Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM PEREMPUAN SHALAT BERJAMAAH

HUKUM DAN ADAB PEREMPUAN DATANG KE TEMPAT JAMAAH SHALAT

HUKUM DAN ADAB PEREMPUAN DATANG KE TEMPAT JAMAAH SHALAT

933) Ibnu Umar ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُمْ

"Nabi saw, bersabda: Apabila perempuan-perempuanmu meminta izin kepadamu di malam hari untuk pergi ke masjid, izinkanlah mereka." (HR. Al-Jamaah kecuali Ibnu Majah, Al-Muntaqa 1: 598)

934) Ibnu Umar ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : لَا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

"Nabi saw, bersabda: Janganlah kamu menghalangi (mencegah) kaum perempuan keluar (pergi) ke masjid, padahal rumah-rumah mereka lebih baik baginya." (HR. Ahmad dan Abu Daud, Al-Muntaqa 1: 599)

935) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَا تَصْنَعُوْا اِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَالْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتِ

"Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu menghalangi kaum perempuan kalian semua pergi ke masjid-masjid Allah. Dan hendaklah mereka pergi ke masjid derigan tidak memakai wangi-wangian." (HR. Ahmad dan Abu Daud, Al-Muntaqa 1: 599)

936) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ رَسُولُ الله : أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بُخُورًا فَلَا يَشْهَدْنَ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ

"Rasulullah saw, bersabda: Siapa saja dari perempuan yang memakai dupa, maka janganlah menghadiri jamaah shalat Isya'." (HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa'y, Al- Muntaqa 1: 599)

937) Ummu Salamah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : خَيْرُ مَسَاجِدَ النِّسَاءِ فَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

"Nabi saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan ialah perut rumahnya." (ruang dalam dari rumah). (HR. Ahmad, Al-Muntaqa 1: 599)

938) Aisyah ra. berkata:

لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ رَأَى مِنَ النَّاسِ مَا رَأَيْنَا لَمَنَعَهُنَّ مِنَ الْمَسَاجِدِ كَمَا مَنَعْتَ بَنُوا إِسْرَائِيلَ نِسَاءَهَا

"Seandainya Rasulullah menyaksikan dari kaum perempuan apa yang kita lihat sekarang ini, tentu Nabi mencegah mereka mendatangi masjid, sebagaimana Bani Israil telah mencegah perempuan-perempuannya". (HR. Bukhari dan Muslim, Al-Muntaqa 1: 600)

SYARAH HADITS

Hadits (933) diriwayatkan oleh Al-Jamaah selain Ibnu Majah. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, ada tambahan "wa buyuutuhunna khairun lahunna (dan rumah- rumah mereka lebih baik bagi mereka)". Perkataan "di malam hari" ditemukan di dalam sebagian riwayat saja. Kebanyakan perawi tidak menyebutkan sebagaimana yang ditegaskan Muslim.

Hadits ini juga menyatakan bahwa suami tidak boleh melarang isterinya pergi jamaah ke masjid di semua waktu shalat, di malam hari, di waktu dinihari. Diperbolehkan wanita keluar malam hari oleh hadits ini menunjukkan majhum muwafaqah yakni malam hari diperbolehkan, maka pada siangnya tentu lebih diperbolehkan.

Hadits (934) diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini menyatakan bahwa suami tidak diperbolehkan melarang isteri-isterinya pergi menghadiri jamaah ke masjid di seluruh waktu shalat, di malam hari atau dinihari. 

Hadits (935) diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini menyata- kan bahwa suami tidak diperbolehkan melarang isteri-isterinya pergi menghadiri jamaah ke masjid di seluruh waktu shalat, di malam hari atau dinihari.

Hadits (936) diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan An-Nasa-y. Hadits ini menyatakan bahwa kebolehan perempuan keluar dari rumahnya untuk pergi ke masjid adalah jika mereka tidak memakai sesuatu yang menimbulkan fitnah (menimbulkan berahi pria).

Hadits (937) diriwayatkan oleh Ahmad. Dalam sanadnya ada seseorang yang dhaif bernama Ibnu Lahi'ah. Tetapi ada syahidnya yang menguatkan. Hadits ini juga menyatakan bahwa kaum perempuan sebaiknya shalat di rumahnya saja.

Hadits (938) diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim. Hadits ini menya- takan, bahwa sekiranya Nabi saw. melihat tingkah laku perempuan di zaman Aisyah (sesudah Rasul wafat) tentu Nabi melarang kaum perempuan pergi ke masjid. An-Nakha'y berpendapat, bahwa kaum perempuan pergi shalat Jum'at dan jamaah tidak diperbolehkan. An-Nakha'y sendiri melarang isteri-isterinya.

Abu Hanifah, tidak menyukai kaum perempuan menghadiri Jum'at dan jamaah shalat maktubah. Beliau hanya memperbolehkan perempuan-perempuan yang telah tua menghadiri jamaah Isya' dan jamaah Shubuh.

Ats-Tsauri berpendapat, bahwa yang baik bagi perempuan ialah shalat di ru- mahnya walaupun telah tua. Abu Yusuf berpendapat: "Aku tidak suka gadis-gaids yang muda pergi ke masjid untuk shalat. Tetapi tidak ada keberatan bagi perempuan-perempuan tua menghadiri jamaah shalat. Beliau berpegang kepada hadits yang diriwayatkan Ahmad dari Ummu Salamah.

Ularna Syafi'iyah memperbolehkan perempuan yang telah tua menghadiri jamaah ke masjid dan memakruhkan bagi yang masih gadis.

Menurut riwayat Ashhab dari Malik, bahwasanya kaum perempuan tua pergi ke masjid adalah boleh, tetapi jangan tetap. Perempuan muda diperbolehkan, tetapi hanya sesekali saja.

Sebagian ularna, mengecualikan masjid Makkah dan Madinah. Yakni kaum perempuan menghadiri jamaah shalat di masjid Mekkah dan Madinah tidak dimakruhkan.

Ibnu Qudamah berpendapat, kaum perempuan menghadiri jamaah kaum laki- laki diperbolehkan, mengingat perempuan di zaman Nabi turut shalat bersama Rasulullah di masjid.

Menurut Ibnu Hazm, kaum perempuan tidak diberatkan untuk menghadiri jamaah shalat ke masjid. Hal ini tidak diperselisihkan. Akan tetapi dipandang baik mereka menghadirinya, karena telah terang diketahui, bahwasanya kaum perempuan menghadiri jamaah shalat bersama Nabi saw. Yang demikian diketahui oleh Nabi, serta tidak ditegur. Tidak boleh bagi wali menghalangi perempuan menghadiri jamaah shalat di masjid.

Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, bahwa Umar Ibnu Khaththab menyuruh Sulaiman ibn Abi Hatsmah mengimami jamaah perempuan di suatu sudut masjid (bagian belakang) di bulan Ramadhan. Atikah binti Zaid, isteri Umar, selalu menghadiri jamaah shalat. Ketika Umar ditikarn (beliau sedang mengimami shalat Shubuh), Atikah turut serta shalat Shubuh. Suatu kali, Umar mengatakan kepada Atikah: "Saya tidak suka engkau shalat bersama kami."

Atikah menjawab: "Saya tidak akan hentikan pergi ke masjid sebelum dilarang". Umar berkata: "Untuk melarang, tidak". Umar tidak mau melarang, karena menge tahui bahwa perempuan yang menghadiri jamaah ke masjid memperoleh pahala Ali bin Abi Thalib mengangkat dua orang imam untuk shalat di malam hari bulan Ramadhan (imarn shalat malam). Seorang menjadi imam bagi kaum perempuan dan seorang lagi menjadi imam bagi kaum laki-laki.

Walhasil, kaum perempuan memperoleh pahala dari menghadiri jamaah ke masjid.

Perkataan "wa buyutuhunna khairun lahunna (dan rumah-rumah mereka (kaum perempuan) lebih baik baginya)", dan yang serupanya, yang hanya diriwayatkan oleh sebagian perawi, tidak dapat kita amalkan, karena berlawanan dengan kenyataan. Jika diamalkan juga, hendaklah dipertanggungkan kebaikan tersebut kepada keadaan, yakni apabila besar kemungkinan terjadi fitnah, jika mereka pergi ke masjid, baru dipandang shalat di rumah lebih utama. Jika terhindar dari fitnah, maka kaum perempuan shalat dimasjid bersama kaum laki-laki tetap lebih utama. Andaikata perkataan "wa buyutuhunna khairun lahunna", diamalkan lahirnya, tentu Umar dengan serta merta melarang Atikah pergi ke masjid.

Yang perlu diperhatikan bagi kaum perempuan, ialah adab-adab ke masjid, yaitu berpakaian sederhana, tidak berwangi-wangian, tidak memakai sesuatu yang dapat merangsang syahwat laki-laki. Sungguh benar bahwa kaum perempuan menghadiri jamaah-jamaah shalat di masjid bersama-sama orang laki-laki, meng- hasilkan pahala yang besar.

Jika mengatakan, bahwa perempuan mendatangi masjid untuk berjamaah menumbuhkan fitnah, maka dengan tidak ragu-ragu, kita mengatakan bahwa fitnah yang disangka itu jauh lebih ringan dibandingkan fitnah membiarkan kaum perempuan berjalan ke sana ke mari ke tempat yang ramai dikunjungi oleh kaum laki-laki. Seandainya kaum perempuan biasa mendatangi masjid, untuk mendengar nasehat dan pelajaran, maka kerusakan akhlak daapat dikurangi.

Apabila hadits-hadits yang diterima dari Nabi saw. dalam masalah ini dikum- pulkan dan diartikan satu persatu, maka condonglah kita kepada pendapat Ibnu Hazm, yakni bukanlah yang lebih utama bagi kaum perempuan shalat di rumah- nya. Yang lebih utama bagi mereka shalat dengan berjamaah di masjid-masjid (yang dekat rumahnya).

Hadits yang menerangkan, bahwa kaum perempuan lebih baik shalat di rumahnya, tidak ada yang terlepas dari cacat atau diperselisihkan keshahihannya. Andaikata kita pandang shahih, maka berlawanan dengan hadits-hadits yang nyata shahihnya, dan dengan perintah Nabi sendiri supaya perempuan pergi ke tanah lapang di hari Id. Seandainya kaum perempuan lebih baik shalat di rumah, tentu kaum perempuan sahabat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan dinihari untuk shalat jamaah bersama Nabi saw. di masjid.

Seluruh Ahli Ilmu menetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang kaum perempuan menghadiri jamaah shalat di masjid. Khulafaurrasyidin juga tidak pernah mengeluarkan larangan tersebut.

Kalau demikian, nyatalah bahwa kepergian kaum perempuan ke masjid adalah amalul birri (amal kebajikan dan kebaktian). Kalau tidak demikian, tentu Nabi tidak membiarkan kaum perempuan pergi ke masjid.

Referensi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy| Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2 Bab Hukum Shalat Berjamaah Masalah Hukum Dan Adab Bagi Perempuan Datang Ketempat Jamaah Shalat