Sujud Sahwi Karena Kekurangan Dalam Shalat
SUJUD SAHWI KARENA TERJADI KEKURANGAN
889) Ibnu Sirin menerangkan:إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ إِحْدَى صَلَاتِي الْعَشِيِّ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ إِلىَ خَشْيَةٍ مَعْرُوْضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّهُ غَضَبَانُ، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَوَضَعَ حَدَّهُ الْأَيْمَنَ عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَخَرَجَةِ السَّرَعَانُ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالُوا: قُصِرَتِ الصَّلَاةُ وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ، وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اَنَسِيْتَ أَمْ قُسِرَتِ الصَّلَاةُ؟ فَقَالَ: لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ فَقَالَ أَكَمَا يَقُوْلُ ذُو الْيَدَيْنِ؟ قَالُوا: نَعَمْ، فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَاتَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُوْدِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ فَرُبَمَا سَأَلُوهُ ثُمَّ سَلَّمَ فَيَقُولُ: أُنْبِئْتُ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ ثُمَّ سَلَّمَ.
Abu Hurairah berkata: "Rasulullah saw. pernah shalat bersama kami, salah satu shalat yang dikerjakan antara tergelincir matahari dengan terbenamnya. Setelah beliau mengerjakan dua rakaat, beliau bersalam lalu berdiri bersandar kepada sepotong kayu yang ditegakkan di masjid beliau bertekan atasnya seperti keadaan orang yang sedang marah, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri serta menjejakkan jari-jarinya sementara pipi kanannya beliau letakkan diatas belakang telapak kiri. Orang-orang tergesa-gesa keluar dari pintu-pintu masjid, sambil berkata: "Shalat telah diqashar." Di antara orang-orang itu itu terdapat Abu Bakar dan 'Umar. Keduanya tidak berani berbicara dengan Rasulullah. Di antara orang-orang itu, terdapat seorang laki-laki bernama Dzul-yadain. Dia bertanya kepada Rasul, ujamya: "Ya Rasulullah, apa Tuan telah lupa, atau shalat telah di-qashar-kan? Nabi menjawab: "Saya tidak lupa dan shalat pun tidak di-qhasar-kan." Sesudah itu Nabi bertanya: "Apakah benar yang dikatakan Dzulyadaini?" Para sahabat menjawab: "Benar." Maka Nabi maju ke muka kembali lalu mengerjakan dua rakaat lagi. Sesudah itu bersalam. Sesudah bersalam beliau bertakbir dan melakukan sujud seperti sujudnya yang telah lalu atau lebih panjang. Kemudian beliau mengangkat kepalanya, seraya bertakbir. Kemudian bertakbir pula dan melakukan sujud seperti sujud yang telah lalu atau lebih panjang. Kemudian mengangkat kepalanya seraya bertakbir. Boleh jadi mereka bertanya kepada Ibnu Sirin: "Apa kemudian Nabi bersalam?" Ibnu Sirin menjawab: "Dikabarkan kepadaku, bahwa Imran ibn Hushain berkata: "Kemudian Nabi bersalam." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 582)890) Imran ibn Hushain ra. menerangkan:
891) Atha' menerangkan:
إِنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ صَلَّى الْمَغْرِبَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَنَهَضَ لِيَسْتَلِمَ الْحَجَرَ فَسَّحَ الْقَوْمُ فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالَ: فَصَلَّى مَا بَقِيَ وَسَجَدَ سَحْدَتَيْنِ قَالَ: فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: مَا أَمَاطَ عَنْ سُنَّةِ نَبِيِّهِ
SYARAH HADITS
Beliau bersalan pada rakaat kedua. Maka seorang laki-laki dari Bani Salim mengajukan pertanyaan: "Ya Rasulullah, apakah shalat telah diqasharkan, ataukah Tuan lupa?" Riwayat ini, menyatakan bahwa kisah ini disaksikan oleh Abu Hurairah dan terjadi setelah Abu Hurairah memeluk agama Islam, seusai peperangan Khaibar pada tahun 7 Hijrah.
Ath-Thahawy berpendapat bahwa Abu Hurairah tidak menyaksikan kejadian ini, karena hal tersebut terjadi sebelum Abu Hurairah memeluk Islam.
Dan hadits ini telah di-mansukh-kan oleh hadits Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnul Arqam, yang menyatakan keharaman berbicara di dalam shalat. Pendapat golongan ini ditolak oleh riwayat kedua yang tegas menerangkan: "Saya shalat bersama Rasul."
Dalam suatu riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim disebutkan bahwa ketika Nabi menjawab: "Saya tidak lupa dan shalat pun tidak digasharkan", maka Dzulyadain menyatakan: "Kalau demikian, Tuan telah lupa." Ini menyatakan bahwa Dzulyadain memberi keterangan yang tegas, bukan bersoal jawab dengan Rasul sesudah dia mengetahui bahwa shalat tidak diqasharkan."
Al-Hafizh dalam At-Talkhish berkata: "Hadits ini mempunyai banyak jalan. Segala jalannya itu telah dikumpulkan oleh Hafizh Shalahuddin Al Alla'i, serta ia membahasnya satu per satunya dengan lengkap. Dalam Fathul Bari Al Hafizh berkata: "Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nama sebenarnya dari Dzul-yadain itu ialah Al-Khirbaq. Inilah pendapat yang kuat menurut pendapatku."
Al-Khirbaq ini meninggal sesudah Nabi wafat. Dia digelari "Dzulyadain (orang yang mempunyai dua tangan)", adalah karena tangannya lebih panjang dari biasa. Dan dikehendaki "dengan salah satu shalat, yang dikerjakan di waktu tergelincir matahari hingga terbenamnya", ialah shalat Ashar.
Hadits ini menyatakan bahwa:
- Berniat keluar dari shalat dan memutuskannya lantaran menyangka telah sempurna, tidak membatalkan shalat walaupun sudah membaca salarm.
- Pembicaraan orang lupa, tidak membatalkan shalat.
- Nabi boleh jadi lupa melaksanakan pekerjaan, tetapi tidak lupa dalam menyampaikan wahyu.
- Gerakan yang banyak yang tidak masuk ke dalam jenis gerakan shalat, apabila terjadi dengan tidak dengan sengaja, atau karena menyangka bahwa shalat telah sempurna, tidak membatalkan shalat.
- Sah kita melaksanakan shalat sesudah salam, terhadap apa yang belum dikerjakan, walaupun sudah lama perselangannya.
- Kecenderungan yang terjadi sebagai dalam hadits ini, ditambah dengan sujud sahwi yang dikerjakan sesudah salam, dan bahwa sujud sahwi itu tidak berulang-ulang dilaksanakannya, walaupun sebab-sebab kelupaan berulang-ulang terjadinya.
- Keyakinan kita tidak dapat dihilangkan lantaran timbul sesuatu keraguan.
- Seseorang yang berkata: "Saya tidak perbuat ini" disebabkan karena telah lupa, tidak dinyatakan dusta. Demikian pula kalau kita bersumpah atas dasar keyakinan kita bahwa itu benar, kemudian ternyata salah, maka sumpah kita tersebut tidak dianggap suatu dosa
- Sesuatu riwayat yang dibawa oleh dua orang harus kita terima. Nabi tidak menganggap cukup dengan riwayat Dzulyadain saja, tetapi beliau perlu menanyakan pula kepada orang lain. Oleh karenanya perasaan syak (ragu) itu akan menjadi yakin apabila diteguhkan oleh orang lain.
- Menjawab panggilan Nabi saw. dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
- Sengaja berbicara untuk kemaslahatan shalat, tidak membatalkan sha- lat. Demikian dalil Rabi'ah. Dipahamkan oleh sebagian ulama, bahwa kebolehan berbicara untuk kemaslahatan shalat dikhususkan bagi jama'ah saja.
- Lupa dalam shalat, tidak membatalkan shalat. Dibolehkan kita me- nyempurnakan shalat untuk melengkapi yang dilupakan itu. Dan ke- lupaan imam, berpengaruh kepada makmum juga, walaupun makmum tidak dalam keadaan lupa.
- Untuk sujud sahwi, harus dengan takbir sendiri.
- Untuk sujud sahwi, juga dengan salam sendiri.
Hadits (891) diriwayatkan juga oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrany dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath. Dalam Majmu'uz Zawa'id diterangkan, bahwa perawi-perawi Ahmad semuanya shahih. Al-Baihaqy meriwayatkan hadits ini dari tiga jalan. Menyatakan bahwa kita boleh menyempurnakan shalat yang sudah dikerjakan secara kurang, serta mengerjakan sujud sahwi diakhirnya.
Ibnu Daqiqil Id berkata: "Hadits ini menyatakan beberapa pokok kepercaya- an, beberapa kaidah fiqh dan beberapa hukum fiqh." Hadits ini menyatakan antara lain:
- Nabi boleh saja lupa dalam urusan pekerjaan, bukan dalam urusan menyampaikan wahyu. Demikian Madzhab kebanyakan ulama dan ahlun nadzar.
- Apabila Nabi lupa dalam menyampaikan yang tidak masuk dalam tugas yang harus beliau sampaikan kepada umatnya, maka tentu dengan segera akan datang wahyu yang membetulkan kekeliruan itu. Dan hikmahnya Nabi lupa ialah untuk memberikan petunjuk tentang hukum syar'i bagi umatnya apabila mereka terlupa.
Tentang hal menyempurnakan shalat
Rabi'ah dan Malik berkata: "Apabila seseorang meninggalkan sesuatu dari shalatnya karena lupa, kemudian setelah lama berselang baru teringat, maka hendaklah dia menyempurnakan yang ketinggalan itu saja, tidak perlu mengerjakan shalat dari permulaannya lagi."Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila sudah lama berselang maka tidak boleh dengan menyambung saja. Kadar lama berselang, ialah kadar satu shalat. Menurut pendapat Asy-Syafi'y dalam Al-Umm, kadar lama itu, lebih dari serakaat shalat. Diriwayatkan dari Malik dan Rabi'ah, bahwa kadar lama itu sebelum batal wudhu.
Cara menyempurnakan shalatAbu Zur'ah berkata: "Apabila kita menyempurnakan shalat dari sesuatu yang kita tinggalkan, tidak diperlukan lagi ber-takbiratul-ihram. Demikian menurut ke- banyakan ularna."
Ibnul Qasim berpendapat kita perlu bertakbiratul-ihram lagi. Abul Walid Al-Baji berkata: "Jika seseorang bersalam karena lupa, dia tidak perlu ber-takbiratul-ihram lagi. Tetapi jika bersalam karena menyangka bahwa shalatnya telah sempurna, hendaklah dia ber-takbiratul-ihram kembali."
Segolongan ulama berkata: "Apabila kita hendak menyempurnakan shalat, hendaklah kita duduk dulu. Sesudah itu barulah kita bangun. Dalam pada itu, mereka berselisih tentang membaca takbir sebelum duduk atau sesudahnya."
Menurut hikayat Abul Walid Al-Baji dari Ibnu Qasim, mula-mula kita bertakbir, sesudah itu kita duduk. Dan diriwayatkan dari Ibnu Syas, hendaklah kita duduk dahulu, sesudah itu baru bangun bertakbir.
Menurut pendapat Abu Ali ibn Isa, jika bersalam sedang kita duduk, hendaklah kita bertakbir untuk kembali kepada shalat (atau duduk). Sesudah itu kita bertakbir lagi untuk bangun. Ibnu Habib berkata: Kalau kita bersalam dari dua rakaat atau tiga rakaat, maka kita masuk lagi kedalam shalat dengan takbiratul-ihram tanpa duduk lagi. Ibrnu Nafi' berkata: "Baik kita bersalam dari serakaat, ataupun dari dua rakaat, kita tidak perlu lagi duduk, terus berdiri saja."
Referensi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2 Bab Hukum Seputar Sujud Sahwi Masalah Sujud Sahwi Karena Terjadi Kekurangan Dalam Shalat