SUJUD SAHWI KARENA RAGU DALAM SHALAT
SUJUD KARENA RAGU DALAM SHALAT
892) Abdurrahman ibn Auf ra. berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ الله ﷺ يَقُولُ: إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ أَوَاحِدَةً صَلَّى أَمْ اثْنَتَيْنِ فَلْيَجْعَلْهَا وَاحِدَةً، وَإِذَا لَمْ يَدْر اثْنَتَيْنِ صَلَّى أَمْ ثَلَاثًا فَلْيَجْعَلْهَا اثْنَتَيْنِ، وَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَثَلَاثًا صَلَّى أَمْ اَرْبَعًا فَلْيَجْعَلْهَا ثَلاثًا ثُمَّ يَسْجُدُ إِذَا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ
"Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Apabila seseorang kamu syak (ragu) dalam shalatnya sehingga tidak mengetahui apakah baru serakaat ia shalat ataukah sudah dua, hendaklah ia tetapkan serakaat dan apabila ia tidak mengetahui apakah telah dua rakaat ia shalat ataukah sudah tiga rakaat ia shalat ataukah sudah empat, hendaklah ia tetapkan tiga rakaat kemudian apabila telah selesai dari shalatnya ia melakukan sujud sebanyak dua kali sujud dalam keadaan ia masih duduk sebelum bersalam." (HR. Ahmad Ibnu Majah dan At-Turmudzy; Al- Muntaqa 1: 586)893) Abdurrahman ibn Auf ra. berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : مَنْ صَلَّى صَلَاةً يَشُكُّ فِي النُّقْصَانِ فَلْيُصَلِّ حَتَّى يَشُكَّ فِي الزَّيَادَةِ
Rasul saw. bersabda: "Barangsiapa melakukan sesuatu shalat lalu ragu terhadap adanya kekurangan, maka hendaklah ia shalat sehingga ia ragu terhadap adanya kelebihan." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 587)894) Abu Sa'id Al-Khudry ra. berkata:
قَالَ رَسُولُ الله : إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِكَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ صَلَّى خَمِسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى اِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.
Rasulullah saw. bersabda: "Apabila seseorang kamu ragu dalam shalatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia shalat tiga rakaatkah atau empat, maka hendaklah ia menghilangkan keraguanya dan atau ia tetapkan atas apa yang ia yakini, kemudian dia bersujud dua sujud sebelum bersalam. Jika ia telah shalat sebanyak lima rakaat maka dua sujud itu berfungsi sebagai penggenap bagi shalatnya, dan jika ternyata dia baru shalat tiga rakaat kemudian dia mengerjakan yang diragukan itu untuk menyempumakan empat rakaat (yang sebenarnya memang rakaat yang keempat) maka kedua sujud (yang dilakukan itu) adalah untuk mengalahkan setan." (HR. Ahmad dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 588)895) Ibrahim dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud ra. berkata:
صَلَّى النَّبِيِّ ﷺ قَالَ إِبْرَاهِيمُ: زَادَ أَوْ نَقَصَ فَلَمَّا سَلَّمَ قِيْلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، حَدَثَ فِي الصَّلَاةِ شَيْءٌ؟ قَالَ : لَا ، وَمَا ذَاكَ؟ قَالُوا : صَلَّيْتُ كَذَا وَكَذَا فَثَنِّى رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْن ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ: إِنَّهُ لَوْحَدَثَ فِي الصَّلَاةِ شَيْئًا أَنْبَأْتُكُمْ به، وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي ، وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ، فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ.
896) Abu Hurairah ra. menerangkan:
إِنَّ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَ آدَمَ وَبَيْنَ نَفْسِهِ فَلَا يَدْرِ كَمْ صَلَّى، فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
897) Abdullah ibn Ja'far ra. menerangkan:
إِِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَنْ شَكَّ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ.
SYARAH HADITS
Dan hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al- Musnad dengan sanad yang mursal. Hadits ini menyatakan bahwa seseorang yang ragu terhadap rakaat shalatnya, hendaklah dia tetapkan atas rakaat yang sedikit.
Hadits (893) dalam sanad-nya ada seorang perawi yang dha'if yaitu Isma'il ibn Al-Makky. Hadits ini menyatakan bahwa apabila kita ragu tentang rakaat dalam shalat hendaklah kita tetapkan yang sedikit.
Hadits (894) diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafazh yang maknanya: Hendaklah ia hilangkan keraguannya kemudian dia tetapkan yang diyakininya. Maka apabila dia telah yakin sempurna, lakukanlah dua kali sujud. Andaikata shalatnya (memang) telah sempurna, maka rakaat tambahan dan dua sujud itu menjadi sunnat baginya. Jika shalatnya (sebenarnya) masih kurang maka rakaat ini sebagai penyempurnaannya, sedangkan dua sujud itu pengusir setan.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqy. Ibnul Mundzir mengatakan: "Inilah hadits yang paling shahih dalam bab ini."
Al-Khaththaby berkata: "Segolongan ulama men-dha'if-kan hadits Abu Sa'id, karena Malik menerangkan bahwa hadits ini, diriwayatkan oleh Atha' ibn Jasar dari Nabi dengan tidak menyebut Abu Sa'id. Kita mengetahui, bahwa Malik sering meriwayatkan hadits secara mursal, padahal hadits itu sebenarnya musnad.
Kemudian Al- Khaththaby meriwayatkan hadits ini dari beberapa jalan yang menegaskan kemuttashilannya dari Abu Sa'id. Hadits ini menyatakanı bahwa seseorang yang sedang shalat, apabila ia ragu-ragu, hendaklah ia menghilangkan keraguannya dan memantapkan keyakinannya.
Hadits (895), menurut lafazh Ibnu Majah dan Muslim dalam suatu riwayat, terdapat perkataan: "Hendaklah ia lihat kepada yang lebih dekat kepada yang benar." Hadits ini menyatakan bahwa Nabi saw. terkadang-kadang lupa dan kita wajib mengingatkan orang yang lupa dengan segera. Juga menyatakan kebolehan kita menetapkan amal yang lebih kuat dalam persangkaan kita, bukan terus menganggap yang kurang. Dan menyatakan pula, bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Selain dari itu menyatakan pula bahwa di antara sebab-sebab yang menuntut dilakukannya sujud sahwi ialah karena menerawangnya pikiran di dalam shalat.
Hadits (896) diriwayatkan juga oleh Al-Jama'ah. Hanya dalam riwayat Al- Jama'ah tidak terdapat lafazh "sebelum dia salam." Menyatakan bahwa sujud karena timbul keraguan, dilaksanakan sebelum salam.
Hadits (897) dalam sanad-nya ada seorang perawi bernama Mus'ab ibn Syaibah. Perawi ini diperselisihkan oleh para ulama hadits. Di dalam Aunul Ma'bud disebutkan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa'y, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya.
Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqy. Menurut pendapat Al-Baihaqy, sanad hadits ini boleh diterima. Muslim ber-hujjah dengan riwayat Mus'ab ibn Syaibah, sedang Ahmad menolak haditsnya. Menyatakan bahwa barangsiapa ragu dalam shalatnya, hendaklah dia melakukan sujud sesudah bersalam.
An-Nawawy berkata: "Asy-Syafi'y dan jumhur ulama berpendapat, bahwa seseorang yang ragu tentang rakaat shalatnya, hendaklah dia tetapkan yang sedikit. Menurut riwayat Ibnu Mas'ud, Rabi'ah, Asy-Syafi'y dan Malik berpendapat demikian. Mereka ber-hujjah dengan hadits Abu Sa'id Al-Khudry.
Adapun Atha', Al-Auza'y, Asy-Sya'bi, Abu Hanifah dan diriwayatkan juga dari Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, Abdullah ibn Amar Ibnul Ash, berpendapat bahwa orang yang ragu-ragu tentang rakaatnya, maka jika ia baru satu kali mengalami keadaan itu hendaklah ia mengulangi shalatnya. Tetapi kalau sudah berulang kali terjadi, barulah pekerjaan itu didasarkan atas mana yang betul."
Di dalam Syarh Muslim, An-Nawawy berkata: "Abu Hanifah dan ashhab-nya dari ulama Kufah berpendapat, bahwa orang yang ragu-ragu terhadap rakaat shalatnya hendaklah mencari mana yang benar dan memilih yang lebih kuat dalam persangkaannya dengan tidak lazim, atau harus mengerjakan tambahan.
Abu Hanifah dan Malik menetapkan demikian terhadap orang yang sudah berulang kali ragu. Adapun orang yang baru sekali ragu, hendaklah memilih yang diyakini. Segolongan ulama lain berkata: Hal ini umum, mengenai orang yang baru sekali ragu dan orang yang sudah berulang kali ragu."
Diriwayatkan oleh Al-Iraqy dalam Syarh At-Turmudzy, bahwa 'Abdullah ibn 'Umar, Sa'id ibn Jubair, Syuraih, Al-Qadhi, Muhammad ibn Hanafiyah, Maimun ibn Mihran, Abdul Karim al-Jazary, Asy-Sya'bi dan Al-Auza'y mewajibkan i'adah (mengulangi shalat sekali demi sekali) sehingga diperoleh keyakinan.
Tidak ada perbedaan antara orang yang baru ditimpa keraguan dengan orang yang sudah berulangkali (bertabiat ragu-ragu). Atha' dan Malik (menurut suatu riwayat) menyuruh ulang sekali saja.
Thawus juga ber-hujjah dengan hadits yang di- riwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam Al-Kabir dari Ubadah ibn Shamit, menyuruh orang yang ragu untuk mengulangi shalatnya. Akan tetapi, hadits itu dha'if.
Imamul Haramain berkata: "Apabila keraguannya telah hilang, dan meyakini berapa rakaat yang dia sudah kerjakan, tidaklah lagi dituntut untuk melakukan jud."
Al-Hasan Al-Bishry dan segolongan ulama salaf, berpendapat berdasar hadits Abu Hurairah dan Ibnu Ja'far, bahwa orang yang ragu dalam shalatnya tidak tahu berapa rakaat yang dia sudah kerjakan, maka diberatkan kepadanya melakukan sujud sahwi saja. Pendapat ini diriwayatkan dari Anas dan Abu Hurairah. Jumhur ulama membantah pendapat ini. Namun demikian, ada juga yang menyuruh kita mendasarkan kepada persangkaan yang kuat dan ada yang menyuruh kita mengulangi shalat.
Asy-Syaukany berkata: "Dipahamkan dari hadits itu bahwa sujud sahwi, se- bagaimana dituntut untuk shalat fardhu, juga dituntut untuk shalat sunnat." De- mikian pendapat jumhur ulama, dahulu dan sekarang.
Ibnu Sirin, Qatadah dan diriwayatkan juga dari Atha' serta menurut nukilan segolongan ulama Syafi'iyah dari Madzhab qadim, berpendapat bahwa sujud sahwi itu, tidak dilakukan untuk shalat sunnat. Al-Bukhary dalam Shahih-nya telah menyebut "suatu bab tentang dituntutnya sujud sahwi untuk shalat fardhu dan sunnat."
Al-Bukhary menerangkan, bahwa Ibnu Abbas melakukan sujud sesudah shalat witir. Muhammad Munir berkata bahwa maksud sabda Nabi: "maka jika ia telah shalat lima rakaat hendaklah dia menggenapkan shalatnya", ialah dua sujud sahwi itu dipandang sebagai satu rakaat. Jika dia telah melakukan sujud, maka berartilah seakan-akan dia telah mengerjakan rakaat yang keenam, sehingga shalatnya itu menjadi genap. Apabila kita memperhatikan keterangan-keterangan diatas ini, nyatalah bahwa para ulama dalam bab ini terbagi kepada tiga golongan:
Pertama, menyuruh kita menetapkan yang paling sedikit, apabila timbul keraguan tentang rakaat. Demikianlah pendapat Asy-Syafi'y dan jumhur menurut hikayat An-Nawawy.
Kedua, menyuruh kita mengulangi shalat yang kita ragukan.
Ketiga, mewajibkan kita beramal berdasarkan kepada sangkaan dan mencari mana yang lebih benar.
Menurut pentahqiqan kami, tidak ada perlawanan antara hadits-hadits yang menyuruh kita menetapkan yang sedikit, yakni menetapkan yang diyakini, dengan memikirkan mana yang benar. Karena memikir-mikirkan mana yang benar, sebenarnya mencari mana yang lebih benar.
Rasul saw. telah memerintahkan kita mencari mana yang lebih benar dan menyuruh kita menetapkan keyakinan atas yang sedikit, di waktu terjadi keraguan. Maka jika kita dapat melepaskan diri dari rasa ragu-ragu dengan jalan memikirkan mana yang benar, dengan melakukan sujud, tentulah hal ini didahulukan terhadap menetapkan yang sedikit.
Syara' memerintahkan kita memilih yang sedikit adalah apabila kita tidak mengetahui mana yang benar. Jika kita tidak dapat mengetahui mana yang benar, hendaklah kita memilih yang diyakini, seperti yang telah ditunjuki oleh hadits Abu Sa'id. Jika telah sampai kepada yakin, sesudah kita memikir-mikirkan, berartilah kita telah me- netapkan keyakinan yang kuat. Jadi mencari mana yang benar, didahulukan terhadap menetapkan yang sedikit.
Tentang sabda Nabi saw. "untuk mengusir setan itu", memberi kesan bahwa sengaja meninggalkan apa yang dinamakan sunnat ab'adh tidak disujudsahwikan, dapat diterima, karena 'illat-nya tidak sama. Dalam hal lupa, kita melakukan sujud untuk mengusir setan yang mewaswaskan kita.
Juga lahir hadits ini, menuntut kita melakukan sujud apabila kita ragu walaupun sejenak. Demikianlah pendapat Asy-Syaikh Abu Ali. Paham ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Zaid ibn Abi Aslam, yaitu: apabila terjadi keraguan pada diri seseorang kamu dalam shalatnya, maka jika ia memperoleh keyakinan, bahwa ia telah shalat tiga rakaat umpamanya, hendaklah ia tegak berdiri mengerjakan serakaat lagi. Kemudian hendaklah dia duduk bertasyahhud. Sesudah selesai tasyahhud sebelum salam, hendaklah dia sujud dua kali.
Kemudian kami tegaskan, bahwa hadits-hadits yang shahih, tentang dianjur- kannya sujud karena adanya keraguan, seperti hadits Abdurrahman ibn Auf, Abu Sa'id Al-Khudry, Abu Hurairah dan lain-lainnya, menghendaki supaya sujud yang karena adanya keraguan itu, dilaksanakan sebelum salam. Hadits Abdullah ibn Ja'far tidak dapat dijadikan tantangan. Akan tetapi dia dikuatkan oleh hadits Abdullah ibn Mas'ud.
Oleh karena itu apabila kita kumpulkan hadits-hadits yang shahih dalam bab ini akan diperoleh kesimpulan, bahwa sujud karena adanya keraguan, boleh dilakukan sebelum salam, dan boleh sesudah salam.
Menurut pentahqiqan kami pula, tidak ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnat dalam masalah ini. Walaupun antara shalat fardhu dan sunnat itu ada sedikit perbedaannya.
Berdasarkan Tulisan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Hukum Seputar Sujud Sahwi Masalah Sujud Sahwi Karena Ragu Dalam Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2