depannya), tidak membatalkan shalat orang itu. Hadits ini menyatakan pula, bahwa menegakkan sutrah tidak wajib.
Ibnu Daqiqil Id berkata: "Dikehendaki dengan membunuh orang yang berlalu itu, ialah menolaknya dengan kuat. Tetapi jangan sampai gerakkan untuk menolak itu menjurus kepada perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib shalat."
Dinukilkan oleh Al-Baihaqy dari Asy-Syafi'y, bahwa dikehendaki dengan membunuh di sini, ialah menolak dengan keras, lebih keras dari tolakan yang pertama.
Al-Qadhi lyadh berkata: "Jika orang yang berlalu itu ditolak dengan tolakan yang masih dalam batas kewajaran yang dibolehkan, lalu orang yang ditolak itu mendapat cedera, maka orang yang menolak itu tidaklah dituntut qishash. Demikian kesepakatan segala ulama. Tentang wajibkah dia membayar diyat atau tidak, masih diperselisihkan para ulama."
Al-Qadhi lyadh dan Ibnu Baththal, mengatakan bahwa para ulama telah berijma' menetapkan, tentang ketidakbolehan orang yang sedang shalat, bergerak dari tempat berdirinya untuk menolak orang yang hendak berlalu itu. Sebab membiarkan orang itu berlalu, sebagaimana ia tidak boleh melakukan gerakan-gerakan yang melebihi batas kewajaran di dalam menolak orang yang berlalu, lebih baik daripada melakukan gerakan yang banyak dalam shalat."
Al-Hafizh berkata: "Jumhur ulama berpendapat, bahwa apabila seseorang berlalu di hadapan orang yang sedang shalat dan ia tidak ditolaknya, maka orang yang shalat tadi tidak dibolehkan menarik kembali orang itu; karena yang demikian memungkinkan dia akan berulang kali berlalu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, bahwa Ibnu Mas'ud dan beberapa sahabat yang lain, membolehkan kita menariknya.
An-Nawawy berkata: "Saya tidak mengetahui bahwa ada fuqaha yang mewajibkan orang yang sedang shalat menolak orang yang berlalu di hadapannya." Perkataan An-Nawawy ini disanggah oleh Al-Hafizh. Beliau berkata: "Ahluzh Zhahir dengan tegas mewajibkannya."
Ibnu Daqiqil Id berkata pula: "Sebagian pengarang dari ashhab Asy-Syafi'y membolehkan kita membunuh orang yang berlalu, berdasar kepada lahir lafazh hadits." Ibnu Abi Jamrah meng-istinbath-kan dari sabda Nabi: "... dia itu setan..." bahwa yang dikehendaki dengan membunuh di sini ialah menolaknya dengan secara halus, bukan hakikat membunuh, mengingat bahwa menghadapi setan, adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah dan membaca: bismillah.
Tentang apakah perintah untuk menolak orang yang berlalu itu, karena perbuatannya akan mencederakan shalat, atau untuk menghindarkan orang itu dari berbuat dosa? Dalam hal ini, kita belum memperoleh penegasannya. Sebagian ahli tahqiq berkata bahwa Nabi menyebut "empat puluh" dalam hadits ini, ada dua hikmahnya:
Pertama, mengingat bahwa empat itu, adalah bilangan asal. Ketika dikehendaki banyak, harus dikalikan dengan sepuluh.
Kedua, mengingat kesempurnaan periode-periode yang dilalui manusia dalam pertumbuhannya, ialah empat puluh. Manusia, selaku nuthfah selama empat puluh hari, dan selaku 'alaqah selama empat puluh hari. Demikian pula ia sampai ke puncak kesempurnaan akalnya, yaitu pada umur empat puluh tahun.
Lahir hadits-hadits ini menyatakan bahwa berlalu dalam batas sutrah, di hadapan orang yang sedang shalat adalah suatu dosa. Hadits ini, dengan tegas menyatakan bahwa kebolehan menolak orang berlalu itu hanya bagi orang yang menegakkan sutrah saja.
Para ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh An- Nawawy, berpendapat, bahwa kebolehan menolak itu, ditentukan bagi orang yang mengadakan sutrah saja, atau berdiri dekat dinding, atau di tempat yang tidak dilalui orang.
Hikmah disyariatkannya perintah menolak orang yang berlalu itu, adalah untuk menghindari kecederaan nilai shalat, sebab memelihara nilai shalat lebih penting daripada menghindarkan seseorang dari berbuat dosa.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, bahwa Ibnu Mas'ud berkata: "Berlalu di hadapan orang yang sedang shalat, berarti memotong separoh nilai shalatnya." Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari 'Umar ujarnya: "Sekiranya orang yang shalat mengetahui apa yang akan mengurangi nilai shalatnya sebagai akibat seseorang berlalu di hadapan seseorang, niscaya dia tidak akan mau shalat, kecuali dengan menegakkan sutrah di depannya."
Kedua atsar ini memberi pengertian, bahwa kewajiban menolak itu, adalah untuk menghindari adanya kecederaan pada nilai shalat. Kedua atsar ini, walaupun lafazhnya mauquf, dihukum marfu", karena hal seperti ini tidak dapat dikatakan berdasar kepada pikiran semata.
Sebagian ulama Malikiyah membagi orang yang berlalu ini kepada empat macam:
Pertama, orang yang berlalu itu sebenarnya bisa berlalu di tempat lain sementara orang yang shalat itu tidak berdiri di tempat yang biasa dilalui orang. Dalam keadaan ini, dosa dipikul oleh orang yang berlalu itu.
Kedua, orang yang shalat itu berdiri di tempat yang biasa dilalui orang, di mana orang yang lewat harus melalui tempat itu. Dalam keadaan ini dosa dipikul oleh orang yang shalat.
Ketiga, orang yang shalat itu berdiri di tempat orang lewat, namun orang yang berlalu sebenarnya biasa mengambil jalan lain. Dalam hal ini kedua-duanya berdosa.
Keempat, orang yang shalat tidak berdiri di tempat biasa orang lewat tetapi orang yang berlalu tidak bisa melalui jalan yang lain kedua-duanya tidak berdosa.
Al-Hafizh berkata: "Lahir hadits ini menunjukkan dilarangnya berlalu di hadapan orang shalat walaupun tidak di dapati jalan lain. Atas orang yang hendak berlaku diwajibkan berdiri menanti selesainya shalat orang tersebut. Hal ini di kuatkan oleh kisah Abu Sa'id, yang menolak pemuda yang berlalu di hadapannya dan memukul pemuda itu.""
Referensi berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum 2 Bab Sutrah dan Batas Berlakunya