Hadits Anjuran Melewati Jalur Berbeda Saat Berangkat dan Pulang Shalat Idul Fitri
PULANG DENGAN MELALUI JALAN LAIN DARI KETIKA PERGI DAN BERSHALAT 'IED DI MASJID KARENA 'UDZUR
1332) Jabir ibn Abdullah ra. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
"Nabi saw. apabila pergi ke mushala pada hari Raya, mengambil jalan yang berbeda" (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaqa 2: 38)1333) Abu Hurairah ra. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا خَرَجَ إِلَى الْعِبْدِ يَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيقِ الَّذِي خَرَجَ فِيهِ
"Nabi saw, apabila keluar ke tempat penyelenggaraan shalat hari Raya, pulang mengambil jalan yang tidak sama ketika pergi." (HR. Ahmad, Muslim dan At- Turmudzy; Al-Muntaqa 2: 39)1334. Ibnu 'Umar ra. menerangkan:
إِنَّ النَّبِيُّ ﷺ أَخَذَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقِ ثُمَّ رَجَعَ فِي طَرِيقِ آخَرَ
"Bahwasanya Nabi saw. pada hari 'led pergi lewat suatu jalan, kemudian kembali mengambil jalan yang lain." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 2:39)1335) Abu Hurairah ra. menerangkan:
أَنَّهُمْ - الصَّحَابَةُ - أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ ﷺ صَلَاةَ الْعِبْدِ فِي الْمَسْجِدِ
"Bahwasanya para sahabat pada Hari Raya mengalami turun hujan. Maka Nabi shalat Hari Raya dengan mereka di Masjid." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 2: 39)SYARAH HADITS
Hadits (1332) menyatakan, bagi imam maupun makmum disukai pergi dan pulang dari shalat 'led mengambil jalan yang tidak sama.
Hadits (1333). Al-Bukhary dalam shahih-nya mentarjihkan hadits-hadits Jabir, lebih shahih. Pengarang Al-Muntaqa mengatakan: hadits ini diriwayatkan juga oleh Muslim. Menurut penelitian, hadits ini tidak terdapat di dalam Shahih Muslim.
Hadits ini menyatakan, baik imam maupun makmum disukai ketika pergi ke tempat shalat 'led atau kembali untuk melalui jalan yang berbeda.
Hadits (1334) perawi-perawinya kepercayaan. Perawi-perawi Abu Daud terdiri dari perawi-perawi shahih. Tetapi, juga terdapat seorang perawi bernama Abdullah ibn 'Umar Al-Umari yang dicacat oleh sebagian Ulama.
Hadits ini menyatakan, baik imam dan makmum disukai pergi dan pulang dari shalat 'led mengambil jalan yang tidak sama.
Hadits (1335) diriwayatkan juga oleh Al-Hakim. Abu Daud dan Al-Mundziry tidak membahas sanad hadits ini. Al-Hafizh dalam At-Talkhish mengatakan: sanad hadits ini dhaif. Di dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak dikenal, yaitu Isa ibn Abdul A'la ibn Abi Farwah Al-Farawy Al-Mudani. Adz-Dzahaby berkata: orang ini hampir tidak dikenal dan hadits ini farad munkar. Ibnu Qaththan mengatakan: saya tidak mengetahui Isa ini disebut ada dalam suatu kitab Rijal dan tidak pula terdapat selain dari sanad ini.
Hadits ini menyatakan, kita boleh tidak pergi ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat 'led, apabila ada udzur dan boleh mengerjakan di masjid.
Al-Hafizh dalam Fathul Bari mengatakan: kebanyakan ulama berpendapat bahwa disukai bagi imam dan makmum untuk pergi ke tempat shalat 'Ted dan pulangnya dengan mengambil jalan yang beda.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hikmah Nabi mengambil jalan yang lain ketika waktu pulang. Saya telah mengum- pulkan lebih dari 20 pendapat. Ada yang mengatakan: Nabi berbuat demikian supaya kedua jalan itu menjadi saksi baginya dan supaya mereka yang berdiam di kedua jalan tersebut dapat bertemu Nabi saw. atau untuk menyamakan keutamaan kedua jalan tersebut.
Ada yang mengatakan: untuk menampakkan syiar Islam, atau untuk menlahirkan dzikir kepada Allah, atau untuk menimbulkan kegelisahan dalam hati orang-orang munafiq dan Yahudi. Ada yang mengatakan: untuk me- nimbulkan ketakutan dalam dada musuh-musuh Islam.
Ada yang mengatakan: "Nabi saw. berbuat demikian supaya merata kegembiraan bagi penduduk- penduduk di sekitar jalan itu dan supaya semua mereka mengambil berkat dengan berlalunya Nabi di jalan-jalan itu dan supaya mereka semua dapat pula mengambil manfaat dari Nabi saw. dalam menyelesaikan semua keperluan mereka, menyangkut pertanyaan mengenai hukum, maupun memberikan salam.
Ada yang mengatakan: Nabi melalui jalan yang jauh ketika pergi dan Nabi melalui jalan yang dekat ke rumahnya ketika kembali, ada yang mengatakan: Nabi berbuat demikian agar dapat memberikan sedekah kepada orang-orang yang dijumpai di jalan itu.
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad berkata: "Nabi berbuat demikian, adalah untuk berbagai macam hikmah. Dan segala perbuatan Nabi, mengandung hikmah tidak ada yang kosong dari hikmah.
An-Nawawy mengatakan: walaupun kita tidak dapat mengetahui makna hikmah Nabi mengambil jalan yang berbeda. Namun kita disukai mengambil jalan yang lain ketika kembali dengan sepakat semua ulama. Jika kita mengetahui makna perbuatan itu dan kita temukan makna itu pada seseorang, maka disukailah bagi orang tersebut mengambil jalan lain ketika kembali. Tapi jika tidak ditemukan makna tersebut, maka ada dua pendapat ulama Syafi'iyah.
- Disukai juga baginya mengambil jalan lain ketika kembali. Inilah pendapat yang dianggap shahih. Demikian pendapat Abu Ali ibn Abu Hurairah dan itulah yang dikuatkan Abu Ishak Asy-Syirazy dan oleh mayoritas ulama, mengingat perintah kita disuruh meneladani Nabi saw.
- Tidak disukai dia mengambil jalan lain, karena tidak diperoleh illat-nya.
Para ulama berbeda pendapat tentang: manakah yang lebih utama mengerja- kan shalat dimasjid atau di tanah lapang?
Golongan Malik dan golongan Al-Itrah berpendapat, pergi ke tanah lapang lebih utama. Golongan ini berdalil dengan perbuatan Nabi saw. yang tetap pergi ke tanah lapang untuk shalat 'led.
Asy-Syafi'y dan Al-Imam Yahya berpendapat, shalat di masjid lebih utama. Diterangkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari, bahwa Asy-Syafi'y dalam Al- Umm mengatakan: sampai kabar kepada karni, bahwa di Madinah Rasulullah saw. pada dua hari raya pergi ke Mushalla.
Demikian pula orang-orang yang sesudahnya. Kecuali kalau turun hujan. Juga demikian dilakukan oleh semua penduduk kota, kecuali penduduk Mekkah.
Kemudian Asy-Syafi'y mengatakan: sesunguhnya hal itu dilakukan, karena masjid di Mekkah lapang sedangkan tanah lapangnya sempit. Jika di suatu masjid dalam suatu negeri dapat menampung semua penduduknya pada hari Raya, saya berpendapat, bahwa mereka cukup mengerjakan shalat di masjid. Jika masjid mereka tidak dapat menampungnya, niscaya saya tidak suka mereka shalat di dalamnya. Jika mereka shalat juga di dalamnya tidak pergi ke mushalla, maka shalatnya sah, tidak usah diulangi.
Al-Hafizh mengatakan: tujuan pendapat Asy-Syafi'y ini ialah: illat keluar ke tanah lapang sekitar luas dan sempitnya masjid, bukan karena keluar ke mushalla itu suatu suruhan yang berdiri sendiri. Yang disyariatkan pada hari Raya, hanyalah adanya pertemuan besar di antara para penduduk.
Apabila yang demikian itu dapat ditampung di masjid, tentu lebih utama kita berkumpul di masjid. Malik berdalil dalam mengutamakan kita pergi ke mushalla, karena Nabi tetap berbuat demikian. Nabi tetap pergi ke tanah lapang, tidak shalat di Masjid, kecuali ada udzur, seperti hujan. Nabi tentu tidak mengekalkan suatu pekerjaan yang kurang utama.
Tidak dapat diragukan sedikit pun, bahwa meng-'illat-kan pergi ke tanah lapang dengan sempit dan luas nya masjid, adalah semata-mata ijtihad, tidak dapat kita lepaskan diri dengan ijtihad itu dari keharusan kita meneladani Nabi saw. yang tetap mngerjakan shalat led di tanah lapang.
Hal itu menjadi dalil, bahwa shalat 'led di tanah lapang, itulah yang paling utama. Sunah Nabi ini telah diabaikan ummat, karena pengaruh taqlid. Mengambil dalil dengan perbuatan penduduk Mekkah yang shalat di masjid, tidak dapat diterima. Karena ada kemungkinan, bahwa mereka tidak pergi ke tanah lapang karena tidak ada tanah lapang yang luas, bukan karena luasnya masjid. Mudah-mudahan Allah akan membuka mata hati masyarakat Islam seluruhnya untuk menghidupkan kembali sunah Nabi ini.
Kita dapat berhujjah untuk menerapkan keutamakan shalat led di tanah lapang dengan hadits yang menerangkan bahwa Ali ra. menyuruh Abu Mas'ud Al-Asyary shalat di masjid bersama dengan orang-orang lemah, sedang Ali sendiri pergi ke tanah lapang.
Hadits itu diriwayatkan oleh Asy-Syafi'y dengan sanad yang shahih. Karena itu, Al-Auzay dan Ashhabur Ra'yi dan Ibnu Mundzir dari golongan Syafi'iyah menganjurkan supaya kita shalat di tanah lapang. Nabi saw. pergi ke mushalla, tidak shalat di masjid, demikian juga Khulafa' sesudah Nabi, tidak meninggalkan sesuatu yang lebih utama (shalat di masjid lebih utarna) dan memberatkan diri mengerjakan yang kurang utama, yang jauh pula tempatnya, (shalat di tanah lapang kalau kita pandang kurang utama) dan Nabi tidak mensyariatkan kepada umatnya meninggalkan yang lebih utama.
Kita diperintahkan mengikuti Nabi saw. dan meneladaninya. Sesuatu yang disuruh, tidak dapat kita anggap kurang utama sebagai mana yang disuruh, tidak dapat kita pandang lebih utama. Tidak ada dinukilkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah shalat 'led di masjidnya tanpa ada udzur. Karena pergi ke tanah lapang telah di ijma'i oleh muslimin dimasa-masa pertama itu.
Kaum muslimin setiap masa dan zaman di setiap kota pergi ke mushalla dan shalat 'led di mushalla, padahal masjidnya luas-luas. Nabi shalat di mushalla, padahal masjidnya lebih utama. Kita sudah mengetahui bahwa shalat sunnat di rumah lebih utama daipada di masjid. Padahal masjid itu tempat yang mulia.
Disukai bagi imam, apabila keluar ke tanah lapang menunjuk imam pengganti untuk shalat di dalam masjid mengimami orang-orang yang udzur (lemah) yang tidak sanggup pergi ke tanah lapang.
Mengenai shalat 'led di Masjid karena ada udzur dengan mudah dapat kita ketahui, walaupun hadits Abu Hurairah (1331) kita anggap dhaif.
Referensi Dar Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Hukum Seputar Sujud Tilawah dan Sujud Syukur Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum-2 Masalah Pulang Dengan Melalui Jalan Lain Dari Ketika Pergi Dan Bershalat 'Ied Di Masjid Karena 'Udzur