Hadits Perempuan Ke Mushalla Shalat Ied
PARA PEREMPUAN PERGI KE TANAH LAPANG UNTUK MENGHADIRI SHALAT IED
1328) Ummu Athiyah ra. berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ تَخْرُجُهُنَّ في الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحَيَّضَِ وَذَاوَتِ الْخُذُوْرِ، فَأَمَّا الْخَيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَفِي لَفْظٍ: الْمُصَلَّى، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا حِلْبَابٌ قَالَ: تُلْبِسَهَا أُخْتَهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
"Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw. pada hari raya puasa dan hari raya haji agar membawa keluar semua gadis dan semua yang sedang berhaid dan semua yang tinggal dalam bilik-biliknya. Perempuan yang sedang haid mengasingkan diri dari shalat-dalam suatu lafazh-mereka mengasingkan diri dari tempat shalat, menyaksikan kebajikan dan seruan orang Islam. Aku bertanya: Ya Rasulullah bagaimana keadaan kami yang tidak mempunyai jilbab (pakaian yang dipakai untuk menutupi pakaian). Nabi menjawab: Hendaknya diberikan untuk dipakainya, oleh saudaranya dari jilbab saudaranya itu." (HR. Al-Jamaah; Al-Muntaqa 2: 37)SYARAH HADITS
Hadits (1328) dalam riwayat An-Nasa'y tidak ada penjelasan mengenai jilbab. Dalam riwayat Muslim dan Abu Daud terdapat perkataan: para perempuan yang haid, berdiri di belakang Jamaah laki-laki, membaca takbir bersama-sama orang lain."
Dalam riwayat Al-Bukhary terdapat perkataan: "Ummu Athiyah mengatakan: kami selalu diperintahkan untuk mengeluarkan para perempuan yang haid dan mereka membacakan takbir bersama-sama dengan perempuan yang lain juga."
Hadits ini menyatakan, bahwa syara' memerintahkan para perempuan, pada hari-hari raya pergi ke Mushalla (tanah-lapang tempat mengerjakan shalat 'led), tidak ada perbedaan antara yang bikr, tsayyib, muda, tua dan sedang haid dan lain- lain, selama tidak dalam 'iddah dan selama tidak menimbulkan fitnah-fitnah (menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan) dan selama tidak ada 'uzur. Hadits ini mengisyaratkan bahwa pergi ke mushalla, adalah sunnah yang kita lakukan pada hari Raya 'led. Sebagaimana menyatakan bahwa perempuan juga turut membaca takbir.
Hukum perempuan pergi ke tanah lapang pada Hari Raya
Ash-Shan'any mengatakan: "hadits Ummu 'Athiyah menjadi dalil atas wajib- nya kaum perempuan pergi menghadiri majelis led dan kita wajib membawa mereka itu ke majelis 'led.
Dalam hal ini, para ulama mempunyai tiga pendapat:
Pertama, kaum perempuan pergi menghadiri majelis led, hukumnya wajib. Demikian pendapat tiga khalifah, yakni Abu Bakar ra, Umar dan 'Ali. Hukum bagi kaum perempuan wajib pergi ke tanah lapang oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Baihaqy dari hadits Ibnu Abbas, ujarnya: "Sesungguhnya Nabi saw. selalu mengajak isteri-isteri dan anak-anak perempuannya pada dua hari Raya."
Hadits ini pada lahirnya menyatakan bahwa Nabi saw, tetap berbuat demikian. Dan memberi pengertian pula bahwa seluruh perempuan, baik perempuan terhormat, maupun perempuan biasa, perempuan yang masih gadis, perempuan-perempuan yang telah tua, dengan jalan lebih utama.
Kedua, kaum perempuan pergi menghadiri 'led hukumnya sunnat. Pendapat ini difatwakan oleh sebagian ulama dan dikuatkan oleh Al-Qadhi Husain. Al- Qadhi Husain berdalil dengan Nabi menerangkan hikmah kaum perempuan pergi ke tanah lapang guna menyaksikan kebajikan dan doa para muslimin.
Al-Qadhi Husain mengatakan: "Seandainya perempuan wajib pergi ke tanah lapang, tentu Nabi tidak menerangkan illat (sebab dan hikmah) mereka disuruh ke tanah lapang dan tentu mereka pergi ke tanah lapang untuk menunaikan sesuatu yang wajib bagi mereka.
Istidlal Al-Qadhi Husain ini, telah dibantah oleh Ash-Shan'any. Dia mengata- kan: "Dalam perkataan Al-Qadhi Husain terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan; karena sering sesuatu yang wajib kita kerjakan, di-ta'lil-kan dengan faedah-faedah yang terdapat padanya, bukan di-ta'lil-kan dengan keharusan menunaikannya.
Asy-Syafi'y dalam Al-Umm membedakan antara perempuan-perempuan yang mempunyai kedudukan dengan perempuan-perempuan yang telah tua. Asy-Syafi'y mengatakan: saya suka perempuan-perempuan tua dan yang tidak mempunyai kedudukan menghadiri shalat 'led.
Ketiga, hukum wajib kaum perempuan pergi ke tanah lapang sudah di- mansukh-kan.
Ath-Thahawy mengatakan: keharusan kaum perempuan pergi ke tanah lapang, hanya berlaku dipermulaan Islam untuk membanyakkan jumlah orang yang pergi dan menghadiri shalat 'led untuk memberi pengaruh di mata musuh. Kemudian hukum itu dimansukhkan.
Pendapat Ath-Thawawy ini tidak berdalil dan ditolak oleh riwayat yang me nerangkan bahwa Ibnu Abbas menyaksikan kaum perempuan pergi ke tanah lapang, dikala beliau masih kecil, sesudah pengalahan Mekkah, padahal sesudah pengalahan itu tidak perlu lagi menampakkan banyaknya jumlah ummat dengan mengikutsertakan kaum perempuan. Karena Islam telah berada dalam posisi yang kuat. Juga pendapat Ath-Thawawy itu ditolak oleh pen-ta'lil-an yang Nabi terangkan dalam hadits Ummu Athiyah, yaitu kehadiran kaum perempuan ke tanah lapang adalah untuk menyaksikan kebajikan dan dakwah kaum muslimin.
Pendakwaan nasakh itu ditolak, karena Ummu Athiyah memfatwakan ke- tetapan ini sesudah Nabi wafat.
Fatwanya tidak dibantah oleh seorangpun dari sahabat. Mengenai perkataan 'Aisyah ra: sekiranya Nabi saw. melihat apa yang telah dilakukan oleh kaum perempuan, tentu Nabi saw, melarang mereka menghadiri Jamaah shalat di Masjid, tidak menunjuk kepada keharaman kaum perempuan pergi dan tidak pula memansukhkan perintah, bahkan menjadi dalil bahwa kaum perempuan tidak boleh kita larang pergi, karena Nabi sendiri tidak melarangnya, bahkan menyuruhnya. Karena itu, kita tidak boleh melarang apa yang disuruh Nabi saw.
Asy-Syaukany mengatakan: hadits Ummu Athiyah dan hadits yang semakna dengannya, menetapkan keharusan kaum perempuan pergi ke mushalla pada dua hari raya, tanpa ada perbedaan antara yang bikr dan tsayyib, gadis muda, orang tua, yang sedang haid dan lain-lain selama tidak berada dalarn 'iddah dan tidak menim- bulkan fitnah dan selama tidak ada 'udzur.
Ada lima pendapat ulama:
- Kaum perempuan pergi ke tanah-lapang adalah mustahab. Golongan ini mengaitkan perintah dalam hadits ini kepada nadab (sunnat) dan mereka tidak membedakan antara gadis dengan orang tua. Inilah pendapat Abu Hamid dari golongan Hanafiyah dan Al-Jurjani dari golongan Syafi'iyah. Itulah lahir perkataan Asy-Syafi'y.
- Membedakan antara yang muda dengan yang tua. Menurut Al-Iraqy, inilah pendapat jumhur ulama Syafi'iyah sesuai dengan nash Asy-Syafi'y dalam kitab Al-Mukhtashar. )
- Hukum perempuan pergi ke mushalla, hanya boleh, bukan mustahab. 3 Demikian pendapat Ahmad, menurut yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah.
- Hukum perempuan pergi ke Mushalla, makruh. Pendapat ini dihikayatkan oleh At-Turmudzy dari Ars-Tsaury dan Ibnul Mubarrak. Inilah pendapat Malik dan Abu Yusuf. Dihikayatkan oleh Ibnu Qudamah dari An-Nakhay dan Yahya ibn Said Al-Anshary pendapat seperti ini. Dihikayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari An-Nakha'y bahwa gadis-gadis yang masih muda, makruh pergi ke persidangan 'led.
- Keluarnya kaum perempuan pergi ke mushalla adalah suatu haq.
Asy-Syaukany berkata pula:
- Memakruhkan kaum perempuan pergi ke mushalla pada dua hari Raya led, berarti menolak semua hadits yang shahih dengan pendapat-pendapat yang tidak benar. Mengecualikan pada hadits yang berlawanan dengan penegasan hadits yang disepakati oleh Al-Bukhary dan Muslim.
- Perkataan Nabi saw: "Para perempuan yang haid bertakbir bersama-sama perempuan lain," demikian juga perkataan Nabi saw. "mereka menyak- sikan kebajikan dan dakwah kaum muslimin." Menolak pendapat Ath- Thawawy yang menandaskan bahwa kaum perempuan pergi ke mushalla pada hari 'led berlaku di permulaan Islam untuk memperbanyak jumlah ummat yang hadir, kemudian dimansukhkannya.
Masalah yang memerlukan pentahqiqan yang dapat menempatkan masalah ini pada kedudukan yang sebenarnya dan dapat memberikan ketetapan yang me- muaskan kepada ummat Islam yang ta'at pada agarna dengan dalil tidak dengan semata-mata dengan taqlid, ialah masalah kaum perempuan pergi ke tanah lapang pada dua hari Raya led.
Masalah ini, di akhir zaman Belanda di Indonesia menjadi pembicaraan. Tuan Haji Abdul Karim Amrullah, seorang Ulama yang kuat pendiriannya di Minang- kabau menulis suatu uraian panjang dalam majalah Pedoman Islam yang terbit di tahun 1941 untuk membantah pendirian Muhammadiyah yang membenarkan kaum perempuan pergi ke tanah lapang pada hari raya.
Dengan panjang lebar beliau mengemukakan alasan-alasan yang beliau pegangi untuk tidak membolehkan para perempuan pergi ke tanah lapang. Kesimpulannya ialah hukum perempuan pergi pada dua hari Raya ke tanah lapang, sudah dimansukhkan, tidak disyariatkan lagi. Penasikhnya ialah tarkul fi'ly (Nabi tidak mengerjakan lagi sesudah Nabi pernah mengerjakannya).
Karena itu, perlu kita membahas masalah ini sedikit panjang, agar dapat diperhatikan dengan seksama dalil-dalil yang dipegangi oleh masing-masing go longan yang berbeda pendirian.
Tuan Doktor Haji Abdul Karim Amrullah menge- mukakan alasannya, yang ringkasnya adalah: "Tidak sekali-kali terhingga atau terhenti mengetahui nasakh atau nasikh dan mansukh itu kepada nash (yakni perkataan-perkataan sahabat untuk menasikhkan haditst (perkataan Rasulullah atau perbuatannya) dan tidak sama pangkat dan derajat para sahabat dengan Nabi saw.
Sebagaimana diketahui nasikh dan mansukh dengan perkataan-perkataan Nabi saw, diketahui juga dengan perbuatan-perbuatan beliau. Karena perkataan dan perbuatan Nabi adalah sunnah. Sedang kejadian nasakh dengan perbuatan itu jumlahnya tidak sedikit pada sunnah. Perhatikan beberapa contoh.
- Rasulullah berkata tentang seorang pencuri yang artinya: "Kalau ia mencuri juga sampai lima kali, hendaknya kamu bunuh saja dia." Kemudian dihadapkan kepada beliau seorang pencuri yang telah melakukan perbuatan itu untuk kelima kalinya, tetapi orang itu tidak beliau bunuh. Nabi saw. tidak membunuhnya itu, telah me-nasikh-kan ucapan beliau sebelumnya.
- Sabda Nabi: "Orang muhshan yang berzina, lebih dahulu didera seratus kali, kemudian baru dirajam sampai mati." Terhadap Ma'iz dirajam tanpa didera lebih dahulu. Hal ini telah menasikhkan ucapan beliau sebelumnya.
- Rasulullah saw. berdiri saat melihat jenazah. Kemudian perbuatan itu tidak beliau lakukan lagi. Maka meninggalkan perbuatan tersebut telah me- nasikhkan perbuatan beliau yang terdahulu.
- Dahulu beliau menetapkan untuk berwudhu sesudah makan makanan yang dimasak dengan kayu api. Kemudian hal itu beliau tinggalkan dan tidak mengambil wudhu sesudah makan. Menurut ketetapan ulama Ushul, tarkul fi'li, yakni meninggalkan perbuatan yang dahulu dikerjakan atau beliau suruhkan itu, termasuk nasikh dengan fi'il juga.
Tuan Doktor Haji Abdul Karim Amrullah menetapkan, kepergian orang perempuan ke tanah lapang hanya terjadi pada tahun kedelapan saja sesudah Fathu Makkah dan itulah yang sudah disaksikan oleh Ibnu Abbas. Demikian alasan- alasan beliau yang kami nukilkan secara asli dari beliau.
Di bawah ini kami kemukakan pentahqiqan dan tanggapan-tanggapan kami terhadap kesimpulan beliau itu:
- Mengenai nasakh hanya dari Allah dan Rasul-Nya saja, memang suatu ketetapan yang disepakati oleh segenap Ulama ushul. Yang demikian itu tidak tersembunyi bagi mereka yang mendalami ilmu ushul. Sahabat- sahabat Nabi tidak dapat menasakh suatu perkataan atau perbuatan Nabi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkataan: "atau berupa perkataan sahabat," dalam menasakh sesuatu, ialah penje- lasan para sahabat, bahwa apa yang telah di lakukan telah di mansukh sendiri oleh Nabi bukanlah dimaksudkan bahwa para sahabat yang menasakhkannya. Hal ini tentu diketahui oleh siapa saja yang tidak suka kepada safsathah.
- Mengenai diterimanya penjelasan seorang sahabat dalam menasakhkan suatu hadits (perkataan atau perbuatan Nabi), tidak tersembunyi kiranya bagi mereka yang telah menyelami mushthalah ahli hadits. Sebagian besar dari ularna mushthalah hadits, menerima hal itu.
Contohnya, perkataan Ubay ibn Ka'ab, yaitu: "kânal ma'u minal ma'i rukhshatan Islami tsumma umira bil ghusli adalah air dari air suatu rukhshah di permulaan Islam, kemudian diperintahkan supaya mandi."
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Turmudzy dan dishahihkannya. Untuk menambah pengetahuan, kami menandaskan bahwa sebagian ahli ushul, seperti pengarang Al-Mahshul, Ibnu Hajib dan Al-Amidy mensyaratkan kita menerima penerangan Sahabat, adalah jika Sahabat itu mendengarkan kronologis kejadian dengan terang. Kalau Sahabat hanya menyatakan: ini "nasikh", tidak diterima karena mungkin Sahabat itu mengatakannya berdasarkan ijtihadnya.
Pendapat sebagian ulama ushul ini, dikuatkan oleh Al-Ghazaly dalam Al-Mustashfa. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Madkhal, bahwa Asy-Syafi'y mengatakan: Tidak diambil dalil terhadap nasikh dan mansukh, melainkan dengan khabar dari Rasulullah sendiri atau dengan waktu yang menunjukkan bahwa salah satunya terjadi sesudah yang lain atau dengan perkataan orang (sahabat) yang mendengar hadits sendiri.
Mengenai nasakh dengan perkataan, yakni menasakhkan perkataan dengan perkataan, bahkan menasakhkan perbuatan dengan perbuatan adalah hal yang mudah kita ketahui. Mengenai masalah menasakhkan perkataan dengan perbuatan, Asy- Syafi'y sebagaimana yang diriwayatkan Al-Mawardy dan Ar-Ruyany mengatakan: "suatu perkataan Nabi tidak boleh dinasakhkan dengan perbuatannya."
Lahir perkataan Asy-Syafi'y ini memberi pengertian, bahwa perkataan Nabi tidak dapat dimansukhkan oleh perbuatannya. Pendapat Asy-Syafi'y ini dikuatkan oleh Ibnu Aqil, seorang ulama yang sangat terkenal dalam madzhab Hanbaly.
Ibnu 'Aqil mengatakan: "Sesuatu itu, hanya dinasakhkan dengan yang sama kuat, atau dengan yang lebih kuat Perkataan, lebih kuat daripada perbuatan. Pendapat ini pula dikuatkan oleh Al-Hazimy. Beliau mengatakan: menasakhkan sesuatu tidak boleh, melainkan dengan yang sama kuat dengan yang dimansukhkan itu atau dengan yang lebih kuat martabatnya.
Kita dapat membolehkan nasakh perkataan dengan perbuatan jika jelas berlawanan dan tidak dapat dikumpulkan. Umpamanya: suatu hari Nabi bersabda: Kamu haram mengerjakan itu, kemudian beliau sendiri mengerjakannya. Dalam masalah yang kita bahas ini, mengenai para perempuan pergi ke tanah lapang tidak terdapat yang demikian.
Mengenai masalah menasakhkan perkataan atau perbuatan dengan tarkul fi'li (tidak mengerjakan lagi setelah pernah mengerjakannya), adalah sebagai berikut: "Tarkul fi'li, sekali-kali tidak menunjuk kepada nasakh. Tarkul fi'li hanya memalingkan amar (suruhan) dari wujub atau wajib kepada nadab.
Ibnu Hazm mengatakan: "Kita tidak boleh meninggalkan suatu sunah yang sudah diyakinkan, melainkan dengan kita yakin ada nasakhnya. Meyakinkan pada masakhnya, hanya dengan adanya larangan atau dengan meninggalkan perbuatan ang disuruh itu dan disertai pula dengan larangan.
Mengenai contoh-contoh yang dikemukakan untuk membuktikan bahwa Derkataan dinasakhkan oleh perkataan, maka pentahqiqan kami adalah sebagai berikut:
Di dalam contoh pertama, tidak ada nasikh mansukh. Hadits yang menyuruh supaya pencuri itu dibunuh, tidak shahih. Hadits itu diingkari oleh An-Nasa'y.
Ibnu Abdil Barr mengatakan: hadits yang menyuruh supaya si pencuri yang telah Mima kali mencuri, dibunuh adalah hadits munkar, tidak ada asalnya.
An-Nasa'y mengatakan: saya tidak mengetahui ada hadits yang menyuruh supaya si pencuri yang mencuri lima kali dibunuh, tidak shahih. Tegasnya Nabi tidak membunuh pencuri, tidak menasakhkan perintahnya yang terdahulu, karena perintah yang kemudian ini tidak shahih adanya.
Contoh kedua, tidak dapat dijadikan alasan bagi nasakh perkataan dengan perbuatan, karena menghimpun antara dera dengan rajam, masih dilakukan oleh Ali, ketika beliau menjadi Khalifah sesudah berpuluh tahun Rasulullah wafat.
Diberitakan oleh Al-Bukhary bahwa 'Ali mencambuk Syurahah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jum'at. 'Ali mengatakan: "aku mencambuknya dengan berpegang kepada Kitabullah dan aku merajamnya dengan berpegang kepada sunnah Rasulullah."
Pendapat 'Ali ini dipegang oleh Ahmad, Ishak, Daud dan Ibnu Mundzir dari golongan Syafi'iyah. Riwayat Ma'iz tidak tegas menerangkan bahwa Nabi tidak lebih dahulu mencambuknya, karena mungkin perawi tidak meriwayatkannya karena dianggap sudah terang diketahui.
Riwayat itu sama sekali tidak menegaskan bahwa Nabi tidak mencambuk Ma'iz sebelum dirajam. Hanya riwayat itu tidak menyebut hal tersebut saja. Bila dianggap benar, bahwa Nabi tidak mencambuk Ma'iz, maka tidak adanya Nabi mencambuk Ma'iz, memalingkan hukum amar (suruhan) dari wajib kepada mandub, bukan menasikhkannya.
Demikian penetapan Muhaqqiqin ahli ushul. Juga tidak dapat diterangkan sejarah hadits 'Umadah yang menyuruh kita mencambuk dan hadits Jabir yang menerangkan kisah-kisah Ma'iz itu. Sekiranya hadits yang menyuruh cambuk lebih dahulu telah mansukh, tentu Ali mengetahuinya atau tentu sahabat-sahabat Nabi mengabarkan kepada Ali tatkala 'Ali hendak menjalankan hukum dera dan rajam. Tidak disebut adanya cambukan dalam kisah Ma'iz, tidak dapat dijadikan dalil untuk meniadakannya.
Bila kita anggap bahwa kisah Ma'iz terkemudian, maka dia memberi pengertian bahwa mencambuk itu bukan wajib. Ibnu Mundzir mengatakan: pendapat yang memansukhkan hukum mencambuk si penzina itu, harus kita tolak, tidak dapat kita terima.
Contoh ketiga, kami menanggapinya sebagai berikut: Nabi saw. tidak lagi berdiri ketika melihat jenazah sesudah beliau menyuruh para sahabat berdiri, memalingkan amar dari wujub kepada nadab, atau dari wajib kepada mandub.
Ahmad, Ishak, Ibnu Habib, Ibnul Majisyun menetapkan bahwa berdiri untuk jenazah, tidak mansukh. Nabi saw. duduk sesudah beliau menyuruh berdiri, memberi pengertian bahwa kita boleh duduk. Karena itu, orang yang berdiri mendapat pahala, sedang yang tidak berdiri, tidak mendapat dosa.
Ibnu Hazm mengatakan: Nabi saw. duduk sesudah beliau menyuruh para sahabat berdiri, mengesankan bahwa suruhan berdiri adalah suruhan sunnat. Tidak dapat dipandang, bahwa berdiri itu telah mansukh, karena kita tidak boleh meninggalkan suatu sunnah yang sudah diyakini, melainkan dengan diyakini ada nasakhnya. Nasakh tidak dipandang telah ada, melainkan dengan adanya larangan atau dengan ditinggalkan perbuatan yang disuruh dengan disertai larangan pula.
An-Nawawy mengatakan: "Pendapat yang terpilih dalam masalah ini ialah: berdiri ketika melihat jenazah adalah mustahab dan itulah pendapat jumhur. Tidaklah sesuatu dipandang mansukh, melainkan apabila tidak dapat dikumpulkan dengan dalil yang menyatakan sebaliknya. Dalam masalah ini, dapat kita kumpul. Mengenai contoh keempat: sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menasakhkan perkataan sebagai yang telah ditegaskann oleh An-Nawawy.
Majduddin mengatakan: "Semua nash yang menerangkan bahwa Nabi tidak wudhu sesudah makan makanan yang dimasak mengesankan bahwa wudhu tidak wajib, bukan mengesankan bahwa wudhu tidak sunnah.
Walhasil, semata-mata meninggalkan suatu yang disuruh, tidak menasakhkan suruhan, kecuali apabila yang disuruh itu ditinggalkan dan disertai dengan larangan. Karena itu, wajib bagi seseorang menguatkan dakwahnya dengan mengemukakan adanya larangan tersebut. Jika tidak dapat menunjukkan dalil yang me larang, maka tarkul fi'li itu sendiri tidak dapat menjadi penasakh.
Ringkasnya, menasakhkan perkataan atau perbuatan dengan tarkul fi'li adalah madzhab yang sangat dhaif.
Masalah lain yang perlu kita tahqiqkan pula, benarkah kepergian kaum perempuan ke tanah lapang di masa Nabi saw. hanya sekali saja, sesudah itu tidak pernah lagi ataukah terjadinya berulang kali
Dr. H. Abdul Karim Amrullah menetapkan bahwa kejadian itu hanya sekali saja, sesudah itu tidak ada lagi. Beliau mengatakan: "Menurut tarikh menurut lahir riwayat Ummu Athiyah, beliau menetan tersebut hanya sekali saja terjadinya untuk menguatkan terang adanya tarkul fi'li, maka kejadian yang sekali itu, bahkan suruhan Nabi supaya kaum perempuan pergi ke tanah lapang menjadi mansukh.
Sebenarnya, walaupun kita akui bahwa kejadian itu hanya sekali saja, sesudah itu tidak lagi pernah dikerjakan, namun tidak juga menjadi mansukh oleh tarkul fi'li, berdasarkan kepada alasan-alasan yang sudah kami kemukakan.
Menurut pentahqiqan kami, kesaksian Ibnu Abbas yang melihat kaum perempuan pergi ke tanah lapang, tidak menunjukkan hanya sekali saja terjadi dan tidak pula menunjukkan tidak terjadi berulang kali. Dernikian lahir riwayat Ibnu Athiyah.
Kesaksian Ibnu Abbas dan riwayat Ummu Athiyah menunjukkan bahwa ada terjadi sekurang-kurangnya satu kali. Perkataan Ibnu Abbas "Sesudah fathu makkah" (yakni beliau melihat kaum perempuan pergi ke mushalla sesudah Nabi mengalahkan Mekkah), menunjukkan bahwa Ibnu Abbas menyaksikan keadaan tersebut adalah sesudah fathu makkah.
Perkataan ini tidak membantah terjadinya sebelum fathu makkah. Masuk ke dalam perkataan "Sesudah fathu makkah", hari raya haji tahun kedelapan, hari raya puasa dan hari raya haji tahun kesepuluh.
Harus dimaklumi, bahwa perkataan "ba'du sesudah", tidak menghendaki ittishal (bersambung terus), yakni tidak memberi pengertian, bahwa hari raya dimana kaum perempuan pergi ke tanah lapang itu, hari raya yang langsung sesudah fathu makkah saja, yakni hari-Raya haji tahun kedelapan.
Untuk menetapkan, bahwa perginya kaum perempuan ke tanah lapang tidak hanya sekali saja, perhatikan hadits-hadits di bawah ini:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi saw. shalat pada hari raya puasa dua rakaat. Beliau tidak shalat apa-apa sebelum shalat itu dan tidak pula sesudahnya. Sesudah beliau shalat, beliau mendatangi jamaah perempuan dengan ditemani oleh Bilal. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim.
Lahir hadits Ibnu 'Abbas ini menyatakan, bahwa Ibnu Abbas menyaksikan kaum perempuan pergi ke tanah lapang, ialah pada hari raya puasa bukan pada hari raya haji tahun fathu makkah. Hari raya puasa ini jika kita anggap bahwa Ibnu Abbas melihat kaum perempuan pergi ke tanah lapang sesudah fathu makkah, hari raya puasa tahun kesembilan, bukan hari raya puasa tahun delapan. Tegasnya, hari raya yang disaksikan oleh Ibnu Abbas yang dikatakan sesudah fathu makkah, adalah hari Raya yang dialami Nabi sesudah kembali dari Mekkah, yaitu hari raya haji tahun kedelapan.
Dengan penjelasan ini, jelas bahwa Ibnu 'Abbas menyaksikan dua kali hari raya. Pertama, hari raya haji tahun kedelapan, kedua hari raya puasa tahun kesembilan. Tidak dapat dikatakan: hari raya puasa dalam hadits Ibnu Abbas ini, hari raya puasa tahun kedelapan, karena pada hari raya puasa tahun kedelapan itu. Nabi saw. berada di Mekkah, sedang Ibnu Abbas berada di Madinah, tidak ikut serta ke sana.
Pada tahun kedelapan Hijriyah Nabi saw. pergi dari Madinah, menuju ke Mekkah. Tanggal sepuluh Ramadhan itu bersamaan dengan awal Januari tahun 630 Masehi. Pada tanggal 20 Ramadhan Nabi masuk ke Mekkah. Delapanbelas hari lamanya Nabi berdiam di Mekkah. Pada tanggal sepuluh Syawal, Nabi menerangi penduduk Hunain. Pada 26 Syawal bersamaan dengan 28 Januari 630 Masehi, Nabi pergi dari Mekkah balik ke Madinah, pada tanggal 8 Dzulqa'dah Nabi saw. tiba kembali di Madinah.
Dengan keterangan sejarah ini, jelas bahwa hari raya yang disaksikan oleh Ibnu Abbas kaum perempuan pergi ke mushalla sesudah fathu makkah sekurang-kurangnya dua kali. Pertama, hari Raya Haji tahun kedelapan, kedua hari Raya puasa tahun ke sembilan; bukan hari raya puasa tahun kedelapan.
Ummu Athiyah mengatakan: "Kami (kaum perempuan) diperintahkan meng- ajak kaum perempuan pada hari raya puasa dan pada hari raya haji." Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim. Lafazh ini lafazh Muslim.
Lahir riwayat Ummu Athiyah ini juga menerangkan bahwa Nabi saw. menyuruh keluar kaum perempuan pada dua hari raya: Fitri dan Adha, bukan pada Fitri saja dan bukan pada Adha saja. Menurut lahir riwayat ini, sekurang-kurangnya terjadi dua kali. Sekali pada hari raya puasa dan sekali lagi pada hari raya haji.
Tuan Dr. H. Abdul Karim Amrullah menetapkan, bahwa pekerjaan yang tidak sampai tiga kali Nabi kerjakan, tidak dapat dinamakan sunnah.
Sesungguhnya, suatu pekerjaan yang pernah dikerjakan oleh Nabi, walaupun hanya sekali boleh dipandang mustahab. Mustahab sama artinya dengan mandub, berpahala jika dikerjakan.
Dr. Abdul Karim Amrullah menetapkan pula, bahwa lafazh "kana telah ada," yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ath-Thabarany dan Al-Baihaqy, tidak memberi faedah istimrar (terus-menerus), karena perkataan "kana" itu menyangkut juga perbuatan yang hanya sekali saja dikerjakan.
Menanggapi hal ini, dengan tegas kami menandaskan, bahwa perkataan kana memberi pengertian istimrar (terus-menerus dikerjakan), sebagaimana yang diterangkan oleh Asy-Syaukany dalam Nailul Authar dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
Sebagai penambah keterangan, mari kita perhatikan hadits-hadits yang memberi faedah bahwa lafazh "kana", memfaedahkan istimrar.
Dalam riwayat disebut "qad kânatil ki'abu, takhruju li Rasulillāhi min hijriha fil fitri wal adhha (sungguh telah para gadis-gadis keluar untuk Rasulullah dari bilik-biliknya pada hari raya B Adha). Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mu Ahmad dalam Al-Musnad dari 'Aisyah. Al-Iraqy mengatakan: segala perawi shahih.
Hanya saja, riwayat ini diterima dari riwayat Abu Qilabah dari 'Aisyah. Ibnu Abi Hatim mengatakan: hadits ini mursal dan Abu Qilabah bertemu dengan 'Ali.
Hadits ini walaupun mursal dapat dijadikan hujjah untuk menegaskan istimrar-nya kaum perempuan (gadis-gadis keluar ke tanah lapang), karena lafazh "kana" di sini memfaedahkan istimrar, karena hadits ini dikuatkan oleh beberapa penguat: Menurut Ilmu mushtalah sebagaimana yang disebut dalam Al-Baiquniyah, hadits mursal dapat menjadi hujjah apabila sesuai dengan pendapat sahabat.
Dalam masalah ini, hadits Rasul yang dipandang mursal ini, sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Umar, Ali dan Ibnu 'Umar. Dalam suatu riwayat dari Ummu Athiyah terdapat lafazh "kunna nu'maru (kami diperintahkan). " Riwayat ini menakai lafazh kana yang memfaedahkan istimrar.
Al-Mawardy dalam Al-Hawi, mengatakan: menurut nukilan Al-Azra'y, madzhab Asy-Syafi'y, ialah perkataan atau pendapat seorang sahabat, apabila telah masyhur dalam masyarakat dan tidak ada yang menyalahkannya wajib diamalkan. Dengan demikian, wajib kita amalkan fatwa Ummu Athiyah ini.
Jika benar hadits Ummu Athiyah ini telah mansukh, atau kepergian kaum perempuan ke tanah lapang, telah mansukh dengan dasar tarkul fi'li, mengapa pula Rasyidin menandaskan: haqqun 'ala kulli dzâti 'ithagin al-khurüj (hak atas semua perempuan, keluar ke tanah lapang)."
Mengapa Ummu Athiyah sendiri memfatwakan hal itu sesudah beberapa lama Rasul meninggal dan mengapa para sahabat tidak membantah fatwa Ummu Athiyah, jika memang benar bahwa fatwanya telah mansukh.
Walhasil, andainya kita akui bahwa Nabi hanya mengerjakan sekali saja, yakni kepergian kaum perempuan ke tanah lapang hanya sekali saja terjadi, kemudian tidak pernah lagi, maka tidaklah pekerjaan yang sekali itu harus dipandang mansukh, karena tidak dikerjakan lagi sesudahnya karena nasakh tidak dapat dengan tidak dikerja- kan lagi sesudah pernah dikerjakan.
Suatu hal lagi yang perlu kami ingatkan, bahwa Dr. H. Abdul Karim Amrullah menetapkan, bahwa apabila terdapat dua perkara yang berlawanan lahirnya dan diketahui tarikh, hendaknya kita memandang, yang pertama mansukh dan yang kedua nasikh.
Penetapan beliau ini sangat lemah, karena berlawanan dengan penetapan ahli- ahli tahqiq dan Ulama mushthalah.
Menurut ilmu Mushthalah hadits, dua perkara yang berlawanan, selama masih dapat dikumpul, tidak boleh sekali-kali yang pertama dipandang mansukh dan yang kedua dipandang nasikh, walaupun diketahui sejarahnya. Yang pertama dipandang nasikh dan yang kedua dipandang mansukh yang diketahui sejarahnya adalah sesudah tidak mungkin dikumpulkan antara keduanya.
Ibnu Shalah mengatakan dalam Muqaddimah-nya, jika mungkin dikumpulkan antara dua hadits yang berlawanan dan tidak sukar menemukan cara yang meng- hilangkan pertentangan, maka kita harus kembali kepada prinsip mengumpulkan.
Kalau berlawanan dengan cara yang tidak mungkin dikumpulkan dan yang demikian itu ada dua macam, pertama nyata salah satu dari keduanya nasikh dan yang satu lagi mansukh, maka diamalkanlah yang nasikh, ditinggalkan yang mansukh. Kedua, jika tidak ada keterangan, mana yang nasikh dan mana yang mansukh, hendaknya diusahakan pentarjihan dan diamalkan yang lebih rajih (kuat) dari keduanya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Nukhbah-nya, hadits maqbul, jika bebas dari mu'aradhah (pertentangan) dinamakan muhkam. Jika dia dilawan oleh yang sepertinya, tetapi mungkin di-jama (dikumpulkan) dia dinamakan mukhtaliful hadits). Jika tidak mungkin dikumpulkan, jika diketahui tarikh yang nyata mana yang kemudian, yang kemudian dinamakan nasikh dan yang terdahulu dinamakan mansukh.
As-Sayuthy dalam Alfiyah-nya mengatakan: kita jangan tidak berusaha mengumpulkan hadits yang berlawanan dan langsung memandang ada nasakh, jika masih mungkin mengumpulkannya.
Jika tidak mungkin mengumpulkan, maka yang diketahui lebih dahulu datangnya dinamakan mansukh dan yang terkemudian datangnya dinamakan nasikh jika diketahui tarikhnya. Jika tidak diketahui tarikhnya, hendaknya ditarjihkan salah satunya. Jika tidak dapat dilakukan pentarjihhan, hendaknya kita hentikan dahulu, tidak mengamalkan keduanya.
Dengan memahami pendapat tiga tokoh hadits ini, jelas kelemahan pendapat Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang terus menasakhkan sesuatu yang diketahui bahwa dia terdahulu datangnya tanpa berusaha mengumpulkannya lebih dahulu.
Referensi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum - 2 Bab Shalat Dua Hari Raya Masalah Para Perempuan Pergi Ke Tanah Lapang Untuk Menghadiri Shalat Ied